Share

Bab 3

Penulis: Saus Ekstra Pedas
Aku tidak boleh menimbulkan suara terlalu besar. Kalau sampai membangunkan rekan kerja di tenda lain, aku tidak akan bisa menjelaskan apa pun.

Aku menggertakkan gigi, lalu meraih pinggang Dimas untuk menopang diri dan berdiri.

Itu adalah pertama kalinya aku begitu dekat dengan tubuh seorang pria.

Aku sudah tidak bisa peduli dengan payudaraku yang besar, menyentuh dari pinggangnya hingga perutnya.

Aku menempel padanya untuk menopang tubuhku sendiri, otakku nyaris kosong.

Dimas menopangku, membantu berjalan hingga ke bangku batu di tepi pemandian air panas.

Setelah duduk, aku berusaha keras mendorongnya menjauh.

Namun reaksi tubuh yang terus datang membuatku sama sekali tak punya tenaga lagi.

Tiba-tiba, aku mendengar desahan samar dari sebuah tenda tak jauh di belakangku.

Aku memegangi dahiku, dan dalam hati berpikir, 'Gawat.'

Baru saja aku sedikit tenang, tapi justru pada saat seperti ini…

Kakak bagian keuangan dan suaminya mulai ‘olahraga’.

Dimas menatapku sekilas, lalu menarikku bersembunyi di balik semak-semak tak jauh dari situ.

Di bawah cahaya bintang yang berkelap-kelip, aku menatap melalui rimbunan semak. Kakak bagian keuangan sedang menungging bokong di atas batu tempat Dimas dan aku baru saja duduk.

Kakak ipar sedang menusuknya dari belakang, dan Kakak berusaha sekuat tenaga menahan desahannya.

Adegan ini seperti rantai pemikat jiwa yang membelitku erat, mencekikku dengan kuat.

Tubuhku yang baru saja sedikit tenang kembali bereaksi hebat.

Aku dan Dimas bersembunyi di balik semak-semak, tak berani mengeluarkan suara sedikit pun.

Aroma khas dari tubuhnya sudah tertanam dalam-dalam di benakku.

Tidak, ini tak bisa terus berlanjut.

Aku memohon kepada kakak keuangan dan suaminya untuk segera menyelesaikannya.

Namun suaminya sangat bertahan lama.

Aku perlahan merasakan panas yang memancar dari tubuh Dimas.

Aku mencapai klimaksku sekali lagi, tanpa peringatan.

Tak sadar mengeluarkan suara.

Lengan panjang Dimas melingkari belakang kepalaku dan menutupi mulutku.

"Mmm..."

Aku menarik napas dalam-dalam.

Hampir seluruh tubuhku terkurung dalam pelukannya.

Detak jantungnya, otot-otot di dadanya, menciptakan hasrat yang nyata di benakku.

"Ssst..." Dimas memberi isyarat agar aku diam.

Aku mengangguk lemah, dan tak lama kemudian aku mulai gemetar dalam pelukannya.

Di bawah sinar bulan, Dimas melihat mataku yang linglung.

Teringat bagaimana ia tak sengaja melihat celana dalamku yang basah kuyup tadi.

Ia mengerti.

Aku berusaha mati-matian untuk melepaskan diri dari cengkraman Dimas, tetapi aku takut ketahuan oleh kakak keuangan itu.

Tubuhku meronta, mendorongku mencapai klimaks berkali-kali.

Di bawah rangsangan yang begitu kuat ini, aku hampir pingsan.

Tak tahu sudah berapa lama, kakak keuangan dan suaminya akhirnya kembali ke tenda dengan wajah puas.

Dimas akhirnya melepaskan tangannya yang menutup mulutku.

Aku terengah-engah mengatur napas.

Seharusnya aku segera menjauh darinya.

Tapi saat ini, pikiranku dipenuhi olehnya. Aku tidak mau, dan juga tak punya tenaga untuk meninggalkan sisinya.

"Rina, apa kamu mau melakukan itu?"

Terkejut oleh pertanyaan Dimas, aku buru-buru melepaskan diri dari pelukannya.

Namun, aku tak sengaja menyentuh area sensitifnya yang keras.

Tanpa menyentuhnya pun, aku bisa merasakan ukurannya yang luar biasa.

"A... a... a... aku nggak mau." Aku tergagap, buru-buru menyangkalnya.

Dimas mengerutkan kening. Tanpa sepatah kata pun, dia memasukkan tangannya ke dalam rokku.

"Benarkah?" Suaranya yang dalam, dengan sedikit nada tinggi, terus-menerus membangkitkan gairahku.

Jari-jarinya yang kasar menelusuri kulitku inci demi inci.

Setiap inci kulit yang disentuhnya terasa seperti terbakar.

Tanpa sadar aku menekuk kakiku.

Tapi Dimas dengan paksa membukanya.

Jari-jarinya pertama-tama menyentuh lembut celana dalamku.

Aku merasa seperti tersengat listrik.

Semua indraku terangsang. Gatal, di hatiku gatal, bahkan di sana lebih gatal.

Aku mendorongnya menjauh, namun jauh di lubuk hatiku, aku menginginkannya.

Tanpa sadar aku menggenggam erat kemeja Dimas sambil terengah-engah.

"Mmm... Kak Dimas..." Desahan mulai terdengar dari mulutku, yang terdengar begitu asing bagiku.

Hatiku semakin menderita. Aku ingin dia masuk lebih dalam, namun aku bimbang dan ingin menolak.

Malaikat dan iblis berputar-putar dalam pikiranku, hampir saja membuatku gila.

Tiba-tiba, Dimas dengan cepat mengaitkan ujung celana dalamku dan menyelipkan jarinya ke dalam.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kau Adalah Obatku   Bab 8

    Tenagaku tidak sebesar dia, aku tak bisa melepaskan diri.Sambil melepaskan sabuknya, dia menekanku di wastafel, "Bukankah kau menggoda Dimas semalam?""Biarkan aku yang memuaskanmu hari ini."Aku ingin berteriak keras, tapi dia menutup mulutku sehingga aku tidak bisa bersuara."Simpan tenagamu. Semua orang di perusahaan sudah pergi sekarang, bahkan satpam pun tak ada di sini. Berteriak tak ada gunanya.""Mending biarkan aku bersenang-senang."Aku meronta, air mata mengalir di wajahku.Gilang merobek bra-ku dan mencubit putingku. Aku seperti merasakan sengatan listrik, tubuhku bereaksi hebat.Gilang menekan bokongku, dan aku memejamkan mata putus asa.Tepat saat Gilang hendak berhasil, Dimas masuk dan menendang pinggang Gilang.Gilang pun terjatuh keluar tanpa celana."Dimas!" Aku menangis, berlari ke pelukan Dimas.Dimas memelukku dengan protektif. Aku melihat tangannya terkepal, urat-uratnya menonjol."Rina, tidak apa-apa, aku di sini." Kalau bukan Dimas sedang memelukku, dia pasti

  • Kau Adalah Obatku   Bab 7

    Aku sangat ingin lepas dari tangannya Dimas.Tapi aku juga ingin terus merasakan sentuhannya.Dengan merasa malu, aku mengatupkan gigi dan berkata, "Kak, aku baik-baik saja, hanya kurang tidur semalam. Aku akan baik-baik saja setelah tidur sebentar." Kakak keuangan itu berhenti membujukku dan berkata kepada Dimas, "Dimas, bersikaplah sopan dan jagain Rina."Dimas menatapku sebentar, wajahnya tetap tenang, sementara gerakan jarinya terus berlanjut."Baik, Kak," jawab Dimas santai kepada kakak keuangan itu.Tiba-tiba, tekanan di tangannya meningkat.Aku terkejut. Dimas merasakan kontraksiku dan mengoreknya lebih dalam.Detik berikutnya, aku menggertakkan gigi dan mencapai klimaks di tangannya.Aku jelas melihat senyum licik di wajah Dimas.Tapi tak lama kemudian, ia kembali ke ekspresi seriusnya.Tangannya terus berlanjut.Aku mulai memohon padanya, "Nggak mau, nggak mau lagi."Namun, ia meraih tanganku dan menekannya ke selangkangannya.Aku mengerti maksudnya.Dalam sensasi klimaksku,

  • Kau Adalah Obatku   Bab 6

    Semuanya berlangsung dengan alami.Setelah itu, aku bersandar lemah pada Dimas, bagian bawahku basah kuyup.Aku merasa jauh lebih ringan, hasrat membara itu telah diredam oleh Dimas.Aku selalu mengandalkan obat untuk mengendalikannya.Aku tak pernah membayangkan bahwa melakukan ini akan memiliki efek yang sebanding dengan minum obat.Aku turun dari tubuh Dimas, menundukkan kepala, malu sampai tak berani menatapnya."Rina..." panggil Dimas lembut."Maukah kamu menjadi pacarku?"Pertanyaan Dimas yang tiba-tiba itu mengejutkanku.Aku tidak berniat membuatnya bertanggung jawab.Bahkan aku ingin berterima kasih padanya, karena telah membantuku saat penyakitku timbul."Aku...aku..." Aku merasa sedikit malu.Dimas memegang tanganku. "Apa kamu tidak berencana untuk bertanggung jawab?"Aku menyadari, setiap kali Dimas berbicara padaku dengan suara serak rendah, aku langsung terangsang hingga tak bisa berpikir jernih.Sensasi di bawahku mulai muncul lagi.Aku benar-benar malu. "Aku tidak tahu..

  • Kau Adalah Obatku   Bab 5

    "Kupikir, kamu..." Dimas tidak menyelesaikan kalimatnya.Tapi aku tahu apa yang ingin dia katakan. Dia pasti mengira aku wanita genit yang sengaja menggodanya.Dimas adalah seorang pria dewasa yang beberapa tahun lebih tua dariku.Dia belum pernah gagal untuk mendapati wanita sebelumnya.Malam ini, dia salah menilai."Maaf, meskipun aku tidak obsesif keperawanan, kamu harus memikirkannya baik-baik." Dimas menghentikan semua gerakannya.Hasratku tidak berkurang karena dia berhenti.Sebaliknya, hasratku seolah membalas dendam, semakin kuat.Aku tahu Dimas juga terangsang.Dia sudah terangsang sepanjang malam dan pasti sudah mencapai batasnya.Tapi dia tetap berhenti, dan aku melihatnya menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.Tubuhku tanpa sadar terus-menerus menggodanya.Aku tak yakin apakah itu hanya reaksi fisik atau aku benar-benar jatuh cinta padanya.Sikap Dimas yang terkendali bagaikan racun.Aku rela mati di bawahnya.Aku tak kuasa menahan diri lagi, dan menangis tersedu

  • Kau Adalah Obatku   Bab 4

    Ujung jari kasar menekan titik sensitifku."Mmm..." Gairah itu hampir tak terkendali.Aku membenamkan kepalaku di dada Dimas, mengeluarkan desahan lembut seperti anak kucing.Dimas menarik jari-jarinya, mengamati benang-benang keperakan yang telah ia bawa di hadapanku.Jari-jarinya membuka dan menutup. Benang-benang keperakan yang berkilauan di jari-jarinya, mengkhianatiku.Gelombang kekesalan muncul dalam diriku, kenikmatan bercampur rasa kesal karena dihentikan."Benar-benar tidak mau? Hmm?" Suara Dimas terngiang di telingaku, intonasi yang meninggi semakin merangsangku.Jari-jarinya perlahan mengusap pahaku. Rasa dingin dari jari yang basah itu membuat tubuhku semakin lemas.Nada bicaranya sudah bukan lagi tentang memperhatikan kondisiku.Rayuannya dingin dan blak-blakan.Aku menggertakkan gigi, tak mau mengakui bahwa aku menginginkannya.Tangan Dimas bergerak ke bawah lagi. Ia perlahan menelusuri bagian sensitif melalui celana dalamku.Jantungku berdebar kencang, bagian bawahku s

  • Kau Adalah Obatku   Bab 3

    Aku tidak boleh menimbulkan suara terlalu besar. Kalau sampai membangunkan rekan kerja di tenda lain, aku tidak akan bisa menjelaskan apa pun.Aku menggertakkan gigi, lalu meraih pinggang Dimas untuk menopang diri dan berdiri.Itu adalah pertama kalinya aku begitu dekat dengan tubuh seorang pria.Aku sudah tidak bisa peduli dengan payudaraku yang besar, menyentuh dari pinggangnya hingga perutnya.Aku menempel padanya untuk menopang tubuhku sendiri, otakku nyaris kosong.Dimas menopangku, membantu berjalan hingga ke bangku batu di tepi pemandian air panas.Setelah duduk, aku berusaha keras mendorongnya menjauh.Namun reaksi tubuh yang terus datang membuatku sama sekali tak punya tenaga lagi.Tiba-tiba, aku mendengar desahan samar dari sebuah tenda tak jauh di belakangku.Aku memegangi dahiku, dan dalam hati berpikir, 'Gawat.'Baru saja aku sedikit tenang, tapi justru pada saat seperti ini…Kakak bagian keuangan dan suaminya mulai ‘olahraga’.Dimas menatapku sekilas, lalu menarikku berse

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status