Pagi itu tak lagi bersahabat untuk Nora dan Naren. Langit tampak cerah, tapi ruangan itu diselimuti awan kelabu yang tak kasat mata. Suasana dingin dan hening. Hanya terdengar deru AC yang menyusup masuk ke dalam dada, memperkuat kesepian yang menggumpal.
Naren berdiri beberapa langkah dari Nora, memandangi wanita itu dalam diam. Wajahnya pucat. Rambutnya berantakan. Tatapannya kosong mengarah ke tembok seolah ingin melubangi dinding dengan pandangan itu. Tidak ada air mata, tidak ada suara, hanya tubuh yang tetap diam meski jiwanya seolah telah pergi entah ke mana.Tanpa berkata-kata, Naren berjalan ke dapur dan kembali membawa segelas air putih. Ia meletakkannya pelan di atas meja kecil di samping sofa."Nora..." panggilnya pelan, namun tak digubris.Naren kemudian berjongkok, mencoba menyesuaikan tinggi pandangan dengan Nora yang masih terpaku dalam dunianya sendiri. Naren tahu, semua ini terlalu berat. Terlalu cepat, rumit, dan tak terduga untuk diNaren menatap dalam, wajahnya keras namun perlahan melunak. “Istri saya menyembunyikan sesuatu karena takut menyakiti saya. Tapi saya hanya ingin tahu, apakah dia baik-baik saja?”Suasana menjadi hening sejenak. Dokter Elsa tidak langsung menjawab. Ia mengingat ucapan Grizell tadi, tapi laki-laki di depannya ingin tahu dan sebagai suaminya, tentu ia berhak untuk tahu. Akhirnya, Dokter Elsa berdiri. Ia mendekat dan meletakkan tangan di atas meja.“Istrimu sehat. Tapi sekarang dia tidak hanya menjaga dirinya sendiri.”Deg! Jantung Naren berdegup tak karuan.“Maksud Anda?” tanyanya dengan sebelah alis terangkat. “Dia sedang hamil. Usia kehamilannya baru tiga minggu.”Waktu seakan berhenti bagi Naren. Matanya membulat. Napasnya tertahan.“Dia… hamil?” bisiknya.Dokter Elsa mengangguk pelan. “Tolong jaga perasaannya. Dia tampak sangat cemas.”Naren mengangguk cepat, seperti tak bisa berkata-kata. Untuk
Reza berdiri tegak di hadapan Dirgantara, menyodorkan map berisi rangkuman pergerakan terbaru Naren dan timnya.“Mereka sudah hampir menyelesaikan semuanya, Tuan. Bukti kesaksian para korban dan saksi pada kejadian hari itu. Mereka sudah mengantongi semuanya, kemungkinan Madoko akan kalah!" lapor Reza, suaranya tegang.Namun berbeda dari yang diharapkan, Dirgantara tidak menunjukkan kepanikan sedikit pun. Ia justru menyandarkan tubuhnya pada kursi besar berlapis kulit, jemarinya saling bertaut di depan dada. Senyum tipis mengembang di wajahnya.“Biarkan saja,” ucapnya tenang. “Jika mereka yakin bisa menang hanya dengan kebenaran, mereka terlalu naif.” Reza diam menunduk, memperhatikan tuannya yang kini menatap kosong ke arah jendela kaca besar di ruangannya.“Bersiap untuk rencana kedua. Aku ingin tahu bagaimana Naren akan melawan kali ini!" "Baik Tuan."***Di apartemen Naren. Berjam-jam membahas persiapan un
Adisty membuka pintu kamar mandi dengan tangan gemetar. Langkahnya terburu-buru, seolah ingin melepaskan diri dari pandangan siapa pun. Begitu sampai di dalam, ia berlutut di depan wastafel dan langsung muntah. Tubuhnya bergetar hebat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Tangannya mencengkeram pinggiran wastafel erat-erat, dan wajahnya terpantul di cermin. Pucat, hancur, dan kosong.Andai saja Dirgantara tidak menjanjikan sesuatu padanya. Dia tidak akan pernah muncul di depan hadapan Ayahnya."Bantu aku hancurkan mereka, dan aku akan pastikan Ayahmu kembali masuk penjara. Kamu bisa hidup bebas, rumah, nama, semua yang pernah kamu impikan. Akan aku wujudkan." Suara Dirgantara terngiang tajam di ingatan Adisty.Adisty menggeleng keras, mencoba mengusir bayangan itu. Tapi janji itu telah ia ikatkan dengan darah. Jalan yang ia pilih telah menuntunnya ke sini. Menjadi saksi untuk menghancurkan Nora demi kebebasannya. “Bertahan Adisty! Sebentar lagi
Beberapa hari berlalu. Proses hukum dimulai.Ayah Nora mendapatkan pendampingan hukum. Adrian dan timnya meminta agar kasus ditangguhkan penahanannya dengan alasan kesehatan dan situasi khusus. Hakim mulai mempertimbangkan, apalagi setelah bukti-bukti tentang rekam jejak korban, Madoko, mulai dibuka ke publik secara sah dan terverifikasi.Gugatan pencemaran nama baik atas nama Nora dilayangkan. Beberapa media dipanggil untuk klarifikasi. Nama Adisty juga masuk dalam daftar pihak yang digugat. Adrian dengan lihai menjadikan pengakuan Adisty sebagai bukti serangan balik yang kuat, bahwa Adisty punya motif pribadi.Penyelidikan atas pengaruh Dirgantara juga mulai disusun. Meskipun hati-hati, tim hukum Naren mulai mengumpulkan dokumen-dokumen lama, transaksi mencurigakan, dan jejak digital yang bisa menghubungkan tindakan manipulatif ke tangan Dirgantara.***Di vila, Nora mulai menunjukkan sedikit perubahan. Meski belum pulih sepenuhnya, ia sudah
Pagi itu tak lagi bersahabat untuk Nora dan Naren. Langit tampak cerah, tapi ruangan itu diselimuti awan kelabu yang tak kasat mata. Suasana dingin dan hening. Hanya terdengar deru AC yang menyusup masuk ke dalam dada, memperkuat kesepian yang menggumpal.Naren berdiri beberapa langkah dari Nora, memandangi wanita itu dalam diam. Wajahnya pucat. Rambutnya berantakan. Tatapannya kosong mengarah ke tembok seolah ingin melubangi dinding dengan pandangan itu. Tidak ada air mata, tidak ada suara, hanya tubuh yang tetap diam meski jiwanya seolah telah pergi entah ke mana.Tanpa berkata-kata, Naren berjalan ke dapur dan kembali membawa segelas air putih. Ia meletakkannya pelan di atas meja kecil di samping sofa."Nora..." panggilnya pelan, namun tak digubris.Naren kemudian berjongkok, mencoba menyesuaikan tinggi pandangan dengan Nora yang masih terpaku dalam dunianya sendiri. Naren tahu, semua ini terlalu berat. Terlalu cepat, rumit, dan tak terduga untuk di
Langkah kaki Naren menggema di sepanjang lorong rumah. Para penjaga yang berjaga di depan ruangan Kakeknya sama sekali tidak mencegat, saat Naren langsung membuka pintu tanpa permisi. Matanya lurus menatap Kakeknya. Kakeknya, Dirgantara, duduk di kursi tinggi berbalut beludru tua. Tangannya bertaut di atas tongkat hitam yang mengilap. Wajahnya tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menyebabkan hidup seseorang hampir hancur.Naren berdiri di depannya tanpa basa-basi, nadanya berat dan dingin."Apa yang terjadi pada Ayah Nora. Itu ulah Kakek?" tanyanya.Kakeknya diam tak menjawab, wajahnya terlihat serius, lebih serius dari biasanya. Matanya dalam, tertuju langsung pada Naren, hingga beberapa detik kemudian ia bicara, "Iya." jawabnya datar, seolah pengakuan itu hanya sekadar fakta yang tidak penting.Naren yang mendengarkan langsung mengepalkan tangannya. Dadanya naik turun karena marah yang ditahan. Matanya terus