Pagi ini aku berniat kembali mendatangi rumah mas Galih, kali ini bukan bermaksud untuk menengok ibu ataupun karena ditelepon oleh ibu. Aku ingin melabrak wanita yang terus-menerus menganggu kehidupanku. Lebih tepatnya memberinya pelajaran yang tidak akan pernah dia lupakan. Biar dia tidak main-main lagi dengan aku. Aku minta bukti bukti dari mas Abi untuk menjerat Dania, aku ingin mendatangi wanita itu sendirian tapi mas Abi tidak membiarkan aku pergi sendiri. Akhirnya kami datang ke rumah matan suamiku itu berdua. Kedatangan kami tidak disambut dengan baik oleh sang pemilik rumah. Dania sepertinya tidak suka dengan kedatanganku. Dia mengira aku akan ikut campur urusan rumah tangga, dia mengira aku akan membawa ibu bersamaku. Aku tidak akan melakukan hal itu, tidak mudah merawat orang sakit. Meskipun aku menyayangi ibu, tapi aku tidak mau memperdebatkan siapa yang berhak merawatnya. Seperti kata mas Galih kala itu, aku hanyalah mantan menantunya. "Kami kesini untuk membicarakan m
"Mas Galih! apa yang kamu lakukan," pekik Dania lagiMantan suamiku itu segera melepaskan tangannya dari tubuhku dan menjauh dariku. "Apa kau menggoda suamiku," teriak Dania sambil menuding ke arahku."Tanyakan pada suamimu itu, dia atau aku yang mencoba untuk menggoda," jawabku sekenanya.Enak saja wanita itu menuduhku menggoda suaminya padahal suaminya lah yang seolah-olah berusaha peduli padaku dan membawaku ke tempat ini untuk berbicara empat mata."Kamu masih mencintainya dan mengharapkannya kan, makanya kamu menggodanya," pekik Dania sambil mengayunkan tangannya ke arahku. Aku mencoba untuk melindungi diriku sendiri namun sebelum wanita itu sampai menyentuh tubuhku dia sudah dipeluk oleh suaminya dan ditenangkan."Tenanglah Dania ini tidak seperti yang kamu pikirkan," ucap mas Galih"Tidak seperti yang aku pikirkan bagaimana, kalian begitu dekat. Bahkan sepertinya kamu hendak menciumnya," seru Dania sambil meronta dari pelukan mas Galih."Aku hanya sedang berbicara dengannya,
Hari ini aku bersiap-siap untuk mengajak safa makan malam bersama di sebuah restoran. Makan malam kali ini bukanlah makan malam biasa aku akan melamarnya malam ini.Dia mengatakan jika status duda bukanlah hal yang buruk. Selain itu dia juga mengatakan jika saat ini bukanlah waktunya untukku berpacaran. Aku merasa itu juga berlaku buat dirinya bukan karena kami memiliki status yang sama-sama pernah menikah sebelumnya.Aku menyiapkan semuanya dengan baik memesan sebuah tempat di restoran Italia dan memintanya datang ke restoran tersebut bersama sopir.Setelah maghrib, aku segera bergegas berangkat ke tempat tersebut.bSedangkan sopir aku ditugaskan untuk menjemput wanita itu.Aku menunggunya di depan pintu masuk restoran. Begitu dia sampai dan melihatku, senyum yang manis terkembang di wajahnya. Aku segera menyambutnya dan mengajaknya masuk ke dalam dan menuju ke meja yang sudah aku pesan sebelumnya.Saat kami memilih menu yang berada di daftar menu tiba-tiba dia berbisik, "Saya terbias
"Wah Tante sudah datang, Qia sudah menunggu sejak tadi," suara Qia mencairkan suasana yang memanas.Anak itu langsung menarik tangan Safa masuk ke dalam rumah, dan dengan enggan Safa mengikuti arah ke mana Qia membawanya."Mama lihat wanita yang mama hina itu disukai oleh anakku. Aku tidak mau lagi mama melakukan itu padanya. Dengan atau tanpa persetujuan mama aku akan menikahinya demi diriku sendiri maupun demi Qia," ucapku sambil berlalu dari hadapan mama.Papa hari ini tidak ada di rumah Sepertinya beliau ada pekerjaan di luar rumah sehingga pada saat aku membawa Safa ke sini beliau pun tidak ada di rumah.Aku masuk ke dalam rumah mengikuti ke mana arah perginya Qia membawa Safa. Ternyata mereka sedang bermain di ruang tamu dengan riang gembira seolah-olah tidak terjadi apa-apa tadi. Apakah Safa menyembunyikannya atau memang merasa tidak mempermasalahkan ucapan mama barusan.Mama masuk ke dalam rumah dan menatap ke arah Safa dan Qia yang sedang asyik bermain di ruang tamu."Mama ma
Sekuat hati aku memendam perasaanku di hadapan mas Abi maupun mamanya, aku berusaha untuk tidak memperlihatkan kesedihanku dan rasa sakit hatiku. Aku tahu statusku yang mantan istri orang, dan aku menerimanya dengan lapang dada atas ucapan mama mas Abi. Qia membuatku terhibur dan tidak terlalu larut dengan perasaanku, hingga aku bisa menguasai diriku sampai pria yang memberikan cincin bertatahkan berlian itu mengantarkanku pulang kembali ke rumah. Saat aku sudah masuk ke rumah, aku mendengarnya kembali mengetuk pintu. Aku tahu alasanmu dia kembali, pasti karena aku meninggalkan cincin pemberiannya di mobilnya. Entah kenapa sebelum berangkat tadi, secara naluriah aku ingin sekali membawa kotak perhiasan itu bersamaku. Ternyata jawabannya adalah sikap mama mas Abi yang tidak bisa menerimaku. Aku enggan bertemu dengannya dan menyuruh mbak Lala untuk mengatakan jika aku sudah masuk ke kamar dan tidak ingin ditemui lagi. Ada rasa sakit menghujam jantungku, meskipun aku tidak berharap b
Aku menghentikan aktivitasku saat ketukan pintu terdengar di ruangan tempatku bekerja dikamar atas. Terdengar suara mbak Lala memanggilku, aku segera bangkit dan untuk membuka pintu. "Bapak Abimanyu sudah datang, mbak. Beliau ada dibawah bersama dengan pak Galih," ucap wanita yang membantuku mengurus rumah ini. "Oke mbak, saya akan turun. Terimakasih ya," ucapku sambil menutup pintu kamar dan mengikutinya turun kebawah menemui kedua pria itu.Saat aku sampai di ruang tamu, aku merasakan hawa tidak bersahabat tercipta diantara mereka. Mereka duduk berjauhan tapi dengan pandangan tidak bersahabat. "Apa kabar mas," sapaku pada mas Abi berbasa-basi sambil tersenyum. Aku binggung mau memulai darimana obrolan ini, aku memintanya datang kerumah dan dia tidak menanyakan apapun alasannya padaku."Aku baik, duduklah," jawabannya sambil mempersiapkan diriku duduk. "Ini rumahku mas," sahutku sambil tertawa menanggapi candaan. Dia hanya tersenyum mendengar perkataanku, suasana sedikit cair d
Sejak kejadian Dania dilaporkan kepada polisi oleh mas Abi, mas Galih maupun Dania tidak lagi mencampur kehidupanku. Mungkin mereka kapok atau bagaimana, aku tidak tahu. Akupun tidak ingin tahu bagaimana kisah mereka selanjutnya, aku hanya ingin hidup tenang tanpa gangguan dari mereka. Mas Abi sering kali datang bersama Qia meskipun hanya sekedar mengantarkan bocah itu, dan cincin ini tetap melingkar dijariku. Entah bagiamana akan berakhir dimana hubunganku dengannya ini, bahkan aku tidak tahu. Bahkan Qia seringkali datang ke rumah ini hanya diantar oleh sopir dan dia akan bermain di sini hingga sore hari. Begitu sore hari, sopir dan pengasuhnya akan datang menjemput. Begitu hampir setiap minggunya, seminggu bisa tiga sampai empat kali Qia akan datang ke rumahku. Gadis kecil itu berkelakuan baik di rumah ini, dia tidak pernah merepotkanku saat aku sibuk bekerja di ruang kerjaku di lantai atas.Jika aku sedang sibuk dengan pekerjaanku maka Qia akan bermain sendiri dan menemaniku di
"Papa ... Papa," suara dari Qia membuatku urung menjawab perkataan mas Abi. Aku segera menoleh dan menatap ke arah bocah yang tengah berada di tangga paling atas rumahku. Aku bangkit dan menghampirinya sampai berteriak."Qia awas jangan lari-larian berbahaya berlari menuruni tangga," ucapku. Bocah kecil itu mendengarkan ucapanku dan akhirnya berjalan perlahan menuruni tangga, sedangkan aku tetap menunggunya di ujung tangga paling bawah. "Papa datang menjemputku?" ucapnya kegirangan. "Iya Papa menjemputmu," jawab mas Abi sambil berjalan menghampiri kami."Ya sudah ayo kita pulang sudah sore, kasihan tante banyak kerjaan sepertinya," ajak Qia pada papanya."Qia pergi ke mobil dulu ya tungguin papa di sana. Papa mau bicara sebentar dengan tante Safa," titah mas Abi pada sang putri.Bocah manis itu menuruti perkataan papanya. Qia lantas berpamitan padaku, mencium tanganku, dan pergi berlalu menuju mobil papanya yang terparkir di halaman rumahku."Aku menunggu jawabanmu, Safa. Apa kam