Naren masih berdiri mematung di tempatnya, hingga suara Nora memecah lamunannya.
“Kenapa kamu masih diam di sana?! Ikut aku!” bentaknya, nada marah namun terdengar seperti perhatian yang terselubung.Naren langsung melangkah mengikuti perintah. Ia memberi isyarat halus pada dua bodyguard-nya agar tidak ikut. Mereka hanya mengangguk dan mundur menjauh.Tak jauh dari tempat itu, rumah sederhana milik Nora tampak tenang di antara rumah-rumah kecil lainnya. Naren melangkah masuk setelah dipersilakan atau lebih tepatnya, diseret oleh amarah lembut Nora.“Duduk.” perintah Nora.Naren pun duduk patuh di ruang makan, sementara Nora masuk ke dapur, menyiapkan sesuatu. Tak butuh lama, aroma telur dadar dan teh hangat mengisi ruangan. Nora meletakkan piring di depannya.“Aku tahu kamu pasti belum makan. Makanlah!” bentaknya, sambil menyodorkan sendok.Naren, seperti anak kucing yang dimarahi induknya, hanya diam dan mulai makan dengan patuhNaren masih berdiri mematung di tempatnya, hingga suara Nora memecah lamunannya.“Kenapa kamu masih diam di sana?! Ikut aku!” bentaknya, nada marah namun terdengar seperti perhatian yang terselubung.Naren langsung melangkah mengikuti perintah. Ia memberi isyarat halus pada dua bodyguard-nya agar tidak ikut. Mereka hanya mengangguk dan mundur menjauh.Tak jauh dari tempat itu, rumah sederhana milik Nora tampak tenang di antara rumah-rumah kecil lainnya. Naren melangkah masuk setelah dipersilakan atau lebih tepatnya, diseret oleh amarah lembut Nora.“Duduk.” perintah Nora. Naren pun duduk patuh di ruang makan, sementara Nora masuk ke dapur, menyiapkan sesuatu. Tak butuh lama, aroma telur dadar dan teh hangat mengisi ruangan. Nora meletakkan piring di depannya.“Aku tahu kamu pasti belum makan. Makanlah!” bentaknya, sambil menyodorkan sendok.Naren, seperti anak kucing yang dimarahi induknya, hanya diam dan mulai makan dengan patuh
Naren duduk diam di kursi menghadap jendela, sementara Dokter Hadi, pria paruh baya yang bersahaja, berdiri menyandarkan diri pada meja kerjanya. Pandangannya tertuju pada Naren dengan sorot tajam namun hangat."Jadi tujuanmu sebenarnya adalah Nora, kan?" tanyanya tanpa basa-basi.Naren terkejut. Bahunya menegang. Ia menoleh perlahan, tapi tak menjawab. Hanya sorot matanya yang berubah gelap."Kamu tidak perlu kaget," lanjut Dokter Hadi."Saat kamu koma, ayahmu selalu datang ke sini. Hampir setiap bulan. Dia menceritakan semuanya padaku tentang kamu."Naren masih diam. Seolah kata-kata Dokter Hadi menyayat bagian terdalam dari jiwanya."Jadi… kamu masih mencintai istrimu?"Naren Diam. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Suasana yang menjadi sunyi seketika, seperti menyembunyikan perasaan yang tak pernah bisa ia buang."Ayahmu memintaku menjaga Nora dan anakmu," ujar Dokter Hadi lebih lembut,"Karena dia ya
Suasana klinik sangat ramai. Pasien silih berganti datang. Nora berdiri tenang dengan stetoskop tergantung di lehernya, memeriksa seorang pasien anak-anak dengan telaten."Tidak apa-apa, nanti Tante kasih stiker ya," ucap Nora sambil tersenyum lembut, membuat anak itu berhenti menangis. Namun, di belakang, di ruang istirahat perawat, suara begitu heboh dan bisik-bisik terdengar semakin riuh."Kamu udah lihat belum? Ini lho! Naren Dirgantara! Ganteng banget, parah!""Gila sih, itu cowok kayak keluar dari lukisan!""Katanya dia ahli waris satu-satunya, dan sekarang resmi pegang semua aset Dirgantara Grup!"Nora yang sedang menuliskan catatan medis pasien hanya mendengarkan. Nama Naren berulang kali terdengar di telinganya, menerobos masuk ke dalam pikirannya yang sudah berusaha keras untuk melupakannya."Liat deh wajahnya,""Kok bisa ya ada laki-laki setampan dan sekaya itu hidup di dunia nyata?"Beberapa perawat tertawa cekikik
Waktu berlalu dengan cepatnya. Setelah Noah dinyatakan sembuh total, mereka kembali ke rumah. 2 TAHUN BERLALU, Langit gelap bergemuruh. Hujan turun perlahan sebelum berubah menjadi deras. Payung-payung hitam terbuka di antara orang-orang berpakaian gelap yang berdiri dalam diam dan duka.Noah berdiri tegak sambil menggenggam tangan ibunya erat. Wajahnya kecil, tapi tajam. Sorot matanya menyiratkan kecerdasan dan keberanian yang belum pantas dimiliki anak seusianya.Tiba-tiba petir menyambar dari langit, kilat itu menyinari bola matanya yang berwarna abu-abu keperakan. Mata yang familiar, mata dari seorang Dirgantara.Semua orang menoleh. Seolah dunia diam hanya untuk menatap anak itu.“Kenapa kita harus ke sini, Ibu?” tanya Noah pelan. Nada suaranya dewasa.Nora menunduk dan membelai rambut Noah dengan lembut.“Karena kita keluarga.” jawabnya lirih. Mata Nora tetap mengarah pada liang lahat di kejauhan, tempat tubu
“Stabil! Detak jantungnya kembali!”“Sambungkan ke mesin bantu. Lanjutkan penyesuaian implan!” ucap Dokter yang bertanggung jawab atas operasi Noah. Ruangan itu kembali tenang, tapi mencekam. Nora nyaris jatuh bersimpuh di lantai. Grizell yang melihat hendak mendekat, tapi langsung berhenti saat melihat seorang perawat keluar dan memegang bahu Nora. “Bu, operasinya belum selesai. Tapi kami berhasil mengatasi krisisnya.” beritahunya. Grizell merasa lega. Nora hanya bisa menangis. Tangis yang membuncah karena terlalu lama ia tahan. Ia menunduk, menyentuh lantai rumah sakit dan memejamkan matanya dalam sujud syukur.6 jam sudah berlalu, Nora tak berhenti menatap ruangan. Saat lampu operasi akhirnya padam. Pintu ruang operasi terbuka perlahan. Seorang dokter dengan pakaian bedah masih lengkap keluar dengan senyum lelah tapi tulus. Grizell dan Nora langsung berdiri.“Operasinya berhasil,” ujar sang dokter.Nora membek
Di rumah sakit. Nora duduk diam di sisi ranjang sambil menggenggam tangan Noah yang sedang tertidur lemah. Selang infus terpasang di tangannya. Nafasnya sudah lebih stabil dari sebelumnya, tapi suara alat bantu di samping terus berbunyi, seolah mengingatkan penyakit Noah belum benar-benar pergi.Nora menunduk lesu, memijat pelipisnya yang berdenyut. Matanya sembab, wajahnya pucat. Di depannya, map-map laporan medis dan brosur dari berbagai rumah sakit berserakan. Semua tentang implan jantung anak-anak. Semua dengan satu kesimpulan, mahal, rumit, tidak ada, dan harus segera.Sepuluh hari ia berjuang sendiri. Bertanya kepada teman-teman lamanya, dokter kenalan, yayasan sosial, bahkan mencoba mencari daftar donor. Tapi semua jawabannya sama, waktu yang ia miliki terlalu sempit. Dan itu membuat Nora merasa seperti terperangkap dalam ruang sempit tanpa jalan keluar.Dengan tangan gemetar, Nora menunduk, mencium punggung tangan Noah yang mulai hangat. Air m