Bian menunggu Salma dengan gelisah. Begitu sang istri muda keluar dari kamar mandi, Bian langsung menyeretnya dan memaksa perempuan itu untuk duduk ditepi tempat tidur.
"Kamu apa-apaan sih, Mas?" protes Salma."Siapa dia?" tanya Bian sambil melemparkan ponsel Salma ke atas pangkuan wanita itu."Maksud kamu apa?""Yang kirim chat ke kamu pakai sayang-sayangan itu, siapa?" ujar Bian yang sengaja mengulang pertanyaan agar lebih jelas.Degh!Jantung Salma langsung berdetak cepat. Wajahnya terlihat pias dengan tangan yang mulai mengeluarkan keringat dingin."Yang mana, Mas?" tanya Salma berpura-pura tak mengerti."Buka ponsel kamu sekarang! Mas mau lihat chat yang tadi."Meneguk saliva yang terasa payah, Salma dengan sedikit gemetaran membuka sandi ponselnya. Setelah itu, dia membaca pesan dari sebuah nomor asing yang tak tersimpan dalam kontaknya. Selang beberapa detik, perempuan itu malah tertawa kecil."Kok kamu malah ketawa?" tanya Bian heran."Ya ampun, Mas! Ini tuh cuma pesan nyasar. Coba kamu lihat!" Salma menyerahkan ponselnya kembali pada Bian. "Ini tuh nomor baru. Aku nggak kenal sama sekali siapa pemiliknya.""Jangan bohong kamu, Salma!""Aku nggak bohong. Coba aja Mas Bian telfon kalau nggak percaya!"Melihat wajah sang istri yang tampak sangat serius, Bian pun akhirnya percaya. Dia kembali menyerahkan ponsel milik Salma lalu duduk di samping wanita itu sambil menyugar rambutnya."Mas kirain kamu selingkuh, Sayang!" lirih Bian melunak."Ya nggak mungkinlah, Mas! Aku kan cinta mati sama kamu," timpal Salma sambil memeluk Bian.Kali ini, Bian benar-benar luluh oleh ucapan dan tingkah Salma. Apalagi, sekarang wanita itu mulai perlahan menggoda Bian."Mas, main bentar yuk! Aku kangen," ucap Salma dengan manja."Kamu mau?" tanya Bian dengan senyuman lebar."Mau," sahut Salma nakal seraya menggigit pelan cuping telinga Bian.Ya, salah satu keunggulan Salma adalah begitu aktif mengajak Bian 'main' terlebih dulu. Sementara, Najwa terkesan lebih malu-malu dan selalu menunggu Bian yang berinisiatif duluan. Itulah salah satu alasan mengapa Bian begitu tergila-gila pada Salma.Sementara sepasang suami istri itu sedang 'bermain' didalam kamar, ada seseorang yang sedang merasakan sakit luar biasa karena tak sengaja mendengar suara-suara aneh dari dalam kamar yang tertutup rapat itu."Ya Allah... tolong kuatkan aku," pinta Najwa sambil mengusap air matanya. Tubuhnya luruh ke lantai dengan tangan yang meremas dadanya.Sakit.Sakit sekali ketika Najwa tahu bahwa suaminya sedang berbagi peluh dengan wanita lain selain dirinya."Kuat, Najwa! Tolong jangan hancur!" gumam wanita itu menguatkan diri."Astaghfirullahaladzim!! Astaghfirullahaladzim!" lanjutnya beristigfar sambil berusaha berdiri."Jangan pernah memilih tumbang, Najwa! Asal kamu tahu! Kekuatan yang ada dalam diri kamu, jauh lebih besar dibanding yang kamu tahu selama ini. Apapun cobaannya, kamu pasti bisa melewatinya. Tak mengapa tertatih asal jangan berhenti. Tak mengapa menangis, asal jangan berputus asa. Ingat! Allah hanya menguji Hamba-Nya yang dia anggap layak. Jika semakin berat cobaanmu, itu artinya hadiah yang Allah persiapkan untukmu juga semakin besar dan indah."Kalimat itu tiba-tiba terngiang di telinga Najwa. Ya, itu adalah petuah terakhir yang Kakek ucapkan sebelum pergi meninggalkan Najwa sendirian untuk selamanya. Dan, bagai dialiri sebuah energi baru, Najwa mendadak merasa lebih kuat dan tabah setelah mengingat petuah itu."Ya, cucumu tidak akan pernah tumbang hanya karena ulah pengkhianat itu, Kek! Najwa akan pastikan bahwa ini adalah air mata terakhir yang Najwa tumpahkan karena pengkhianatan Mas Bian," lirihnya sebelum melangkah pergi meninggalkan tempat itu.*****"Mas, kapan aku bisa pindah ke kamar Mbak Najwa?" tanya Salma setelah dia dan Bian selesai mendaki puncak surga dunia bersama."Untuk apa kamu mau pindah ke kamar Najwa, Sayang? Nanti yang ada, Najwa malah makin marah sama kita."Salma memasang wajah cemberut."Ikh, Mas! Aku tuh nggak suka di kamar ini. Kamarnya sempit banget. Beda sama kamar Mbak Najwa yang luas dan banyak fasilitasnya," keluh Salma.Bian menghela napas panjang. Sejujurnya, dia tidak tahu harus menanggapi seperti apa permintaan istri keduanya itu."Mas, kamu dengar aku nggak, sih?" tanya Salma sambil menggoyangkan lengan Bian."Ya, Mas dengar kok, Sayang!""Terus, tanggapan kamu, gimana? Bolehkan, aku tukeran kamar sama Mbak Najwa?""Gimana, ya?" Bian menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Mas, aku cuma minta kamar Mbak Najwa loh! Masa' nggak boleh, sih? Bukannya, Mas udah janji bakal kabulin apapun permintaan aku? Lagipula, Mbak Najwa kan sebenarnya nggak butuh-butuh banget kamar yang besar. Dia 'kan bakalan jarang Mas kelonin juga. Kan, Mas katanya lebih suka tidur sama aku dibanding sama dia. Iya kan?" Salma sengaja mencium bibir Bian agar lelaki itu bisa termakan bujuk rayunya."Besok Mas akan bicarakan hal ini sama Najwa. Oke?""Beneran ya, Mas!""Iya," angguk Bian sambil tersenyum paksa.Padahal, dalam hati Bian sudah ketar-ketir. Pasti, Najwa tak akan pernah setuju dengan permintaan Salma. Namun, jika Bian terang-terangan memberitahu Salma bahwa Najwa pasti menolak, dia juga takut jika Salma malah ngambek dan tak mau memberi 'jatah' lagi untuk dirinya."Kalau Mbak Najwa nggak mau pindah, Mas harus paksa dia, ya! Pokoknya, aku mau kamar itu," tegas Salma."Mas akan coba, Sayang!""Aku nggak mau tahu! Kamar itu harus jadi milikku, Mas! Kalau Mbak Najwa nggak mau kasih, Mas ancam aja buat ceraiin dia. Toh, rumah ini kan, dibeli pakai uang Mas juga," timpal Salma.Kepala Bian benar-benar terasa penuh. Jika Salma tahu fakta yang sebenarnya, akankah wanita itu akan tetap bertahan bersama Bian?"Sialan!! Kenapa jadi begini? Kenapa Najwa malah bahagia dengan lelaki lain? Seharusnya, dia itu kembali sama aku. Bukan malah melupakan aku dan menikah dengan pria lain!!"Bian berteriak kesal yang membuat teman-teman satu selnya menjadi ikut-ikutan kesal."Hei, bisa diam, nggak lu?" hardik seorang pria berbadan besar."Apa?" tantang Bian. "Kalau gue nggak mau diem, lu mau apa, hah?" Ia berkacak pinggang dengan begitu angkuh."Oh, lu berani sama gua?" Pria berbadan besar itu berdiri dari duduknya.Sontak, tahanan lain langsung mendadak riuh. Mereka memanas-manasi keadaan supaya terjadi pertengkaran seru."Emangnya, kenapa gua mesti takut sama lu, hah? Modal badan gede doang, udah sombong lu!""Sialan!"Bugh!Satu pukulan keras menghantam dagu Bian. Lelaki itu langsung mundur ke belakang dengan sedikit kehilangan keseimbangan."Lu berani mukul gua?" Bian mulai naik pitam.Disiapkannya tinju, lalu ia layangkan dengan cepat ke arah pria berbadan besar itu. Sayangnya, tangan Bian justru
Satu tahun kemudian... "Hoekkk!! Hoek!!" "Wa, kamu masih mual?" tanya Halimah seraya menghampiri sang sekretaris yang sedang muntah di toilet yang ada di ruangannya. "Iya, Kak," jawab Najwa. Dia menekan tombol flush pada closet kemudian berbalik menatap Halimah. "Ini sudah lebih seminggu loh, Wa." Halimah mengingatkan. "Paling cuma masuk angin aja, Mbak. Beberapa hari lagi pasti sembuh, kok. Atau, mungkin magh-ku kambuh. Soalnya, akhir-akhir ini aku malas banget buat makan. Kayak nggak nafsu gitu tiap kali lihat makanan." "Bulan ini, kamu sudah haid?" selidik Halimah. "Belum, Kak," geleng Najwa. "Bulan kemarin juga belum. Kenapa, ya?" Plak! Halimah menampar bahu Najwa saking gemasnya. "Kamu nggak nyadar sesuatu, Wa?" tanya Halimah. "Maksud Kak Halimah, apa?" "Jangan-jangan, kamu hamil, Wa?" tebak Halimah.
"Urusan apa lagi, Tante Sephia? Apa Tante masih belum jera juga, mencari masalah dengan kami?" Deva menatap wajah wanita tua itu dengan tajam. Geliginya bergemelatuk dengan keras. Ia sudah sangat siap andai Bu Sephia ingin kembali memulai masalah baru dengannya dan keluarganya. Bruk! Namun, dugaan Deva rupanya salah. Bukan hendak mencari masalah, tetap wanita tua itu justru malah menjatuhkan diri dihadapan Najwa dan Deva. Kedua tangannya saling menyatu didepan dada. Ia meneteskan air mata seraya mendongak menatap Deva dan Najwa seraya bergantian. "Maafkan saya dan keluarga saya! Saya mohon..." pinta Bu Sephia mengiba. "Tante, jangan begini! Ayo, bangun!" Najwa berusaha membuat wanita tua itu berdiri. Akan tetapi, Bu Sephia menolak dan tetap bersikukuh untuk berlutut dihadapan Najwa dan juga Deva. "Suami dan putri saya sudah meninggal karena kesalahan kami sendiri. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Indra. Dan, saya tidak ingin terkena karma lagi. Saya tidak mau keh
Deva menghentikan langkahnya. Ia menengok kebelakang untuk sesaat kemudian kembali melangkah. "Tidak usah. Apapun yang terjadi pada mereka, sama sekali bukan tanggung jawab kita." Teddy mengangguk tanda mengerti. Raungan Bu Sephia adalah hal terakhir yang Deva dengar sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. "Mas..," sambut Najwa saat Deva telah kembali. "Tangan kamu, gimana?" tanya Deva seraya menghampiri sang istri. "Alhamdulillah, sudah agak mendingan." "Maaf, karena aku baru sempat menanyakan keadaan kamu, Sayang!" "Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong, gimana kondisi keluarga Mbak Intan?" "Mereka semua baik-baik aja. Cuma... Tante Sephia sepertinya belum menerima kenyataan bahwa putrinya sudah berpulang." Najwa meneguk ludahnya. Dia turut prihatin akan kepergian Intan yang begitu tragis. Namun, bukankah Intan sendiri yang menentukan akhirnya hidupnya? Wanita itu sendiri yang telah nekat menghancurkan dirinya. "Nak Deva...," panggil Bi Tin. Deva tersenyum hanga
"Galih... kamu dimana, Nak?"Teriakan seorang Ibu yang mengkhawatirkan putranya terdengar begitu menyayat hati. Najwa langsung menyambut wanita tua yang datang bersama beberapa tetangga lain dari kampung dengan langkah tergesa."Bi Tin," sapa Najwa.Bi Tin dengan wajah sembap, langsung menggenggam kedua telapak tangan Najwa."Galih dimana? Bagaimana kondisinya? Dia selamat, kan?" cecar Bi Tin dengan suara bergetar."Masih ditangani dokter, Bi. Galih kekurangan banyak darah.""Ya Allah...," Bi Tin merasakan persendiannya terasa lemas.Dia hampir jatuh bersimpuh. Namun, Najwa dan yang lain berusaha menahan tubuhnya agar tetap berdiri tegak."Duduk dulu, Bi!" ucap Najwa sambil membantu wanita tua itu untuk duduk di kursi besi."Galih...," racau Bi Tin sambil terus menangis."Maafkan Najwa, Bi! Semuanya karena Najwa," lirih Najwa yang ikut duduk disebelah Bi Tin.Bi Tin menghela napas panjang. Dia berusaha mengusir sesak yang menghimpit dadanya.Pasalnya, putra satu-satunya yang ia miliki
"Lepas!!!" teriak Intan membabi-buta. Dia ingin terbebas dari kuncian dua orang tim keamanan yang memeganginya."Aku akan bunuh kamu, Najwa!!!" teriaknya saat melihat kehadiran Najwa diantara banyaknya tamu di pesta ulangtahun Iqbal.Tak Intan hiraukan tatapan-tatapan takut sekaligus geram yang diberikan oleh para hadirin. Wanita itu hanya terus fokus pada Najwa yang saat ini sedang dipeluk oleh Halimah. "Aku akan bunuh perempuan itu! Lepas, Pak! Lepaskan saya!""Tunggu, Pak!" teriak Deva dari belakang.Para tim keamanan itu pun berhenti. Mereka memberi hormat kepada Deva sebelum membuka jalan untuk pria itu agar bisa mendekati Intan.Plak!Semua orang tercengang melihat kejadian barusan. Seorang Deva, yang selama ini pantang memukul wanita... dengan penuh kesadaran justru menampar Intan dengan sangat keras."Deva...," lirih Intan serak. Air matanya jatuh membasahi pipinya."Apa?" tanya Deva dingin. "Apa kamu sudah puas?""Aku begini karena kamu...," timpal Intan."Karena aku?" Deva
"Tolong!!!" teriak Najwa lebih keras.Atensi para hadirin yang datang langsung tertuju ke arahnya. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Tubuhnya gemetaran.Deva yang mendengar teriakan istrinya pun turut menoleh. Matanya langsung melebar sempurna saat melihat tangan sang istri yang bercucuran darah.Prang!Gelas yang dipegang Deva langsung pecah tak berbentuk saat lelaki itu tanpa sadar melepasnya begitu saja dari genggaman.Deva berlari begitu cepat menghampiri sang istri yang saat ini seperti hampir kehabisan napas."Najwa! Sayang... kamu kenapa?" tanya Deva panik. "Dokter!!! Saya butuh dokter!" teriaknya begitu keras.Halimah dan Iqbal turut menghampiri Najwa."Ada apa?" tanya Halimah."Bal, panggil dokter! Istriku butuh dokter!" titah Deva panik sambil memegang tangan Najwa yang berdarah."Panggil Ivanna!" kata Iqbal pada seorang pria yang berdiri dibelakangnya."Oke," angguk pria itu.Tak lama kemudian, seorang wanita dengan gaun malam berwarna hitam datang mendekat. Wanita itu men
Di dalam kamar yang begitu gelap, Intan sengaja mengurung diri. Ponsel yang terus menerus berdenting diatas kasur berusaha ia abaikan.Rentetan notifikasi yang menyesaki layar ponselnya tak ingin ia lihat sedikitpun. Mengintip pun, tidak."Diam!!!" teriak Intan memaki ponselnya.Telinga ia tutup rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya. Dia duduk di pojok, dekat jendela yang tertutup rapat tirai berwarna abu-abu."Berhenti menghakimi aku!!! Aku nggak salah!!" teriaknya lagi.Intan benar-benar tak tahan dengan cacian dari warganet. Apalagi, beberapa bahkan sengaja menerornya melalui DM Ig dan FB."Intan!!! Kamu kenapa, Nak?" teriak Bu Sephia dari luar kamar.Digedor-gedornya kamar sang putri namun tak ada respon sedikit pun dari si pemilik kamar. Hanya racauan Intan saja yang terus terdengar sedari tadi."Ma, sudah! Biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau," tukas Indra sambil menarik sang Ibu menjauh dari kamar sang adik."Ndra, kamu nggak kasihan sama adik kamu, hah?" tanya Bu S
"Jadi, kamu sekarang kerja di catering?" tanya Halimah pada lelaki yang usianya terpaut agak jauh dibawahnya itu.Galih menghela napas dalam-dalam. Dia mengangguk tanpa berani menatap langsung ke arah mata mantan atasannya itu."Najwa juga akan datang ke pesta ini. Saya harap, kamu tidak akan berbuat nekat lagi seperti dulu!" peringat Halimah.Lelaki itu hanya diam saja. Sejujurnya, dia teramat bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan Najwa lagi.Akan tetapi, disudut hati yang lain, Galih justru merasa malu. Bagaimana tidak? Pekerjaannya sekarang hanya seorang karyawan catering. Pelayan, yang derajatnya bahkan dipandang sangat rendah oleh sebagian kalangan berada."Saya harus pergi sekarang, Bu! Permisi!" pamit Galih."Galih, tunggu!"Namun, pria itu tak mau menggubris panggilan Halimah sedikitpun. Baginya, Halimah hanya sekadar mantan atasan. Tak ada kewajiban Galih lagi untuk menghormati apalagi menuruti perintah da