04
Sebastian menggeleng ketika Yeremia dan Didi saling mendorong bahu. Dia terkekeh saat kedua rekannya tersebut melanjutkan perdebatan dengan saling memelototi.
Kelompok pria bersetelan jas berbagai warna tersebut, berdiri dan jalan menuju pelaminan. Seusai menyalami pasangan pengantin, mereka berdiri di sisi kanan dan kiri kedua mempelai sambil berpose.
Beberapa jepretan diambil sang fotografer. Kameramen juga turut mengabadikan kelompok rekan-rekan kuliah sang pengantin laki-laki dalam video berdurasi pendek.
Setelahnya, mereka menuruni pelaminan. Sebab hendak menuntaskan panggilan alam, Sebastian memisahkan diri dari kelompoknya.
Pria bersetelan jas abu-abu, mengayunkan tungkai menuju area belakang gedung. Sebastian memasuki toilet khusus laki-laki dan segera menyelesaikan urusannya.
Saat beranjak keluar, tanpa sengaja Sebastian mendengar suara orang meminta tolong. Dia berdiri sesaat di depan toilet wanita, sebelum memberanikan diri membuka pintunya.
"Astaga! Kamu kenapa?" tanya Sebastian sembari mendatangi perempuan yang tengah duduk di lantai depan wastafel.
"Aku ... jatuh," cicit Rinjani. Dia menunjuk ke kaki yang terlihat basah. "Sepertinya ketubanku pecah. Tolong bawa aku ke rumah sakit," pintanya, sesaat sebelum mengerang kesakitan sambil memegangi perutnya.
Sebastian termangu sesaat. Kemudian dia mengambil ponsel dari saku celana untuk menelepon Urfan. Setelahnya, Sebastian menyambar tas putih yang tergeletak di dekat wastafel. Dia berjongkok untuk mengangkat dan menggendong perempuan yang tengah merintih.
Sebastian jalan secepat mungkin keluar toilet. Beberapa orang yang berpapasan dengannya, turut membantu memegangi perempuan bergaun panjang sage yang telah basah di bagian bawah dan belakang.
Setibanya di teras, Urfan membukakan pintu tengah mobil. Dia membantu menarik Rinjani dari sebelah kanan, kemudian Urfan menutup pintunya dan berpindah ke bagian pengemudi.
Sebastian menempati kursi samping kiri sang sopir. Dia memasang sabuk pengaman, lalu membongkar tas perempuan tersebut untuk mencari ponselnya.
"Aku harus menghubungi siapa?" tanya Sebastian sembari memutar badan ke belakang.
"Teh Lidya," jawab Rinjani sembari meringis. "Bilang ke dia, untuk membawakan koper merah di kamarku," lanjutnya, sebelum berteriak saat kembali merasakan kontraksi.
Sebastian segera menghubungi orang yang disebutkan perempuan di belakang. Dia menjelaskan semuanya dengan tergesa-gesa, sebelum memutus sambungan telepon dan memasukkan ponsel itu ke tas.
Sebastian meminta Urfan mengebut menuju rumah sakit terdekat. Sementara dia membuka jas, lalu melepaskan sabuk pengaman. Sebastian berpindah ke kursi tengah dan menutupi area bawah perempuan tersebut yang kian basah, dengan jasnya.
Kendatipun panik, tetapi Sebastian tetap berusaha menenangkan perempuan bermata besar yang sedang sibuk mengatur napas.
"Namamu, siapa?" tanya Sebastian.
"Rinjani," jawab sang ibu hamil.
"Aku, Sebastian."
Rinjani melirik lelaki berkulit putih yang balas menatapnya saksama. Dia hendak mengucapkan sesuatu, tetapi kontraksi kembali datang. Tanpa sadar Rinjani mencengkeram tangan kanan Sebastian, sembari merintih kesakitan.
Sebastian membiarkan tangannya dipegangi Rinjani. Dia tidak tega melihat perempuan tersebut harus menahan sakit sendirian. Sebastian menyambar tisu dari tempatnya dan menyeka keringat di wajah Rinjani.
Sesampainya di depan ruang IGD rumah sakit, Urfan menghentikan mobil dan memasang rem tangan. Dia bergegas keluar dan lari memasuki ruangan itu.
Tidak berselang lama Urfan kembali dengan seorang perawat yang mendorong kursi roda. Sebastian yang telah keluar dari mobil, berpindah ke sisi kanan untuk membukakan pintunya.
Tanpa rasa canggung sedikit pun, Sebastian kembali menggendong Rinjani dan memindahkannya ke kursi roda. Sang perawat langsung mendorong kursi roda menuju ruangan dalam. Sebastian menyusul tanpa memedulikan baju dan celananya yang basah.
Urfan memindahkan mobil ke tempat parkir. Kemudian dia turun, lalu membuka pintu bagasi untuk mengambil tas travel merah berisikan pakaian ganti bosnya.
***
Langit telah menggelap sejak tadi. Namun, Sebastian dan Urfan masih bertahan di ruang tunggu depan ruangan ICU. Kondisi Rinjani yang kritis seusai melahirkan bayi prematur, menjadikannya harus dirawat di ICU.
Sebastian mengamati keluarga Rinjani yang tengah berdiskusi. Dia mengerutkan dahi ketika menyaksikan raut ketegangan muncul di wajah orang tua dan saudara Rinjani tersebut.
Sebastian akhirnya berdiri dan menyambangi mereka. Dia menyentuh lengan kanan lelaki tua berkaus putih yang merupakan Ayah Rinjani.
"Ada apa, Pak?" tanya Sebastian.
"Kami butuh pendonor darah buat Ririn," terang Basman.
"Di rumah sakit ini nggak ada stoknya?"
"Tidak ada. Saya juga sudah memanggil Faidhan untuk segera datang. Tapi, kayaknya jalanan dari Bandung itu macet."
"Keluarga yang lain, nggak ada yang bisa jadi pendonor?"
Basman menggeleng. "Hanya istri saya, Ririn dan Faidhan yang golongan darahnya sama. Istri saya tidak bisa jadi pendonor karena tensinya rendah."
"Apa golongan darah Rinjani?"
"B resus positif."
Sebastian terkesiap. "Saya juga sama. Biar saya yang nyumbang darah buat Rinjani."
"Beneran, Nak?"
"Ya, Pak. Kalau perlu, saya telepon Adik saya. Riordan juga sama golongan darahnya. Kami nurun dari Papa."
"Alhamdulillah." Basman mengusap dadanya. "Hatur nuhun, Nak," ucapnya.
"Sama-sama, Pak."
Basman meminta keponakannya, Abizar, untuk mengantarkan Sebastian ke ruangan khusus pendonor. Urfan mengikuti langkah bosnya hingga tiba di depan ruangan tersebut.
Urfan duduk di bangku panjang. Dia mengambil ponsel dari saku celana untuk melaporkan hal itu pada Yusuf, atasannya.
Dalam waktu singkat, kabar itu sudah tersebar ke grup khusus pimpinan PBK. Sekian menit berlalu, Urfan terkejut saat mengetahui jika direktur utama tengah menghubunginya.
"Waalaikumsalam." Urfan menjawab salam petinggi PBK.
"Posisi, di mana, Fan?" tanya Wirya dari seberang telepon.
"Di depan ruangan buat donor darah, Ndan. Pak Tian masih di dalam sana," terang Urfan.
"Oke. Kalau urgent, jangan sungkan buat langsung telepon aku."
"Siap."
"Kalian lebih baik menginap di sana. Nanti Zulfi yang hubungi manajer resor BPAGK. Istirahat dulu semalam. Besok baru pulang."
"Ya, Ndan."
"Kalau Sebastian sudah keluar, chat aku, Fan. Aku mau nelepon dia."
"Oke."
"Kamu, ada baju ganti?"
"Ada. Lengkap di bagasi mobil."
"Sip. Kutunggu kabarnya."
Sementara itu di tempat berbeda, Anton tengah gelisah. Dia teringat Rinjani dan telah menelepon perempuan tersebut beberapa kali. Namun, semua panggilannya tidak tersambung.
Anton tidak berani menghubungi keluarga Rinjani. Sebab dia tahu bila Basman dan yang lainnya masih marah serta membenci Anton.
Pria berkaus hijau tua, jalan mondar-mandir sepanjang kamar hotel tempatnya menginap selama berada di Surabaya. Anton memutar otak, sebelum akhirnya terpaksa menelepon Netha.
Akan tetapi, Netha juga tidak bisa dihubungi. Anton mencoba menelepon Tia dan Shahnaz, tetapi tetap tidak tersambung.
Pintu kamar terbuka dan Mardani memasuki ruangan sambil membawa tas belanja. Dia berhenti di dekat sofa, lalu mengeluarkan dua wadah makanan dan botol minuman dingin ke meja.
"Mar, apa kamu masih nyimpan nomor telepon Ririn?" tanya Anton sembari duduk di sofa tunggal.
"Bu Rinjani? Ada, Pak," sahut Mardani.
"Pinjam hapemu. Nomorku kayaknya diblokir. Dari tadi aku nelepon dia nggak nyambung-nyambung."
Mardani memberikan ponselnya pada sang bos. Anton mencari kontak Rinjani dan langsung menelepon perempuan tersebut.
Kala panggilannya masuk, Anton spontan tersenyum. Dia menunggu telepon itu diangkat sambil memikirkan kalimat yang hendak diucapkannya.
73Minggu pagi menjelang dengan kecepatan maksimal. Keluarga Daharyadika datang dari Bogor. Mereka hendak mengantarkan Sebastian dan Rinjani ke bandara, nanti jam 2 siang. Tidak berselang lama, Ardiatma datang bersama istri dan kedua anaknya. Mereka bergabung dengan keluarga Basman, dan berbincang dengan akrab.Kala Dylan mendatangi kumpulan itu dengan dituntun Latifah, Ardiatma menggendong lelaki kecil dan mendekapnya erat. "Akhir tahun nanti, Papa mau jenguk kalian di sana," tutur Ardiatma sembari memamgku cucunya. "Kami pulang, Pa. Mau menghadiri acara pernikahan Tia dan Said," jelas Sebastian. "Kapan nikahannya?" "Tanggalnya belum pasti, sih. Tapi, akhir bulan Desember." "Setelahnya berarti." Ardiatma memandangi besannya di kursi seberang. "Kita berangkat sama-sama, Bas," ajaknya. "Boleh. Saya memang berencana ke sana. Ingin tahu, musim dingin itu seperti apa," terang Basman. "Siapa saja yang ikut, Pak? Nanti aku minta pengawalan dari Wirya," cakap Sebastian. "Bapak sama
72Hari terakhir di Jakarta, digunakan Sebastian untuk mendatangi keluarga Baltissen di kediamannya. Gustavo dan Ira menyambut kedatangan Sebastian dan Rinjani serta Dylan, dengan sangat hangat. Begitu pula dengan Edmundo, Ayah Gustavo, serta Miranda, Adik bungsu Alvaro dan Hugo. Mereka berbincang sembari sekali-sekali tertawa. Suasana bertambah ramai, kala Alvaro datang bersama Arjuna, dan kedua ajudan muda. Sang komisaris 4 PBK itu menelepon rekan-rekannya, lalu mereka berjanji temu di rumah Sultan, karena Sebastian juga hendak ke sana untuk berpamitan. Puluhan menit kemudian, tiga mobil mewah keluar dari kediaman Gustavo. Para sopir melajukan kendaraan dengan kecepatan sedang, menuju kawasan Kalibata. "Pada heboh mau nyusul, Var," cakap Sebastian sambil membaca pesan-pesan di grup 777. Dia menumpang di mobil itu, sedangkan Rinjani dan Dylan ikut di mobil Gustavo. "Siapa aja? Aku mau ngabarin May, supaya nyiapin suguhan," balas Alvaro sembari terus mengemudi. "Orang-orang PBK,
71Jumat siang menjelang sore, ruang rapat terbesar di gedung kantor PG, dipenuhi ratusan orang. Para bos PG, PC dan PCD, datang bersama istri serta asisten masing-masing. Mereka duduk rapi di tempat yang telah disediakan, sambil menunggu komisaris utama tiba. Tidak berselang lama Tio memasuki ruangan bersama keempat direktur, para manajer, dan dua komisaris besar, yakni Sultan dan Gustavo. Ajudan Tio mempersilakan orang-orang tersebut menempati deretan kursi terdepan. Sementara Tio meneruskan langkah menuju podium. Acara dimulai Tio dengan sapaan salam, yang dijawab hadirin dengan hal serupa. Selama beberapa menit berikutnya, Tio menuturkan tentang berbagai proyek yang digagas PG, dan diserahkan pengelolaannya pada anggota PC serta PCD. Setelahnya, Tio memanggil belasan pria yang akan berangkat menuju Kanada, pada dua hari mendatang. Sebastian yang menjadi ketua proyek, diminta Tio untuk memberikan kalimat perpisahan. Pria bermata tajam itu memandangi orang-orang di barisan terd
70Jalinan waktu terus berjalan. Detik-detik keberangkatan ke Kanada, kian dekat. Sebastian dan Rinjani mengebut semua pekerjaan mereka, agar selesai tepat di hari terakhir bulan Agustus. Selama 10 hari berikutnya, pasangan tersebut mengunjungi orang tua dan para kerabat mereka, secara bergantian. Selain itu, mereka juga lebih sering menghabiskan waktu bersama para sahabat. Beberapa hari sebelum berangkat, Mirna dan suaminya mendatangi Rinjani di kediamannya. Mirna menerangkan kondisi kesehatan Anton yang kian memburuk. Rinjani terkejut kala Mirna kembali menyampaikan permintaan Anton, untuk bertemu dengan Rinjani dan Dylan. Perempuan bermata besar itu meminta waktu untuk berpikir, dan hendak berdiskusi dengan suaminya terlebih dahulu. Sebastian tiba di rumah, beberapa saat sebelum azan magrib berkumandang. Rinjani bersikap biasa saja. Dia menunggu Sebastian sudah hilang lelahnya, baru Rinjani akan menceritakan peristiwa tadi siang. Malam kian larut. Suasana kediaman Sebastian te
69 *Grup 777*Zulfi : Kalian sudah otw, Gaes? Alvaro : Aku sudah nyampe depan blok rumah Pak Erick.Yanuar : Aku numpang di mobil Bang bule. Benigno : Kirain aku, doang, yang belum nyampe. Tahunya, banyak. Heru : Kejebak macet ini. Ada tabrakan tunggal di depan. Hadrian : Mobilku kejepit di tengah-tengah. Aku mau pindah ke mobil Mas Ivan aja. Ivan : Aku tunggu depan kantor X, @Ian. Baskara : Untung aku sudah jalan duluan bareng Tio. David : Aku terpaksa mutar lewat jalur alternatif. Trevor : Saya juga mau mutar. Bakal lama ini macetnya. Zainal : Aku titip anak-anak. Pada rewel mereka. Ada yang bisa ditumpangi? Damsaz : Mobilku kosong, @Bang Zainal. Zainal : Posisi, @Damsaz? Damsaz : Baru keluar gerbang utama. Zainal : Oke, tunggu di situ. Triska sama kiddos naik ojek ke sana. Brayden : Aku susul pakai motor aja, @Zainal. Zainal : Boleh, @Mas Brayden. Triska sudah nyeberang. Ngadem di depan mini market. Brayden : Oke, tunggu 5 menit. Aku ngebut.Lainufar : Ada lagi yan
68Beberapa hari terlewati. Sore itu, Keisha mendatangi kediaman Sebastian bersama dengan Willy. Perempuan berbaju oren itu, terkejut melihat Aline juga tengah berada di sana. Rinjani menyambut kedua tamunya dengan ramah. Dia mempersilakan Keisha dan Willy duduk di kursi seberang meja. Sementara Rinjani menempati sofa panjang. Tidak berselang lama, Sebastian muncul bersama Urfan. Rinjani menyalami suaminya dengan takzim, sedangkan Dylan berteriak memanggil sang papa yang langsung mendatanginya. Sebastian menggendong lelaki kecil berbaju merah, kemudian dia duduk di sebelah kanan Rinjani. Keisha mengamati Dylan dengan saksama. Dia kaget saat bayi berusia 7 bulan lebih itu mengulurkan tangan kiri, seolah-olah hendak menggapainya. Keisha maju untuk memegangi Dylan. Perempuan tersebut segera mengambil alih sang bayi dari gendongan papanya. "Dylan tertarik dengan bros di bajumu," tutur Rinjani. Keisha menunduk. "Mau, Dylan?" tanyanya yang dibalas ocehan sang bayi. "Jangan, Kei. Semu