Keesokan harinya, Bian terbangun dengan perut yang terasa sangat lapar. Saat dia melihat jam, betapa terkejutnya lelaki itu saat tahu bahwa sekarang jam sudah menunjukkan pukul setengah satu siang.
"Astaga! Sudah jam segini?" pekik Bian kaget. "Pantas perutku terasa sangat lapar."Dia menoleh ke samping kirinya. Salma masih tertidur lelap dengan tanpa sehelai benang pun kecuali selimut tebal yang menutupi tubuhnya hingga sebatas dada."Salma kayaknya juga kecapean. Mending, aku makan duluan aja."Menyingkap selimut yang menutupi separuh tubuhnya, Bian turun dari tempat tidur lalu memakai celana pendek selutut dan kaos oblong yang dia ambil dari dalam kopernya.Setelah itu, dia keluar kamar dan berniat untuk mencari makanan di dapur. Akan tetapi, betapa kecewanya Bian saat tahu bahwa ternyata meja makan masih sama seperti kemarin. Kosong."Apa-apaan ini? Kenapa tidak ada makanan sedikitpun?" ucap Bian emosi."Najwa!!!" teriaknya lantang memanggil nama sang istri pertama."Wa! kamu dimana?"Masih tak ada sahutan, Bian pun lekas berjalan terburu-buru menuju ke kamar sang istri pertama."Najwa!" panggilnya sekali lagi sambil membuka pintu."Ada apa, Mas?" sahut Najwa yang baru saja selesai menunaikan shalat dhuhur."Kamu lagi sholat?" tanya Bian."Jelas. Kan, ini emang udah masuk waktu dhuhur, Mas!" jawab Najwa. Wanita itu melipat sajadahnya lalu membuka mukena yang tadi dia kenakan untuk beribadah. "Emangnya, kamu sama Salma nggak sholat?"Uhuk!Bian batuk karena tersedak ludahnya sendiri. Pertanyaan Najwa barusan benar-benar sangat menohok. Harus Bian akui, semenjak mengenal Salma, dirinya mulai sangat jauh dengan Tuhan."M-Mas... Mas...," Bian gelagapan menjawab."Enggak, ya?" potong Najwa sambil tersenyum kecil. "Kayaknya, kamu juga belum mandi, ya Mas?""Eh?" Bian lekas memindai penampilannya dari atas ke bawah."Rambut kamu masih kayak rambut singa, Mas! Belum lagi, masih ada kotoran dimata kamu," lanjut Najwa.Reflek, Bian membersihkan kotoran yang menempel pada matanya dan juga merapikan rambutnya yang memang sudah agak panjang. Entah kenapa, amarah yang sebelumnya ada seolah menguap begitu saja saat berhadapan dengan Najwa."Mas kenapa cariin aku sampai teriak-teriak kayak tadi?" tanya Najwa lagi. Perempuan itu sedang memoles bedak pada wajahnya dan juga memakaikan lipstik pada bibirnya.Kini, Bian sudah teringat kembali apa tujuannya menghampiri Najwa ke kamar. Namun, tetap saja amarah yang berusaha dia bangkitkan, seolah mati saat melihat betapa cantiknya Najwa kini.Pakaian rumahan yang terlihat modis, serta wajah yang dirias make-up tipis dan juga aroma tubuh yang tercium wangi benar-benar membuat Bian terhipnotis. Astaga! Najwa sungguh kembali seperti Najwa yang dulu pertama kali Bian kenal ketika masih gadis."Makanan kenapa belum ada diatas meja?" tanya Bian canggung. Dia terpesona oleh kecantikan istri pertamanya itu."Loh, Salma belum masak?" sahut Najwa dengan entengnya."Kok malah Salma, sih?""Lah, terus siapa? Bukannya, itu memang tugas dia, ya?""Kamu juga istriku, Najwa! Seharusnya, kamu tetap melakukan kewajiban kamu seperti biasanya sekalipun dalam keadaan marah.""Lantas, bagaimana dengan kamu, Mas?" timpal Najwa. "Hanya karena aku menolak keberadaan istri keduamu, kamu malah tidak mau memberiku nafkah lagi. Apakah itu pantas dilakukan oleh seorang suami?""Itu karena kamu memang keliru. Apa salahnya menerima Salma?"Najwa menghela napas kasar. Sampai kapanpun, Bian akan terus menyalahkan Najwa untuk segalanya."Sudah menjadi hakku untuk menolak dimadu, Mas!" geram Najwa."Juga hakku sebagai lelaki untuk menikah lagi tanpa perlu persetujuan kamu, Najwa!"Keduanya saling tatap dengan sengit. Baik Najwa maupun Bian, sama-sama keukeuh dengan keyakinan masing-masing."Silakan kamu menikah lagi, Mas! Tapi, apa kamu tidak bisa untuk membiarkan aku sendiri? Aku juga perlu menyelamatkan hatiku, Mas! Yang mau bahagia bukan cuma kamu tapi aku juga. Dan, dengan dipoligami, aku nggak akan pernah bisa mendapatkan bahagia itu.""Kamu akan bisa bahagia asal kamu ikhlas, Najwa!""Dan ikhlas nggak semudah itu untuk dilakukan, Mas!" lirih Najwa sambil tersenyum getir.Ikhlas. Kata itu memang mudah untuk diucapkan. Namun, untuk dilakukan? Rasanya begitu sangat berat. Terutama, untuk Najwa yang hatinya masih dipenuhi luka."Sayang... tolong jangan seperti ini! Jangan buat aku berada dalam posisi sulit," bujuk Bian yang mendekati Najwa lalu menggenggam erat tangan wanita itu.Najwa menatap nanar lelaki yang duduk di sampingnya itu. Ditariknya tangan yang digenggam Bian lalu membuang muka ke arah lain."Kenapa selalu aku yang harus dituntut mengerti, Mas?" lirih Najwa dengan suara serak."Tolong, jangan sedih seperti ini, Wa! Demi Allah, hati Mas benar-benar sakit, Sayang!""Kalau kamu nggak mau aku sedih, tolong bawa perempuan itu keluar dari sini!"Tampak, Bian menunduk lemah sambil menghela napas frustasi."Mustahil, Sayang! Salma itu sudah nggak punya siapa-siapa lagi. Kalau dia disuruh pergi dari rumah ini, dia harus kemana?""Ya, kamu beliin dong rumah buat dia.""Mas dapat duit darimana, Sayang? Kan, uang gaji Mas selalu Mas setor semuanya ke kamu.""Yakin, Mas sudah setor semuanya ke aku?""Maksud kamu apa, Sayang?""Jangan bohong lagi!" ucap Najwa dengan nada datar. "Aku sudah tahu kalau kamu selalu memberi jatah pada perempuan itu setiap bulannya."Degh!Jantung Bian rasanya hampir copot. Darimana Najwa bisa mendapatkan informasi sedetail itu? Padahal, selama ini Bian sudah sangat rapi menutupinya. Bahkan, Bian sampai membuat slip gaji palsu demi mengelabui Najwa."Ka-kamu tahu darimana?" tanya Bian pias.Najwa tersenyum meremehkan."Nggak penting aku tahu darimana. Yang penting, sekarang aku sudah tahu kalau selama satu tahun terakhir kamu sudah membohongi aku. Kamu membiarkan aku kesusahan mengelola uang pas-pasan yang kamu berikan untuk bayar cicilan sepeda motor, pinjaman bank, dan juga biaya kontrol serta obat Ibu. Belum lagi, aku juga harus memberi jatah bulanan untuk adik kamu dan mengurus segala kebutuhan rumah tangga. Semua itu aku lakukan dengan memutar otak, Mas! Sementara, kamu dengan entengnya malah memberi jatah pada perempuan lain dengan jumlah yang menurut aku sangatlah besar.""Dua juta bukanlah jumlah yang besar, Najwa! Jangan asal tuduh, kamu!" sergah Bian penuh emosi.Seketika, Najwa tersenyum dengan sinis. Kaca-kaca tipis tampak menghiasi sepasang mata indahnya."Dua juta? Jadi, kamu memberi wanita itu jatah dua juta?" Najwa mengangguk-anggukkan kepalanya. " Bahkan, uang untuk belanja bahan makanan setelah uang yang kamu kasih ke aku selesai dipotong hutang, jauh lebih kecil daripada jatah perempuan itu, Mas! Terimakasih karena sudah jujur! Sungguh, hatiku semakin terluka.""Sialan!! Kenapa jadi begini? Kenapa Najwa malah bahagia dengan lelaki lain? Seharusnya, dia itu kembali sama aku. Bukan malah melupakan aku dan menikah dengan pria lain!!"Bian berteriak kesal yang membuat teman-teman satu selnya menjadi ikut-ikutan kesal."Hei, bisa diam, nggak lu?" hardik seorang pria berbadan besar."Apa?" tantang Bian. "Kalau gue nggak mau diem, lu mau apa, hah?" Ia berkacak pinggang dengan begitu angkuh."Oh, lu berani sama gua?" Pria berbadan besar itu berdiri dari duduknya.Sontak, tahanan lain langsung mendadak riuh. Mereka memanas-manasi keadaan supaya terjadi pertengkaran seru."Emangnya, kenapa gua mesti takut sama lu, hah? Modal badan gede doang, udah sombong lu!""Sialan!"Bugh!Satu pukulan keras menghantam dagu Bian. Lelaki itu langsung mundur ke belakang dengan sedikit kehilangan keseimbangan."Lu berani mukul gua?" Bian mulai naik pitam.Disiapkannya tinju, lalu ia layangkan dengan cepat ke arah pria berbadan besar itu. Sayangnya, tangan Bian justru
Satu tahun kemudian... "Hoekkk!! Hoek!!" "Wa, kamu masih mual?" tanya Halimah seraya menghampiri sang sekretaris yang sedang muntah di toilet yang ada di ruangannya. "Iya, Kak," jawab Najwa. Dia menekan tombol flush pada closet kemudian berbalik menatap Halimah. "Ini sudah lebih seminggu loh, Wa." Halimah mengingatkan. "Paling cuma masuk angin aja, Mbak. Beberapa hari lagi pasti sembuh, kok. Atau, mungkin magh-ku kambuh. Soalnya, akhir-akhir ini aku malas banget buat makan. Kayak nggak nafsu gitu tiap kali lihat makanan." "Bulan ini, kamu sudah haid?" selidik Halimah. "Belum, Kak," geleng Najwa. "Bulan kemarin juga belum. Kenapa, ya?" Plak! Halimah menampar bahu Najwa saking gemasnya. "Kamu nggak nyadar sesuatu, Wa?" tanya Halimah. "Maksud Kak Halimah, apa?" "Jangan-jangan, kamu hamil, Wa?" tebak Halimah.
"Urusan apa lagi, Tante Sephia? Apa Tante masih belum jera juga, mencari masalah dengan kami?" Deva menatap wajah wanita tua itu dengan tajam. Geliginya bergemelatuk dengan keras. Ia sudah sangat siap andai Bu Sephia ingin kembali memulai masalah baru dengannya dan keluarganya. Bruk! Namun, dugaan Deva rupanya salah. Bukan hendak mencari masalah, tetap wanita tua itu justru malah menjatuhkan diri dihadapan Najwa dan Deva. Kedua tangannya saling menyatu didepan dada. Ia meneteskan air mata seraya mendongak menatap Deva dan Najwa seraya bergantian. "Maafkan saya dan keluarga saya! Saya mohon..." pinta Bu Sephia mengiba. "Tante, jangan begini! Ayo, bangun!" Najwa berusaha membuat wanita tua itu berdiri. Akan tetapi, Bu Sephia menolak dan tetap bersikukuh untuk berlutut dihadapan Najwa dan juga Deva. "Suami dan putri saya sudah meninggal karena kesalahan kami sendiri. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Indra. Dan, saya tidak ingin terkena karma lagi. Saya tidak mau keh
Deva menghentikan langkahnya. Ia menengok kebelakang untuk sesaat kemudian kembali melangkah. "Tidak usah. Apapun yang terjadi pada mereka, sama sekali bukan tanggung jawab kita." Teddy mengangguk tanda mengerti. Raungan Bu Sephia adalah hal terakhir yang Deva dengar sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. "Mas..," sambut Najwa saat Deva telah kembali. "Tangan kamu, gimana?" tanya Deva seraya menghampiri sang istri. "Alhamdulillah, sudah agak mendingan." "Maaf, karena aku baru sempat menanyakan keadaan kamu, Sayang!" "Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong, gimana kondisi keluarga Mbak Intan?" "Mereka semua baik-baik aja. Cuma... Tante Sephia sepertinya belum menerima kenyataan bahwa putrinya sudah berpulang." Najwa meneguk ludahnya. Dia turut prihatin akan kepergian Intan yang begitu tragis. Namun, bukankah Intan sendiri yang menentukan akhirnya hidupnya? Wanita itu sendiri yang telah nekat menghancurkan dirinya. "Nak Deva...," panggil Bi Tin. Deva tersenyum hanga
"Galih... kamu dimana, Nak?"Teriakan seorang Ibu yang mengkhawatirkan putranya terdengar begitu menyayat hati. Najwa langsung menyambut wanita tua yang datang bersama beberapa tetangga lain dari kampung dengan langkah tergesa."Bi Tin," sapa Najwa.Bi Tin dengan wajah sembap, langsung menggenggam kedua telapak tangan Najwa."Galih dimana? Bagaimana kondisinya? Dia selamat, kan?" cecar Bi Tin dengan suara bergetar."Masih ditangani dokter, Bi. Galih kekurangan banyak darah.""Ya Allah...," Bi Tin merasakan persendiannya terasa lemas.Dia hampir jatuh bersimpuh. Namun, Najwa dan yang lain berusaha menahan tubuhnya agar tetap berdiri tegak."Duduk dulu, Bi!" ucap Najwa sambil membantu wanita tua itu untuk duduk di kursi besi."Galih...," racau Bi Tin sambil terus menangis."Maafkan Najwa, Bi! Semuanya karena Najwa," lirih Najwa yang ikut duduk disebelah Bi Tin.Bi Tin menghela napas panjang. Dia berusaha mengusir sesak yang menghimpit dadanya.Pasalnya, putra satu-satunya yang ia miliki
"Lepas!!!" teriak Intan membabi-buta. Dia ingin terbebas dari kuncian dua orang tim keamanan yang memeganginya."Aku akan bunuh kamu, Najwa!!!" teriaknya saat melihat kehadiran Najwa diantara banyaknya tamu di pesta ulangtahun Iqbal.Tak Intan hiraukan tatapan-tatapan takut sekaligus geram yang diberikan oleh para hadirin. Wanita itu hanya terus fokus pada Najwa yang saat ini sedang dipeluk oleh Halimah. "Aku akan bunuh perempuan itu! Lepas, Pak! Lepaskan saya!""Tunggu, Pak!" teriak Deva dari belakang.Para tim keamanan itu pun berhenti. Mereka memberi hormat kepada Deva sebelum membuka jalan untuk pria itu agar bisa mendekati Intan.Plak!Semua orang tercengang melihat kejadian barusan. Seorang Deva, yang selama ini pantang memukul wanita... dengan penuh kesadaran justru menampar Intan dengan sangat keras."Deva...," lirih Intan serak. Air matanya jatuh membasahi pipinya."Apa?" tanya Deva dingin. "Apa kamu sudah puas?""Aku begini karena kamu...," timpal Intan."Karena aku?" Deva
"Tolong!!!" teriak Najwa lebih keras.Atensi para hadirin yang datang langsung tertuju ke arahnya. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Tubuhnya gemetaran.Deva yang mendengar teriakan istrinya pun turut menoleh. Matanya langsung melebar sempurna saat melihat tangan sang istri yang bercucuran darah.Prang!Gelas yang dipegang Deva langsung pecah tak berbentuk saat lelaki itu tanpa sadar melepasnya begitu saja dari genggaman.Deva berlari begitu cepat menghampiri sang istri yang saat ini seperti hampir kehabisan napas."Najwa! Sayang... kamu kenapa?" tanya Deva panik. "Dokter!!! Saya butuh dokter!" teriaknya begitu keras.Halimah dan Iqbal turut menghampiri Najwa."Ada apa?" tanya Halimah."Bal, panggil dokter! Istriku butuh dokter!" titah Deva panik sambil memegang tangan Najwa yang berdarah."Panggil Ivanna!" kata Iqbal pada seorang pria yang berdiri dibelakangnya."Oke," angguk pria itu.Tak lama kemudian, seorang wanita dengan gaun malam berwarna hitam datang mendekat. Wanita itu men
Di dalam kamar yang begitu gelap, Intan sengaja mengurung diri. Ponsel yang terus menerus berdenting diatas kasur berusaha ia abaikan.Rentetan notifikasi yang menyesaki layar ponselnya tak ingin ia lihat sedikitpun. Mengintip pun, tidak."Diam!!!" teriak Intan memaki ponselnya.Telinga ia tutup rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya. Dia duduk di pojok, dekat jendela yang tertutup rapat tirai berwarna abu-abu."Berhenti menghakimi aku!!! Aku nggak salah!!" teriaknya lagi.Intan benar-benar tak tahan dengan cacian dari warganet. Apalagi, beberapa bahkan sengaja menerornya melalui DM Ig dan FB."Intan!!! Kamu kenapa, Nak?" teriak Bu Sephia dari luar kamar.Digedor-gedornya kamar sang putri namun tak ada respon sedikit pun dari si pemilik kamar. Hanya racauan Intan saja yang terus terdengar sedari tadi."Ma, sudah! Biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau," tukas Indra sambil menarik sang Ibu menjauh dari kamar sang adik."Ndra, kamu nggak kasihan sama adik kamu, hah?" tanya Bu S
"Jadi, kamu sekarang kerja di catering?" tanya Halimah pada lelaki yang usianya terpaut agak jauh dibawahnya itu.Galih menghela napas dalam-dalam. Dia mengangguk tanpa berani menatap langsung ke arah mata mantan atasannya itu."Najwa juga akan datang ke pesta ini. Saya harap, kamu tidak akan berbuat nekat lagi seperti dulu!" peringat Halimah.Lelaki itu hanya diam saja. Sejujurnya, dia teramat bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan Najwa lagi.Akan tetapi, disudut hati yang lain, Galih justru merasa malu. Bagaimana tidak? Pekerjaannya sekarang hanya seorang karyawan catering. Pelayan, yang derajatnya bahkan dipandang sangat rendah oleh sebagian kalangan berada."Saya harus pergi sekarang, Bu! Permisi!" pamit Galih."Galih, tunggu!"Namun, pria itu tak mau menggubris panggilan Halimah sedikitpun. Baginya, Halimah hanya sekadar mantan atasan. Tak ada kewajiban Galih lagi untuk menghormati apalagi menuruti perintah da