Aku berjalan menuju mobilnya, dan saat membuka pintu, sebuah kilas balik memori langsung menghantamku. Ini adalah mobil yang sama, mobil yang dulu sering aku tumpangi saat masih bersama Bang Fahri, saat dia masih memperlakukanku dengan baik. Ingatan itu membuatku sedikit meringis, rasa pahit muncul kembali. Aku masuk ke dalam, duduk di kursi penumpang. Aroma khas mobil itu masih sama. Bang Zul duduk di belakang kemudi, lalu mulai melajukan mobil dengan tenang, membelah jalanan pagi yang mulai ramai."Jadi, apa kegiatanmu sekarang?" Bang Zul memulai percakapan, mencoba memecah keheningan yang sedikit canggung di antara kami berdua."Aku hanya kuliah saja, Bang," jawabku, pandanganku tertuju pada jalanan di depan. "Di bagian Agribisnis."Bang Zul mengangguk. "Agribisnis, ya. Itu pilihan yang bagus sekali, Ris. Sesuai dengan latar belakangmu di peternakan. Aku tahu kamu memang punya bakat di sana." Dia tersenyum, lalu menoleh sekilas padaku. "Aku senang melihat kamu yang sekarang. Kamu
Setelah pertemuan tidak terduga dengan Bang Zul dan drama di warung makan, aku kembali ke kos dengan langkah gontai. Pikiran dan perasaanku campur aduk.Siapa sangka, di tengah kota yang begitu luas ini, takdir kembali mempertemukanku dengan masa lalu yang ingin kuhindari, dan masa lalu yang selalu memberiku pertolongan. Aroma masakan dari warung itu, disusul jeritan Ibu Mertua, masih terngiang di telingaku. Aku mencoba mengenyahkannya, fokus pada tugas-tugas kuliah yang menumpuk, sembari duduk di lantai beralaskan karpet, serta meja lipat pendek berwarna biru dan segelas minuman dingin.Saat aku sedang sibuk mengerjakan tugas yang rumit di meja belajarku, ponselku berdering nyaring di atas bantal. Nama Ibu Tiri tertera di layar. Sebuah senyum tipis terukir di bibirku. Sudah kuduga, beliau pasti akan menghubungiku. Kalau Bang Zul bisa muncul di dekatku, pastilah keluarga yang ada di desa pelakunya."Halo, Bu?" sapaku, sengaja sedikit ceria, mencoba menyembunyikan sisa-sisa kelelahan.
Bang Zul membawaku menjauh dari warung makan yang mendadak terasa seperti medan perang emosional. Tangan Bang Zul masih memegang lenganku, menuntunku berjalan cepat, meninggalkan kehebohan di belakang.Aku bisa mendengar bisikan-bisikan dari dalam warung, disusul suara melengking Ibu Mertua yang memanggil namaku. Namun, aku tak peduli. Fokusku hanya pada langkah kaki Bang Zul yang mantap, menarikku menjauh dari kekacauan itu.Kami berhenti di sebuah bangku taman kecil, tidak jauh dari warung. Bang Zul melepaskan pegangannya, lalu menatapku lekat. Wajahnya yang tenang berhasil sedikit meredakan gemuruh di dadaku."Riska, kamu baik-baik saja?" tanyanya lagi, suaranya lembut dan penuh perhatian. "Kenapa kamu ada di sini? Dan kenapa... mereka?" Dia melirik ke arah warung, sedikit mengernyit.Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungku yang masih berpacu kencang. "Aku... aku kuliah di sini, Bang," jawabku, suaraku sedikit bergetar. "Aku ngekos juga di dekat sini. Tadi
Hari-hari di desa bergulir dengan cepat, membawa serta rutinitas baru yang ku nikmati. Aku mulai menjalani hidupku dengan penuh semangat, bertekad untuk mengejar impian yang sempat tertunda. Kini, aku adalah mahasiswi di sebuah universitas swasta di kota terdekat dengan desa. Aku memutuskan untuk mengambil jurusan Agribisnis, sesuai dengan minatku pada peternakan dan keinginanku untuk mengembangkan usaha ayahku kelak.Awalnya, aku sempat khawatir akan merasa canggung atau sendirian. Siapa yang mau berteman dengan seorang janda, apalagi yang dulunya pernah jadi bahan gosip sekampung? Namun, ternyata kekhawatiranku tidak beralasan. Ada beberapa mahasiswi yang juga seumuran denganku, bahkan ada yang lebih tua. Mereka bukan tipikal anak SMA yang baru lulus, melainkan orang-orang dewasa yang juga ingin melanjutkan pendidikan, mungkin karena berbagai alasan seperti aku. Kami cepat akrab, membentuk kelompok belajar, dan saling mendukung. Ternyata, aku tidak sendirian.Enam bulan berjalan d
Mentari pagi di desa terasa berbeda. Hangat, tapi tidak menyengat seperti di kota. Suara kokok ayam dan kicauan burung menyambutku saat aku membuka mata. Udara segar yang bersih memenuhi paru-paru, jauh dari polusi knalpot kendaraan. Inilah rumah, tempat aku bisa kembali menjadi diriku sendiri.Aku bangun, merapikan ranjang yang menemaniku tumbuh dewasa dan pergi dari desa ini demi sebuah harapan yang pada akhirnya musnah. Suasananya masih sama, bahkan seluruh tata letaknya juga serupa dengan kali terakhir aku mengingatnya.“Sarapan, Ris?” sambut ibu tiriku saat aku keluar dari kamar.Di meja makan, semua anggota keluarga sudah berkumpul. Mereka duduk melingkari meja makan yang di atasnya terhampar makanan, nasi goreng, ayam goreng, kerupuk, serta teh hangat.Setelah sarapan sederhana buatan Ibu Tiri dan Bik Yum yang hangat dan lezat, aku memutuskan untuk pergi ke warung. Persediaan di rumah masih minim setelah perjalanan. Aku bahkan tidak punya sikat gigi dan sabun mandi.Aku mengena
Pertanyaan Ibu Tiriku tentang Bang Zul menggantung di udara, membebani benakku. Namun, setelah beberapa saat diam, aku perlahan menggelengkan kepala. Aku sudah menyiapkan diri untuk meninggalkan kota ini, meletakkan semua kenangan pahit di belakangku. Bahkan, peternakan sudah diambil alih oleh pabrik Bang Zul, sebuah keputusan final yang menandakan babak baru dalam hidupku.Ibu Tiriku menatapku lekat, senyumnya memudar, digantikan oleh tatapan pengertian. Beliau mengangguk pelan, seolah memahami sepenuhnya isi hatiku yang masih terlalu rapuh untuk membangun impian baru."Baiklah, Nak," ucapnya lembut, mengusap punggungku begitu lembut. "Ibu mengerti. Kamu sudah terlalu banyak melewati hal berat. Biarlah semua ini jadi pelajaran."Lalu, ibu tiriku beranjak, beliau berjalan pelan keluar dari kamar. Kuantar kepergiannya dengan sorot mata sayu. Hatiku pilu, tapi aku tidak mau berharap pada siapapun.Sore menjelang. Langit berubah lebih kelabu, angin sepoi dan sunyi, memancarkan perpisahan