Pulang dari kantor, Bian sudah berangan-angan akan makan malam dengan menu yang nikmat di rumah. Akan tetapi, rupanya ekspektasi ternyata jauh dari kenyataan.
Boro-boro makan enak. Nasi di magic com saja tidak ada. Keadaan meja makan benar-benar kosong melompong. Hanya ada plastik makanan dengan sebuah logo restoran cepat saji yang teronggok diatas sana."Najwa, kamu nggak masak lagi, Sayang?" tanya Bian lembut saat Najwa tak sengaja lewat karena harus mengambil air minum di kulkas."Nggak," jawab Najwa singkat."Kenapa?""Aku belum sempat belanja bahan masakan."Najwa kembali menutup pintu kulkas begitu selesai mengambil sebotol air minum. Dia lalu berjalan hendak kembali ke kamarnya."Najwa, tunggu!" panggil Bian.Terpaksa, perempuan itu berhenti melangkah."Ada apa?""Penampilan kamu... kok beda?"Alis Najwa seketika berkerut. "Beda gimana maksudnya?"Bian menggaruk kepalanya yang tak gatal. Mendadak, dia seperti ABG labil yang baru pertama kali merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis."Hmmm... kok nggak pakai daster kayak biasanya? Terus, muka kamu, kok keliatan agak cerahan?" tanya laki-laki itu penasaran."Oh, aku nggak pakai daster lagi, karena aku udah nggak perlu ngurusin pekerjaan rumah, kamu dan juga Ibumu lagi, Mas. Dan, kalau soal muka aku... aku memang sengaja berangkat perawatan hari ini. Kan, sekarang waktu luangku udah sangat banyak. Wajar dong, aku gunain buat manjain diri aku sendiri?"Bian terperangah. Rasanya, kalimat Najwa seperti mengandung unsur sindiran didalamnya."Ka-kamu punya uang darimana?" tanya Bian penasaran. "Apa kamu gunakan uang belanja yang aku titipkan ke kamu?"Seketika, tawa Najwa pecah. Aduh, suami pecinta sel*ngkangan ini memang kadang-kadang kalau bicara."Ya bukan dong, Mas! Uang belanja dari kamu, bahkan sudah habis sejak pertengahan bulan. Aku perawatan dan belanja kebutuhan pribadiku sendiri, itu murni dari uang kiriman hasil panen dari Kakek.""Berapa sih, uang yang dihasilkan sama petani kayak Kakek kamu itu?" tanya Bian seraya mendengkus kasar.Jujur saja, egonya seperti terluka setelah mendengar penuturan Najwa. Bisa-bisanya, sang istri bisa perawatan dan belanja kebutuhan sendiri dari uang pemberian sang Kakek.Sementara, uang pemberian dari Bian, boro-boro dipakai perawatan, untuk membeli baju saja, Najwa tidak pernah melakukannya. Padahal, Bian yakin jika penghasilannya jauh lebih besar dari hasil panen Kakeknya Najwa."Nggak banyak, sih. Tapi, InsyaAllah cukup untuk menghidupi aku meski harus hidup tanpa suami," balas Najwa tersenyum.Perempuan itu langsung melenggang menuju kamarnya. Bian pun ikut serta dari belakang karena berniat mandi dan ganti baju di kamar besar milik mereka.Sayangnya, begitu sampai diambang pintu, tiba-tiba Najwa berbalik dan menatap garang ke arah Bian."Mas mau ngapain?" tanya Najwa."Ya, mau masuk lah, Sayang! Mas mau mandi sama ganti baju dulu.""Lakukan di kamar Salma! Barang-barangmu sudah aku bawa semua ke sana."Bola mata Bian membulat. Apakah ini pertanda bahwa Najwa benar-benar tak mau memaafkannya lagi?"Kamu keterlaluan, Wa!" desis Bian menahan kesal."Ya, sama seperti kamu," balas Najwa.Darah Bian mulai terasa mendidih. Namun, dia tak bisa berbuat apa-apa karena yang punya kuasa paling besar dirumah ini adalah Najwa.Akhirnya, Bian memilih pergi sebelum dia benar-benar menggunakan kekerasan terhadap istri tuanya itu."Astaga! Najwa ..," lirih Bian seraya menepuk jidatnya.Tiga buah koper berisi barang-barangnya sungguh teronggok didepan pintu kamar Salma. Sepatu-sepatunya bahkan hanya diletakkan begitu saja tanpa disusun sedikit lebih rapi.Pasrah, Bian membawa koper-koper itu masuk ke dalam kamar. Dia ingin mandi lalu berganti pakaian. Setelah itu, mungkin dia akan mengajak Salma keluar untuk makan malam."Mas, kamu sudah pulang?" pekik Salma senang ketika suaminya ternyata sudah tiba di rumah. Dia langsung menghambur memeluk Bian yang seketika mengernyit heran karena menyadari ada sesuatu yang salah."Salma, kenapa kamu bau sekali?" tanya Bian sembari mendorong tubuh Salma menjauh karena reflek.Salma langsung cemberut. "Gimana nggak bau, Mas... aku kan baru aja selesai bersihin kotoran Ibu kamu. Jijik banget tahu, nggak? Aku sampai muntah-muntah loh, Mas!" keluh Salma."Terus, muka kamu kok keliatan kusam gitu, sih?" Kini, wajah Salma yang jadi sasaran protes lelaki itu.Biasanya, Salma memang selalu tampil paripurna dengan hiasan cetar. Namun, hari ini, Salma benar-benar sukses bikin pangling Bian. Untuk pertama kali, Bian melihat istri keduanya tidak cantik sama sekali."Aku belum sempat pakai skincare dan make-up dari tadi pagi, Mas," jawab Salma. "Ibu kamu itu banyak banget maunya. Dikit-dikit manggil. Dikit-dikit manggil. Muak aku lama-lama.""Ah, masa' sih, Ibu seperti itu?" tanya Bian tak percaya."Kalau kamu nggak percaya, kamu bisa gantikan aku buat ngerawat Ibu kamu, Mas!"Bian langsung terdiam. Tidak mungkin dia mau menggantikan Salma merawat sang Ibu. Nanti yang ada, pekerjaan Bian di kantor jadi tambah terbengkalai."Iya, iya. Mas percaya kok, sama kamu! Sekarang, kamu mandi dulu, ya! Biar badan kamu jadi wangi lagi," rayu Bian yang membuat Salma jadi kembali tersenyum.Setelah Salma masuk ke dalam kamar mandi, Bian duduk termenung di pinggir tempat tidur. Ucapan-ucapan Salma tadi, terus berputar diotaknya. Apa benar, jika sang Ibu memang berbuat seperti itu? Jika iya, berarti itukah penyebabnya mengapa Najwa hanya selalu memakai daster kumal serta mukanya selalu terlihat kusam?[Beb, nanti kita ketemu ya! Aku kangen.]Sebuah pesan muncul di layar HP Salma yang kebetulan dia letakkan diatas tempat tidur sebelum mandi tadi.Bian membaca pesan itu dengan penuh amarah. Ingin rasanya dia membaca semua pesan dari nomor yang tak tersimpan itu. Namun, ponsel Salma rupanya menggunakan sandi yang tak diketahui Bian."S!Alan! Apa Salma selingkuh dariku?" gumam pria itu sambil meninju permukaan tempat tidur."Sialan!! Kenapa jadi begini? Kenapa Najwa malah bahagia dengan lelaki lain? Seharusnya, dia itu kembali sama aku. Bukan malah melupakan aku dan menikah dengan pria lain!!"Bian berteriak kesal yang membuat teman-teman satu selnya menjadi ikut-ikutan kesal."Hei, bisa diam, nggak lu?" hardik seorang pria berbadan besar."Apa?" tantang Bian. "Kalau gue nggak mau diem, lu mau apa, hah?" Ia berkacak pinggang dengan begitu angkuh."Oh, lu berani sama gua?" Pria berbadan besar itu berdiri dari duduknya.Sontak, tahanan lain langsung mendadak riuh. Mereka memanas-manasi keadaan supaya terjadi pertengkaran seru."Emangnya, kenapa gua mesti takut sama lu, hah? Modal badan gede doang, udah sombong lu!""Sialan!"Bugh!Satu pukulan keras menghantam dagu Bian. Lelaki itu langsung mundur ke belakang dengan sedikit kehilangan keseimbangan."Lu berani mukul gua?" Bian mulai naik pitam.Disiapkannya tinju, lalu ia layangkan dengan cepat ke arah pria berbadan besar itu. Sayangnya, tangan Bian justru
Satu tahun kemudian... "Hoekkk!! Hoek!!" "Wa, kamu masih mual?" tanya Halimah seraya menghampiri sang sekretaris yang sedang muntah di toilet yang ada di ruangannya. "Iya, Kak," jawab Najwa. Dia menekan tombol flush pada closet kemudian berbalik menatap Halimah. "Ini sudah lebih seminggu loh, Wa." Halimah mengingatkan. "Paling cuma masuk angin aja, Mbak. Beberapa hari lagi pasti sembuh, kok. Atau, mungkin magh-ku kambuh. Soalnya, akhir-akhir ini aku malas banget buat makan. Kayak nggak nafsu gitu tiap kali lihat makanan." "Bulan ini, kamu sudah haid?" selidik Halimah. "Belum, Kak," geleng Najwa. "Bulan kemarin juga belum. Kenapa, ya?" Plak! Halimah menampar bahu Najwa saking gemasnya. "Kamu nggak nyadar sesuatu, Wa?" tanya Halimah. "Maksud Kak Halimah, apa?" "Jangan-jangan, kamu hamil, Wa?" tebak Halimah.
"Urusan apa lagi, Tante Sephia? Apa Tante masih belum jera juga, mencari masalah dengan kami?" Deva menatap wajah wanita tua itu dengan tajam. Geliginya bergemelatuk dengan keras. Ia sudah sangat siap andai Bu Sephia ingin kembali memulai masalah baru dengannya dan keluarganya. Bruk! Namun, dugaan Deva rupanya salah. Bukan hendak mencari masalah, tetap wanita tua itu justru malah menjatuhkan diri dihadapan Najwa dan Deva. Kedua tangannya saling menyatu didepan dada. Ia meneteskan air mata seraya mendongak menatap Deva dan Najwa seraya bergantian. "Maafkan saya dan keluarga saya! Saya mohon..." pinta Bu Sephia mengiba. "Tante, jangan begini! Ayo, bangun!" Najwa berusaha membuat wanita tua itu berdiri. Akan tetapi, Bu Sephia menolak dan tetap bersikukuh untuk berlutut dihadapan Najwa dan juga Deva. "Suami dan putri saya sudah meninggal karena kesalahan kami sendiri. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Indra. Dan, saya tidak ingin terkena karma lagi. Saya tidak mau keh
Deva menghentikan langkahnya. Ia menengok kebelakang untuk sesaat kemudian kembali melangkah. "Tidak usah. Apapun yang terjadi pada mereka, sama sekali bukan tanggung jawab kita." Teddy mengangguk tanda mengerti. Raungan Bu Sephia adalah hal terakhir yang Deva dengar sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. "Mas..," sambut Najwa saat Deva telah kembali. "Tangan kamu, gimana?" tanya Deva seraya menghampiri sang istri. "Alhamdulillah, sudah agak mendingan." "Maaf, karena aku baru sempat menanyakan keadaan kamu, Sayang!" "Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong, gimana kondisi keluarga Mbak Intan?" "Mereka semua baik-baik aja. Cuma... Tante Sephia sepertinya belum menerima kenyataan bahwa putrinya sudah berpulang." Najwa meneguk ludahnya. Dia turut prihatin akan kepergian Intan yang begitu tragis. Namun, bukankah Intan sendiri yang menentukan akhirnya hidupnya? Wanita itu sendiri yang telah nekat menghancurkan dirinya. "Nak Deva...," panggil Bi Tin. Deva tersenyum hanga
"Galih... kamu dimana, Nak?"Teriakan seorang Ibu yang mengkhawatirkan putranya terdengar begitu menyayat hati. Najwa langsung menyambut wanita tua yang datang bersama beberapa tetangga lain dari kampung dengan langkah tergesa."Bi Tin," sapa Najwa.Bi Tin dengan wajah sembap, langsung menggenggam kedua telapak tangan Najwa."Galih dimana? Bagaimana kondisinya? Dia selamat, kan?" cecar Bi Tin dengan suara bergetar."Masih ditangani dokter, Bi. Galih kekurangan banyak darah.""Ya Allah...," Bi Tin merasakan persendiannya terasa lemas.Dia hampir jatuh bersimpuh. Namun, Najwa dan yang lain berusaha menahan tubuhnya agar tetap berdiri tegak."Duduk dulu, Bi!" ucap Najwa sambil membantu wanita tua itu untuk duduk di kursi besi."Galih...," racau Bi Tin sambil terus menangis."Maafkan Najwa, Bi! Semuanya karena Najwa," lirih Najwa yang ikut duduk disebelah Bi Tin.Bi Tin menghela napas panjang. Dia berusaha mengusir sesak yang menghimpit dadanya.Pasalnya, putra satu-satunya yang ia miliki
"Lepas!!!" teriak Intan membabi-buta. Dia ingin terbebas dari kuncian dua orang tim keamanan yang memeganginya."Aku akan bunuh kamu, Najwa!!!" teriaknya saat melihat kehadiran Najwa diantara banyaknya tamu di pesta ulangtahun Iqbal.Tak Intan hiraukan tatapan-tatapan takut sekaligus geram yang diberikan oleh para hadirin. Wanita itu hanya terus fokus pada Najwa yang saat ini sedang dipeluk oleh Halimah. "Aku akan bunuh perempuan itu! Lepas, Pak! Lepaskan saya!""Tunggu, Pak!" teriak Deva dari belakang.Para tim keamanan itu pun berhenti. Mereka memberi hormat kepada Deva sebelum membuka jalan untuk pria itu agar bisa mendekati Intan.Plak!Semua orang tercengang melihat kejadian barusan. Seorang Deva, yang selama ini pantang memukul wanita... dengan penuh kesadaran justru menampar Intan dengan sangat keras."Deva...," lirih Intan serak. Air matanya jatuh membasahi pipinya."Apa?" tanya Deva dingin. "Apa kamu sudah puas?""Aku begini karena kamu...," timpal Intan."Karena aku?" Deva
"Tolong!!!" teriak Najwa lebih keras.Atensi para hadirin yang datang langsung tertuju ke arahnya. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Tubuhnya gemetaran.Deva yang mendengar teriakan istrinya pun turut menoleh. Matanya langsung melebar sempurna saat melihat tangan sang istri yang bercucuran darah.Prang!Gelas yang dipegang Deva langsung pecah tak berbentuk saat lelaki itu tanpa sadar melepasnya begitu saja dari genggaman.Deva berlari begitu cepat menghampiri sang istri yang saat ini seperti hampir kehabisan napas."Najwa! Sayang... kamu kenapa?" tanya Deva panik. "Dokter!!! Saya butuh dokter!" teriaknya begitu keras.Halimah dan Iqbal turut menghampiri Najwa."Ada apa?" tanya Halimah."Bal, panggil dokter! Istriku butuh dokter!" titah Deva panik sambil memegang tangan Najwa yang berdarah."Panggil Ivanna!" kata Iqbal pada seorang pria yang berdiri dibelakangnya."Oke," angguk pria itu.Tak lama kemudian, seorang wanita dengan gaun malam berwarna hitam datang mendekat. Wanita itu men
Di dalam kamar yang begitu gelap, Intan sengaja mengurung diri. Ponsel yang terus menerus berdenting diatas kasur berusaha ia abaikan.Rentetan notifikasi yang menyesaki layar ponselnya tak ingin ia lihat sedikitpun. Mengintip pun, tidak."Diam!!!" teriak Intan memaki ponselnya.Telinga ia tutup rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya. Dia duduk di pojok, dekat jendela yang tertutup rapat tirai berwarna abu-abu."Berhenti menghakimi aku!!! Aku nggak salah!!" teriaknya lagi.Intan benar-benar tak tahan dengan cacian dari warganet. Apalagi, beberapa bahkan sengaja menerornya melalui DM Ig dan FB."Intan!!! Kamu kenapa, Nak?" teriak Bu Sephia dari luar kamar.Digedor-gedornya kamar sang putri namun tak ada respon sedikit pun dari si pemilik kamar. Hanya racauan Intan saja yang terus terdengar sedari tadi."Ma, sudah! Biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau," tukas Indra sambil menarik sang Ibu menjauh dari kamar sang adik."Ndra, kamu nggak kasihan sama adik kamu, hah?" tanya Bu S
"Jadi, kamu sekarang kerja di catering?" tanya Halimah pada lelaki yang usianya terpaut agak jauh dibawahnya itu.Galih menghela napas dalam-dalam. Dia mengangguk tanpa berani menatap langsung ke arah mata mantan atasannya itu."Najwa juga akan datang ke pesta ini. Saya harap, kamu tidak akan berbuat nekat lagi seperti dulu!" peringat Halimah.Lelaki itu hanya diam saja. Sejujurnya, dia teramat bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan Najwa lagi.Akan tetapi, disudut hati yang lain, Galih justru merasa malu. Bagaimana tidak? Pekerjaannya sekarang hanya seorang karyawan catering. Pelayan, yang derajatnya bahkan dipandang sangat rendah oleh sebagian kalangan berada."Saya harus pergi sekarang, Bu! Permisi!" pamit Galih."Galih, tunggu!"Namun, pria itu tak mau menggubris panggilan Halimah sedikitpun. Baginya, Halimah hanya sekadar mantan atasan. Tak ada kewajiban Galih lagi untuk menghormati apalagi menuruti perintah da