"Sekarang kamu ingin membuang ku setelah meniduri ku? Kamu pikir Nora akan menerima cincinmu setelah kita berhubungan intim?" Nora tersentak kaget. Kalimat panjang yang terlontar dari mulut sahabatnya, Adisty bagaikan ribuan panah yang menancap di jantungnya. Tidak berdarah namun membuat dadanya merasa sesak dan sulit untuk bernafas. Hari spesial yang ia pikir menjadi hari paling bahagianya, nyatanya menjadi hari terburuk dalam seumur hidupnya. Hubungan yang sudah terjalin hampir sebelas tahun runtuh seketika. Di alam bawah sadarnya, Nora yang dipenuhi perasaan amarah, kecewa, benci, dan sakit hati, asal mencium laki-laki yang kebetulan ada di depannya. Melampiaskan kemarahannya, bahwa ia pun bisa melakukan hal yang sama di depan pacarnya, Danu. Dan orang itu adalah Naren Dirgantara. Direktur dari agensi tempat bernaungnya Adisty. Setelah Nora tahu itu, Nora pun menawarkan dirinya sendiri kepada Naren dengan syarat Naren mau memutuskan kontrak dengan Adisty. Namun tak semudah itu untuk membuat Naren setuju dengan kemauannya. Lantas, bisakah Nora membuat Naren berkerjasama dengannya? Membalas rasa sakitnya pada Adisty dan Danu?
View More"Aku bisa memberikan apa yang Nora tidak bisa berikan padamu." desis Adisty dengan sura lembut, berbisik pelan di telinga Danu yang mulai memerah bukan karena dinginnya ruangan melainkan karena hasrat laki-lakinya yang secara tanpa sadar menjadi memuncak.
Danu termenung dengan kepala terus berpikir. Ini bukan hal yang ia inginkan tapi bukan hal yang bisa ia tolak begitu saja. "Aku janji ini hanya akan menjadi rahasia kita berdua." rayu Adisty kembali. Kali ini dia lebih berinisiatif lagi. Dia tahu Danu tidak akan pernah memulainya jika ia tidak memulai duluan. Adisty memutar tubuh Danu pelan, meraih tangan Danu yang terkepal memegangi ganggang pintu kamarnya, dan menaruhnya di atas bulatan lingkaran dadanya yang empuk. "Kamu menyukainya?" tanya Adisty lembut sedikit menekan tangan Danu hingga bentuk bulatan dadanya berubah. Wajah Danu yang mengetat karena tidak suka perlahan melonggar dengan tatapan yang masih bingung. Pikiran dan hati nuraninya masih tidak sejalan. Bayangan wajah wanita berkacamata yang sedang tersenyum membuat batinnya sulit untuk menerima anugerah yang ada di depannya. Namun, Danu sangat mendambakan momen romantis penuh gairah ini. Sesuatu yang Danu dambakan dari dulu tapi tak ia dapatkan dari sosok wanita dalam bayangannya itu. Kepalan tangan Danu perlahan terbuka. Adisty adalah wanita yang cantik dan seksi. Tanpa meminta, ia dengan sukarela memberikan dirinya sendiri. Danu tak ingin membuang kesempatan itu. Adisty tersenyum melihatnya walaupun belum ada tanda-tanda Danu bergerak mengikuti nalurinya. "Kalau begitu bagaimana kalau begini?" Adisty menggerakkan tangan Danu kembali, menggosokkannya pada dada besar miliknya secara perlahan dan membawanya semakin ke atas dan ke atas hingga tangan itu masuk ke dalam balutan baju yang menghalangi bentuk lekuk tubuh yang sesungguhnya. Suara erangan Adisty yang tidak bisa menahan rasa nikmat yang ia buat dengan sendirinya, memicu rangsangan pada diri Danu. Tangan Danu yang kini sudah berada pada dada Adisty tanpa dihalangi sehelai kain pun. Rasa kenyal dan hangat yang ia rasakan untuk pertama kalinya karena menyentuh seorang wanita, mengacaukan pikiran Danu yang menjadi tak rasional. Tanpa ia sadari tangan yang tadi hanya diam, bergerak dengan sendirinya, memainkan dengan jari-jarinya yang panjang, meremasnya pelan dan semakin kuat. "Akh," erang Adisty spontan dengan wajah memerah. Rasa haus akan sentuhan itu membuatnya menjadi gila. Adisty menginginkan lebih banyak dari Danu. "Apa satu tangan cukup?" tanya Adisty dengan wajah memelas. Dia sangat menyukai sentuhan yang membuat tubuhnya terasa meleleh. Danu terdiam. Tubuhnya terasa terbakar hingga membuat nafasnya menjadi hangat. Rasa geli yang memenuhi tubuhnya terasa tidak nyaman. Ia menjadi gila hanya karena menyentuh bagian sensitif Adisty. "Tidak apa-apa. Aku janji Nora tidak akan tahu ini." bujuk Adisty, lagi-lagi Adisty lah yang lebih dulu berinisiatif meraih tangan Danu dan memasukannya ke dalam pakaian dalamnya. "Ikuti instingmu sebagai laki-laki. Aku menyukai setiap bagian yang kamu sentuh!" ucap Adisty mendesah seksi, membangkitkan gairah Danu yang menjadi tak terkontrol. Di rumah sakit, "Tolong ya Mba Nor. Sekali ini aja." perempuan berambut pendek sebahu itu memohon pada temannya. Meminta temannya untuk menggantikan shift malamnya. "Ya," jawab perempuan berkacamata berambut panjang sepinggang itu dengan senyuman lebarnya. "Terima kasih Mba Nor. Mba memang teman yang paling baik." ujarnya, memeluk Nora kemudian berlalu pergi begitu saja. Nora hanya bisa menghela nafas panjang. Padahal dia sudah memiliki janji setelah ini tapi ia tidak bisa bilang tidak pada temannya. "Ckckck, sekali-kali bisa nggak kamu nolak?" keluh Fera berkacak pinggang di samping pintu. Fera baru saja datang untuk tugas malam. "Aku nggak tega. Katanya ini ulang tahun pacarnya." balas Nora. Nora Azkya Heera, wanita dewasa berusia 28 tahun. Berprofesi sebagai perawat di salah satu rumah sakit swasta. Tingginya 160 cm, anak kedua dari keluarga sederhana. Rasa sungkan yang sudah mendarah daging di dalam dirinya, menjadi sesuatu yang tak bisa dihilangkan begitu saja. Orang terdekatnya kadang merasa kesal karena sifatnya itu. Nora selalu mendahulukan kepentingan orang lain dibandingkan kepentingan dirinya sendiri. "Sudah berapa kali dia beralasan seperti itu?" keluh Fera dengan kerutan kening, mempertanyakan ingatan Nora yang pastinya tidak bermasalah karena diantara perawat yang lainnya, Noralah yang memiliki ingatan paling tajam. "Mungkin pacar baru," jawab Nora tersenyum tanpa beban, sedangkan Fera hanya bisa menghela nafas panjang karenanya. Nora mengikat rambut panjangnya dan menjepitnya dengan hairnet. Seragam putih serta rok putih panjang yang sudah dilepasnya kembali dipakainya. "Terus kamu bagaimana? Kamu nggak malam mingguan sama pacarmu?" tanya Fera dengan sebelah alis terangkat. "Kami bisa bertemu kapanpun kami mau," "Jujur. Sampai saat ini aku masih penasaran kenapa hubungan kalian bisa bertahan lama. Apa pacarmu baik-baik saja hanya berpegang tangan? Kamu bilang batasmu sampai pegangan tangan saja kan?" "Pacarku bukan laki-laki seperti itu!" Nada tegas yang keluar dari mulut Nora membuat Fera terdiam dengan kedua bola mata membesar. Nora wanita yang selalu tersenyum dan tidak pernah marah, jika sudah mengeluarkan nada seperti itu berarti dia tidak suka mendengarnya. "Aku tidak bermaksud menuduh pacarmu laki-laki mesum. Aku hanya iri saja sama hubungan kalian." jawab Fera lirih. Di usianya yang sudah 28 tahun ini dia sudah menjadi seorang janda yang memiliki satu anak. Berbeda dengan Nora yang masih suci hingga saat ini. "Benar," jawab Nora diam sejenak. Kedua bola matanya berbinar terang dengan senyuman lebar di wajahnya. Kebahagiaan yang tergambar begitu jelas di wajahnya membuat Fera ikut tersenyum melihatnya. Rasa bahagia yang bisa menular ke orang terdekat. "Aku tak pernah berpikir ternyata hubungan kami bisa bertahan selama ini dengan diriku yang seperti ini. Danu adalah laki-laki yang sangat baik. Tidak ada laki-laki yang begitu pengertian seperti dirinya. Aku bersyukur memilikinya di dunia ini. Dia satu-satunya untukku, separuh nya-," "Ok. ok. Cukup sampai sana kamu membanggakan pacarmu yang spek dewa itu," hentikan Fera sebelum ia semakin merasa iri. "Kamu duluan aja. Aku mau ngirim pesan dulu." "Ya sudah." Fera pergi meninggalkan Nora yang sedang fokus melihat huruf-huruf kecil di layar handphonenya. Meluruskan kacamatanya agar terlihat lebih jelas. ("Sayang maaf. Aku lanjut shift lagi. Bagaimana kalau makan malamnya diganti dengan makan siang?") ketik Nora menambahkan emoticon maaf di akhir chatnya. Selain mengirim pesan ke pacarnya. Nora juga mengirim pesan ke sahabatnya. ("Adisty aku minta maaf. Aku nggak bisa jengukin kamu dulu. Aku lanjut shift malam. Obat yang tadi Danu bawa tolong diminum ya! Jangan sampai lupa!") ketik Nora cepat, kemudian mengirimnya. "Apa Danu sudah sampai ya? Seharusnya sudah sampai sih," gumam Nora, sambil berjalan ia melihat ke arah jam yang melingkar di tangannya. Setelah mendapatkan pesan dari sahabatnya, Adisty. Nora yang tak bisa meninggalkan pekerjaannya terpaksa meminta bantuan pacarnya untuk mengantarkan obat ke Adisty yang mengaku sedang sakit. "Nora!" "Ya." Nora berlari kecil menghampiri rekan-rekannya. Beberapa menit yang lalu saat ia meninggalkannya, ruangan itu baru saja kosong dan sekarang terisi kembali, bahkan lebih penuh dari sebelumnya. "Malam ini kita tidak akan bisa beristirahat," gumam Fera, lesu sebelum berperang. Di kamar Adisty, Danu terdiam, merasakan handphone yang ada di saku celananya bergetar. "Kenapa berhenti?" tanya Adisty. Bibir Danu yang tadinya melumat bibirnya secara sensual, berhenti di tengah jalan. Danu melepaskan bibirnya. Tangannya merogoh kantung celananya untuk mencari benda yang bergetar tadi. "Tunggu sebentar." ucap Danu melepaskan dirinya. Tapi Adisty tak membiarkannya begitu saja. Adisty tak mau rasa nikmat yang ia rasakan itu hilang di tengah jalan. Adisty mendorong tubuh Danu ke atas tempat tidurnya dan menindihnya dengan badannya yang sudah setengah telanjang, hanya menyisakan kain penutup bulatan dadanya yang masih terkait. "Aku tidak tahan lagi. Sejak tadi kau terus bermain dengan bibirku." protes Adisty dengan manja. Bisikan seksinya membuat saliva di tenggorokan Danu tertelan dengan lancar. "Tunggu aku balas pesan seben-." mulut Danu dibungkam Adisty. Adisty melumat bibir Danu seperti yang mereka lakukan tadi, tak membiarkan Danu lepas darinya. Adisty hanya ingin Danu fokus pada dirinya. "Bisakah kamu fokus pada diriku? Jangan pikirkan Nora!" ucap Adisty serius. Matanya menatap mata Danu yang dalam. Tangannya meraih kaitan yang menutupi bentuk bulatan dadanya yang indah. Ia melepaskannya dan membiarkan Danu melihat ke arahnya. Rasa haus yang meledak membuat badannya merasa gerah. Benda besar yang membentuk indah itu bergerak mengikuti alunan nafas yang semakin terasa meningkat. "Kalau begitu matikan lampunya!" "Aku tidak mau. Biarkan saja menyala. Aku ingin melihat wajahmu. Apa kamu tidak mau melihat wajahku?" "Bukan begitu," balas Danu memalingkan wajahnya. Melihatnya secara jelas membuatnya merasa malu. Tubuh Adisty sangat indah dan cantik, sebagai laki-laki normal Danu sulit untuk menahan dirinya untuk tidak menerkamnya lebih dulu. "Kamu yakin melakukannya denganku?" Danu masih tidak bisa percaya dengan apa yang ia lakukan sekarang ini. Ini mungkin sudah sangat lebih dari yang ia bayangkan. "Tentu saja." jawab Adisty tegas. Keyakinannya membuat Danu sejenak terpikirkan akan pacarnya. Pacarnya yang pastinya akan langsung menolak saat Danu hendak ingin mengecup bibirnya saja. "Ingat. Ini hanya menjadi rahasia kita saja!" tekan Danu, matanya kembali mengarah ke arah Adisty yang terlihat agak kecewa. Adisty tahu dia tidak akan sepenuhnya menggantikan Nora di hati Danu. "Ya." Tapi hal itu tak menjadi masalah untuk Adisty. Karena sejak awal dia memang ingin melakukan ini bersama Danu. Adisty menempelkan badannya, baju yang masih melekat di badan Danu ia buka secara perlahan. "Aku tak akan membuatmu menyesal melakukannya denganku!" ujar Adisty tersenyum senang. *** Mendapatkan jeda setelah berperang dengan banyaknya pasien yang berdatangan, Nora langsung mengambil handphonenya. "Kenapa Danu belum balas pesanku? Apa dia lagi di jalan?" gumam Nora mengerutkan keningnya. "Kamu!" panggil kepala ruangan. Nora yang tak tahu dirinya dipanggil, tetap fokus melihat layar handphonenya. "Cewek kacamata!" panggil kepala ruangan itu lagi. "Saya?" tanya Nora langsung menoleh ke belakang. "Siapa lagi selain kamu yang berkacamata di sini?" omel ibu kepala ruangan. "Ya Bu Dokter. Ada apa?" Nora meletakkan kembali handphonenya di laci meja. Menghampiri kepala ruangan yang berdiri agak jauh darinya. "Beberapa hari ini aku terus melihatmu di sini. Siapa lagi yang kamu gantikan hari ini?" Suara tegas dan datar itu membuat jantung Nora menegang. "Vivi." jawab Nora gugup. Perasaannya tidak enak. Siapapun yang ada di posisinya sekarang pasti tahu bahwa wanita di depannya itu terlihat marah. "Anak itu lagi?" bola mata yang membesar bulat dengan nada bicara yang semakin tinggi. Nora tahu dia tidak akan bai-baik saja setelah ini. "Siapa yang mengizinkan kalian bebas saling tukar?" "I-itu," "Pulang! Jangan biarkan aku melihat wajahmu lagi!" usir kepala ruangan geram. Raut wajahnya memerah dengan tatapan seperti ingin membunuh. Mengintimidasi Nora yang mematung seketika. "Dok. Terus yang-," "Kamu tidak mendengarkan perintahku?" bentaknya kencang, sampai yang lain melihat. Tatapan tajam yang mengkilat seperti Sambaran petir sontak membuat Nora langsung diam. "Baik Dok. Tapi saya gak dipecat kan?" "Aku akan pecat kamu kalau kalian saling tukar lagi tanpa izin!" "Maaf." balas Nora. Tapi kata maaf itu tidak tersampaikan dengan benar. Kepala ruangannya sudah langsung meninggalkan dirinya. Dari jauh, Nora bisa melihat wanita yang ia panggil sebagai Bu Dokter itu sedang memarahi kepala perawat. Gara-gara dia, kepala perawatnya jadi kenak omel. Nora hanya bisa berdiri lesu dengan rasa bersalah yang mulai menyelimuti dirinya. "Aku harus cepat pergi dari sini," Nora memutar tubuhnya dan berjalan pergi ke ruang ganti. Pakaiannya sudah berganti dengan pakaian formal. Jam tangan yang melingkar di tangannya baru saja menunjukkan angka sepuluh malam. Belum terlalu malam untuk ia pergi menjenguk Adisty. "Aku lihat sebentar saja lalu pulang," rencananya. Nora memesan mobil untuk mengantarnya. Seperti biasa, dia memesan mobil dengan supir wanita. Tidak lama, hanya beberapa menit, mobil yang ia pesan pun sudah ada di depan matanya. "Perumahan HK." beritahu Nora. Di sepanjang jalan, Nora mencoba menghubungi Danu. Dia berencana untuk memberi tahu pacarnya bahwa dia akan pergi ke rumah Adisty. Laporan singkat yang sering Nora lakukan untuk mengabari sang pacar. "Nomor yang anda tuju sedang sibuk." jawab operator berulang kali. "Mungkin dia sedang sibuk. Aku nggak boleh ganggu." ujarnya. Setelah berulang kali mencoba menghubungi Danu, Nora menyerah. ("Adisty. Aku sedang menuju rumahmu.") beritahu Nora memasukkan kembali handphonenya ke dalam tasnya. *** Klik. Nora terpaksa membuka pintu apartemen Adisty. Sejak tadi ia memanggil Adisty tapi tak ada jawaban dari Adisty. Nora pikir Adisty mungkin sedang kesakitan di dalam karena itu ia menerobos masuk. Rumah itu sangat gelap dan sunyi. Tidak ada tanda kehadiran siapa-siapa kecuali suara erangan yang samar-samar terdengar. "Adisty?" panggil Nora, tapi tak ada jawaban. Melepaskan sepatunya di samping rak sepatu. Nora melihat ada sepatu laki-laki di sana. "Ada orang?" gumamnya, berjalan masuk lebih dalam. Firasatnya sungguh tidak enak, Nora merasakan itu. "Adisty?" panggil Nora mendekat. Erangan itu semakin terdengar di telinganya. Suara yang tak asing di telinganya yang tidak dapat ia artikan. "Adisty? Kamu baik-baik saja?" Nora tampak ragu untuk mendekat. Dia melihat ruangan Adisty menjadi satu-satunya ruangan yang terlihat menyala lampunya disana. "Akhhhh." erang Adisty semakin kencang. Nora yang berpikir Adisty sedang berteriak kesakitan langsung masuk ke dalam. Nora mematung seketika dengan tubuh gemetar. Kedua matanya terbuka lebar dengan degup jantung berdebar kencang. "Nora." ucap Adisty menatap kaget. Saat dirinya masih berada di atas Danu dengan tubuh polosnya yang penuh keringat.Naren melirik ke arah Andrew. Lirikan yang pendek, datar, tapi cukup tajam untuk dimengerti. Tanpa sepatah kata pun, Andrew langsung menangkap maksudnya. Mereka berdua berdiri serempak.Gerakan mereka begitu sinkron, seperti sudah sering melalui situasi seperti ini. Hening yang tercipta tak lagi asing. Tapi tetap membuat orang lain menahan napas.Naren berjalan ke sofa, mendekat ke arah Nora yang sibuk dengan ponselnya. Nora yang sedang mengirim pesan kepada Fera. Namun matanya terangkat ketika Naren berdiri di hadapannya."Aku mau pergi." ucap Naren tanpa basa-basi. Suaranya kembali seperti biasa—dingin dan tajam, seperti batu yang tak pernah tersentuh matahari."Aku juga," jawab Nora menunduk, bangkit berdiri sambil menyelipkan ponselnya ke dalam tas. Ia berusaha terlihat tenang saat pikirannya masih teringat kejadian tadi. Naren mungkin bisa bersikap seperti tidak terjadi apa-apa tapi dia tidak bisa."Aku mau ke rumah temanku," lanjut
Pria tua itu menatap Naren sejenak, seolah mencoba membaca kebohongan atau kebenaran di balik ucapannya. Tapi akhirnya ia mundur perlahan, dan melangkah pergi, meski pandangannya tetap tertinggal di mobil mereka.Begitu bayangan pria itu tak lagi terlihat, Naren kemudian menyibak jas yang menutupi kepala Nora. Nora duduk terpaku. Tubuhnya masih gemetar, pandangannya kosong, seolah jiwanya belum kembali ke dalam dirinya. Bibirnya kelu, tak ada suara, tak ada warna.Naren hanya menatapnya, bingung harus berbuat apa. Dengan tangan yang masih dingin, ia mengangkat dagu Nora perlahan, menelusuri pipi pucat itu dengan jemarinya. Sentuhannya yang terasa dingin, menggerakkan mata Nora yang bergerak pelan, menatapnya. Tapi tatapan itu terlihat hampa. Bukan Nora yang biasanya menatapnya tajam, bukan Nora yang pura-pura terlihat berani. Bukan juga wanita yang pura-pura terlihat baik di depan orang tercintanya. “Dia sudah pergi!” beritahu Naren. "Sudah pergi?" b
Naren menarik Nora ke dekatnya dengan gerakan cepat, membuat tubuh perempuan itu terhuyung, terperangkap dalam genggaman yang tak sempat ia tolak. Dalam satu tarikan napas, posisi mereka berubah. Kini, Nora yang tertindih di bawah tubuh Naren, di atas sofa panjang yang dingin dan sempit. Nafas mereka bertemu, terlalu dekat, terlalu panas.Naren menatap dalam-dalam, memaku pandangannya pada mata Nora yang bergetar. Bola mata wanita itu tampak terkejut, namun tak juga menghindar. Ia membeku, tubuhnya menegang saat Naren menunduk perlahan."Ketenanganku terusik," ucap Naren dengan nada rendah, dingin seperti biasanya. Matanya menusuk, menuntut, seolah mencari jawaban dari tatapan Nora yang kini mulai menghindar.Wajah Naren turun perlahan, napasnya hangat menyapu kulit halus di leher Nora. Tangan yang semula menggenggam kuat kini melemah, entah karena lelah atau karena sesuatu yang tak bisa ia lawan. Nora menggigit bibirnya, hendak mendorong tubuh Naren, tapi
Di ruang makan, suasana begitu canggung. Naren duduk tegak, tangannya rapi di pangkuan, matanya menyapu meja makan tanpa benar-benar melihat. Ayah Nora duduk di hadapannya dengan ekspresi kaku. Nadin di samping mereka, berusaha menjaga senyum."Ini Nora yang masak!" ujar Nadin tiba-tiba, mencoba memecah keheningan yang menggantung.Nora hanya melirik cepat ke arah Naren, dan tanpa disangka, Naren juga melirik padanya. Pandangan mereka bertemu. Naren diam memandangi, tidak menyangka Nora bisa memasak. Ia diam sejenak sampai perhatiannya teralihkan oleh pertanyaan Ayah mertuanya, "Apa kamu mencintai putriku?" Nora refleks menoleh ke arah Ayahnya. Jantungnya berdetak kencang, takut jika Naren menjawab hal yang tidak seharusnya diketahui oleh Ayahnya. Namun yang paling mengejutkannya adalah reaksi Naren yang malah tersenyum. Senyum itu... Nora mengenalnya. Bukan senyum hangat, tapi senyum formal dengan niat tersembunyi. "Tentu saja. Kalau tidak
Nora berdiri di depan pintu gedung. Matanya sesekali menatap ke arah jalan, menunggu kedatangan Nadin, yang berjanji akan menjemput.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Seorang pria muda dengan pakaian rapi dan wajah familiar berhenti tepat di hadapannya."Hallo, Mba Perawat. Anda masih ingat saya?" sapanya sambil tersenyum ramah.Nora sempat bingung beberapa detik, namun matanya menyipit saat meneliti sosok di hadapannya. Di leher pria itu tergantung kartu identitas dengan logo media terkenal."Saya laki-laki yang pernah Mba tolong, malam itu di depan toko. Saya reporter,” jelasnya sambil tersenyum, menunjukkan kartu identitasnya. Nora langsung teringat. "Bagaimana keadaan Anda sekarang?" tanya Nora hangat.“Saya baik-baik saja, berkat Anda,” jawab pria itu tulus. Kemudian, matanya melirik ke arah gedung di belakang Nora. “Anda tinggal di sini?”“Iya…” jawab Nora sedikit canggung, memutar b
Naren kembali masuk ke ruangan pesta dengan langkah berat. Matanya langsung menelusuri kerumunan, mencari sosok pria yang tadi dengan lancang menyentuh Nora.Begitu melihatnya tertawa bersama rekan-rekannya, amarah Naren meledak. Ia menghampiri tanpa aba-aba, lalu menarik tangan pria itu dan memutarnya dengan kasar.“Krekk!”“Aghhh, tanganku! Tanganku!” pekik pria itu kesakitan. Wajahnya memucat, tubuhnya gemetar. Beberapa tamu di sekitar terkejut. Musik berhenti seketika. Semua mata tertuju pada Naren.“Aku sudah memperingatkan dia. Aku bilang wanita itu datang denganmu!” ujar seorang rekan pria itu dengan panik, mencoba menjelaskan dan menyelamatkan diri.Naren tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tatapannya tajam, dingin, dan penuh ancaman. Setelah memastikan pria itu cukup menderita, ia melepas tangannya dan berjalan pergi begitu saja, meninggalkan keributan kecil di tengah pesta.Andrew yang melihat semua itu, berdiri membeku
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments