Mata Bening tidak bisa berkedip menatap wajah orang yang menahan tubuhnya tersebut. Bibirnya tak kunjung terkatup. Alih-alih menjauhkan diri, ia malah bengong dan terus menatap pria yang membantunya itu.
"Aku enggak lagi di surga, kan? Kok ada pangeran tampan di sini?" bisik Bening dalam hati.
Bening benar-benar terpana melihat ketampanan pria itu. Sungguh mahakarya Tuhan yang luar biasa. Lihat saja alis matanya yang tebal, hidungnya yang mancung, rahangnya yang tegas, dan bibirnya yang tampak lembut dengan sedikit belahan di bibir bawah. Bening merasa tidak pernah berada sedekat ini dengan pria tampan lainnya sebelumnya.
Yang artinya ... seorang Wildan pun tidak setampan si pria penolong ini di mata Bening!
"Ehm, kamu bisa berdiri sendiri?"
Suara pria tersebut akhirnya menyadarkan Bening dari keterpukauannya. Dia cepat-cepat berdiri, dibantu oleh pria tersebut. Ketika pria itu menanyakan identitasnya, "Siapa kamu?" Bening kehilangan kata-kata sejenak, matanya melirik ke arah Wildan yang berjalan bersama Susan menuju ruangan administrasi.
"Anu, saya..." Bening menggantungkan kalimatnya sejenak, kemudian melanjutkan, "Lagi kunjungan ke rumah teman." Pria itu hanya mengangguk, memberikan senyum pendek, dan berpesan, "Lain kali hati-hati." Kemudian dia berlalu tanpa menoleh kembali.
Bening berdiri diam sejenak, masih terpaku, merenungi pertemuan singkat yang membuatnya terkesan itu. Kemudian saat tersadar. Dia ingat lagi dengan pengkhianatan Wildan padanya.
Bening menatap kosong ke ruang administrasi. Di dalam sana, pasti Wildan tengah mengurus berkas pengajuan pernikahannya dengan Susan. Hal yang paling ditunggu dan diimpikan Bening sedari dulu. Namun semua impiannya itu kini telah kandas karena Wildan justru memilih wanita lain dan mencampakkannya begitu saja.
Sekarang, setelah tahu semua ini, Bening mau apa? Mau mengamuk? Atau melanjutkan rencana konyolnya mendekati si komandan? Rasanya semua itu hanya akan berakhir sia-sia saja. Bening benar-benar putus asa.
Akhirnya Bening memilih untuk pergi saja dari Batalion ini sebelum Wildan melihatnya. Saat berada di pintu keluar, si Tentara yang berjaga bingung melihat Bening yang berbeda dari wanita yang dibawa Wildan sebelumnya. Dengan suara serak, Bening pamit, "Saya pergi dulu." Si Tentara hanya mengangguk, matanya masih bertanya-tanya.
Bening berjalan menyusuri trotoar yang berada di depan bataliyon. Hatinya benar-benar sakit setelah mengetahui penghianatan yang dilakukan Susan dan Wildan padanya.
"Tega banget kamu Mas Wildan," gumamnya. Hati kecilnya teriris. Susan juga, mengapa ia bisa begitu tega menikung teman sendiri? Padahal dia sudah menganggap Susan seperti layaknya saudara. Memang apa salah Bening hingga harus menerima perlakuan kejam seperti ini? Saat semua rasa kecewa itu menggelayut di dada, hujan tiba-tiba turun membasahi bumi. Bening kehujanan, tubuhnya basah kuyup. Di tengah kebingungannya, ia berlari dan berteduh di sebuah warung mie ayam yang tutup.
Bening mengambil ponselnya dari dalam tas untuk memesan taksi online. Tapi handphone-nya malah tiba-tiba mati. Bening lupa mengecas ponselnya.
"Nasibku kok apes banget sih! Udah jatuh, ketimpa monas pula," pikir Bening ngenes. Tak mungkin ia datang ke batalion dan meminta bantuan Wildan. Sudah pasti, yang ada hanya tawa terbahak-bahak Susan yang menertawakan nasib sialnya yang bertubi-tubi.
Di pojok warung yang sunyi itu, Bening hanya mampu menumpahkan air mata, merasakan beratnya dunia di pundaknya yang rapuh. Ia berjongkok dengan tubuh menggigil di sana, menenggelamkan wajahnya di atas lutut. Terus seperti itu sambil menunggu hujan reda.
Ketika hujan akhirnya mereda, ia berdiri dan memutuskan untuk berjalan kaki mencari ojek pangkalan. Langkahnya gontai di jalan yang basah, pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian tadi. Di kejauhan, sebuah mobil hitam meluncur keluar dari area Batalion. Itu mobil orang yang sempat membantunya tadi. Milik si pangeran tampan yang membuat Bening terpesona.
Saat mobil itu melewati jalanan berlubang yang sejajar dengan tubuh Bening, air langsung menyiprat ke tubuhnya, membuat tubuhnya yang tadi sudah setengah kering, kembali menjadi basah kuyup oleh air comberan.
Amarah yang telah terpendam dalam dada Bening kini memuncak. Sekarang dia benar-benar tak tahan ingin mengamuk. Tanpa pikir panjang, ia membungkuk, meraih sebuah batu dan dengan sekuat tenaga melemparkannya ke arah mobil itu.
Prankk!!!
Lemparan Bening tepat sasaran. Kaca belakang mobil itu pecah. Mobil itu pun berhenti. Sepertinya orangnya marah dan akan menghampiri Bening. Bening tidak takut. Akan dia hadapi siapapun itu. Kebetulan dia sedang ingin ngomel. Jadi sekalian saja cari pelampiasan!