Nora menangis tertahan, menggigit bibirnya hingga nyaris berdarah. Kedua tangannya mencengkram erat seprai yang kini kusut dan basah oleh keringat. Sakit. Begitu menusuk dan menyesakkan.
"Sakit Naren! Sakit!" ucapnya dengan sisa tenaganya. Bukannya berhenti, Naren semakin kasar mendorong tubuhnya. Mengoyak tubuh Nora yang berdenyut kesakitan. Kepalanya pusing, ia melihat mata Naren yang memancarkan penuh kemarahannya. Setiap gerakannya hanyalah untuk menguasai dan memimpin. Tak ada kasih.Beberapa jam berlalu.Naren berhenti dengan sendirinya, menarik dirinya dari tubuh Nora. Ia menyisir rambutnya yang basah karena keringat dengan jari-jari tangannya yang panjang, memperlihatkan wajahnya yang seperti keramik, halus. Matanya yang berwarna abu-abu menyala terang seperti serigala. Ada kepuasan yang terpancar di dalamnya, dia sudah menandai Nora dengan tubuhnya sendiri. Tidak ada lagi ada bekas jejak laki-laki asing di sana.Naren kemudian menjauh, menaKamar Naren remang, cahaya dari lampu sudut menciptakan bayangan hangat di dinding. Nora duduk di sisi ranjang, menarik selimut hingga ke dadanya. Wajahnya masih tampak lelah, tapi ada kedamaian yang mulai meresap di matanya. Naren duduk di sisi satunya, membuka kancing bajunya perlahan tanpa memedulikan apakah Nora memperhatikan atau tidak. Tapi tentu saja, Nora melirik diam-diam dari balik rambutnya yang terurai.“Aku kira kamu akan menggoda lagi,” gumam Nora pelan, suaranya sedikit menggoda namun dengan nada sungguh-sungguh.Naren menoleh cepat dan tersenyum kecil. “Godaan itu datang saat kamu tidak minta. Sekarang kamu minta… aku justru bingung harus bagaimana.”Nora memukul bantal dengan ringan dan berusaha menahan tawa. “Bukan begitu maksudku!”“Aku tahu,” balas Naren sambil merebahkan diri di sisi ranjang. Ia tidak menyentuh Nora, tidak memeluk, hanya berbaring dengan kepala menatap langit-langit, menghembuskan napas panjang.Henin
Semua mata tertuju pada Alina. Tidak ada yang berani berkata apapun, tetapi sorot mata mereka lebih bising dari teriakan. Tatapan kakeknya, Dirgantara, yang semula bangga di meja utama, kini berubah kosong. Lalisa menatapnya dengan mata terbelalak, Andrew hanya bisa menunduk pelan sambil mengusap wajahnya sendiri, Grizell menggeleng tak percaya. Tantenya pun ikut kaget dengan peryataan itu. "Jadi siapa Ayah dari anak itu?" bisik beberapa tamu di pojok ruangan."Apa ini? Aku nggak salah dengar kan?" ucap Lalisa dramatis, tawanya meledak seperti ledakan bom kecil yang mengguncang ruang pesta."Tante tunggu! Aku bisa jelaskan semuanya!" seru Alina sambil memegangi tangan Lalisa yang mulai berbalik pergi. Tapi emosi Lalisa meledak, ia mendorong Alina begitu keras hingga tubuh itu terkapar di lantai. Alina mengaduh pelan, kepalanya menoleh ke segala arah mencari bantuan, namun yang ia dapatkan hanya tatapan yang menusuk seperti bilah pedang.
Nora keluar dari ruang ganti dengan wajah tertunduk. Kedua tangannya menggenggam ujung gaun yang baru saja ia coba. Gaun itu sudah tergantung kembali di gantungan seperti sebelumnya. Langkahnya ragu-ragu saat mendekati Naren yang duduk menyilangkan kaki di sofa butik sambil terus mengawasi gerakannya. "Bagaimana? Jadi?" tanya pegawai butik yang tadi membantu, mendekat dengan senyum profesional.Naren tidak langsung menjawab. Pandangannya hanya tertuju pada wajah Nora yang tampak lelah dan malu-malu. Sekilas mata mereka bertemu, tapi Nora segera menunduk. Ada sesuatu yang menahan bibir Naren untuk bicara, seolah ada perang kecil dalam dirinya, antara keinginannya dan kenyataan bahwa Nora bukan boneka yang bisa ia atur sesuka hati.Beberapa detik kemudian, dengan suara pelan, Naren akhirnya berkata, “Jadi.”Ia bangkit dari sofa, menandakan bahwa mereka selesai. Nora menyerahkan gaun yang tadi ia coba kepada pegawai, lalu melirik Naren sebelum
“Saya ingin bertemu dengan Madoko!”Suara perempuan itu tenang, tapi ada ketegangan di dalamnya. Penampilannya sangat tertutup, masker, kacamata hitam, topi putih, semua terpasang agar tidak dikenali.Petugas sipir memandangi wajah tertutup itu dengan bingung, sebelum membuka berkas tahanan.“Anda siapa?” tanyanya curiga.“Putrinya,” jawab wanita itu—datar, tapi cukup tajam untuk membuat petugas terhentak.Petugas memeriksa layar komputer. Lalu menoleh lagi dengan kerutan di dahi.“Dia sudah bebas. Satu minggu yang lalu.”“Tidak mungkin…” suara Adisty nyaris serak. “Kenapa dia bisa bebas?” teriaknya. Histeria meledak seperti bara yang disulut api. “Dia sudah melakukan kejahatan yang paling fatal! Vonisnya seumur hidup! Kenapa bisa bebas?"“Dia mendapatkan pembebasan bersyarat.” jawab pegawai itu dingin. “Tidak mungkin…”Tubuh Adisty gemetar. Sekuat apapun ia berpura-pura telah melupakan masa lalu, nama Madoko tetap pu
Nora menangis tertahan, menggigit bibirnya hingga nyaris berdarah. Kedua tangannya mencengkram erat seprai yang kini kusut dan basah oleh keringat. Sakit. Begitu menusuk dan menyesakkan. "Sakit Naren! Sakit!" ucapnya dengan sisa tenaganya. Bukannya berhenti, Naren semakin kasar mendorong tubuhnya. Mengoyak tubuh Nora yang berdenyut kesakitan. Kepalanya pusing, ia melihat mata Naren yang memancarkan penuh kemarahannya. Setiap gerakannya hanyalah untuk menguasai dan memimpin. Tak ada kasih.Beberapa jam berlalu. Naren berhenti dengan sendirinya, menarik dirinya dari tubuh Nora. Ia menyisir rambutnya yang basah karena keringat dengan jari-jari tangannya yang panjang, memperlihatkan wajahnya yang seperti keramik, halus. Matanya yang berwarna abu-abu menyala terang seperti serigala. Ada kepuasan yang terpancar di dalamnya, dia sudah menandai Nora dengan tubuhnya sendiri. Tidak ada lagi ada bekas jejak laki-laki asing di sana. Naren kemudian menjauh, mena
Mobil hitam Naren berhenti tepat di depan sebuah bangunan. Tidak ada papan nama, tidak ada kesan itu adalah sebuah agensi. Lebih terlihat seperti rumah biasa. Naren turun tanpa menunggu, langkahnya tegas, cepat, dan menebar aura tekanan yang membuat resepsionis langsung menunduk.Ia tidak mengucapkan salam saat masuk ke ruang kerja pemilik agensi, hanya membuka pintu dan langsung duduk di sofa dengan sikap penuh kuasa, seolah tempat itu miliknya.Wijaya, pria paruh baya dengan setelan rapih dan senyum licik, hanya melirik sekilas dari balik mejanya. Ia sudah terbiasa dengan sikap Naren, dan lebih dari itu, ia tahu, sekeras apa pun Naren berteriak, selama Dirgantara masih berpihak padanya, dia tak akan terluka sedikit pun.“Panggilkan Adisty!” perintah Naren, datar, tanpa emosi.Wijaya menyesap tehnya perlahan, lalu menjawab santai, “Dia sedang ada pemotretan. Di luar.”“Di mana?” tanya Naren, nadanya meninggi.“Louis To