Sore harinya, setelah mengusir Bang Fahri dan pertemuan dengan Pak RT, Ayah memutuskan untuk ikut denganku ke peternakan. Beliau masih tidak percaya dengan kisahku soal peternakan, beliau ingin melihat langsung kondisi tempat usahaku.Kami berangkat bersama ketiga saudara tiriku. Jika biasanya aku naik motor tua, kali ini hanya duduk manis di kursi tengah. Saudara sulungku menyetir mobil, ayah di kursi sebelah kemudi dan dua saudaraku yang lain di kursi belakang.Begitu sampai di pagar peternakan, mata Ayahku langsung berbinar. Beliau terpukau melihat luasnya peternakan yang kini terhampar di depan mata. Pohon-pohon rindang, padang rumput hijau yang membentang luas, dan kandang-kandang yang tertata rapi dipenuhi sapi-sapi gemuk. Belum lagi pemandangan perbukitan di belakangnya serta embusan lembut dari angin yang sejuk."Masya Allah, Riska! Peternakanmu seluas ini?" Ayah berseru kagum, beliau menatap sekeliling dengan takjub. "Jumlah sapinya... banyak sekali! Ini benar-benar jauh lebi
Setibanya di rumah setelah insiden di rumah sakit, suasana di antara kami lebih hangat dan akrab dari sebelumnya. Aku dan Ayah duduk di ruang keluarga, ditemani Ibu Tiri serta ketiga saudara tiriku, kami menikmati makan siang yang lezat bersama-sama. Aku menceritakan dengan detail bagaimana Bang Fahri kalang kabut merebut foto-foto itu dari orang-orang, bagaimana orang-orang berbisik dan menertawakannya. Bahkan rekan dokternya sendiri tertawa paling keras. Ibu Tiri dan ketiga anak-anaknya terbahak-bahak mendengar ceritaku. Tawa mereka pecah, memenuhi ruangan yang tadinya senyap oleh kelelahan. "Rasakan dia! Karma memang tidak pernah salah alamat!" seru istri Ayah sambil mengusap air mata tawanya. "Dia kira, dirinya paling pintar, ternyata bisa juga dipermalukan!"Saudara-saudara tiriku ikut menimpali dengan berbagai ejekan. "Wajahnya merah padam tadi, Bu! Mati kutu manusia sombong itu!" kata Abang sulungku, tertawa geli. Aku ikut tersenyum tipis, merasakan sedikit kelegaan dari taw
Malam itu, setelah drama pengusiran Bang Fahri dan keluarganya, suasana rumahku berangsur tenang. Tangisanku tidak henti-hentinya di pelukan ibu Tiriku, sebuah tangisan lega yang meluruhkan semua beban yang kupikul sendirian selama ini. Aku membenamkan wajah di bahunya, menghirup aroma khas perempuan yang kini mengisi posisi almarhumah ibu, merasakan kehangatan yang telah lama kurindukan. Ayahku, dengan wajah lelah namun penuh tekad, sedang berbicara serius dengan Pak RT di ruang tamu. Setelah beberapa waktu, Pak RT pamit pulang, raut wajahnya masih menunjukkan kegelisahan. Ayah kembali menghampiriku, duduk di sampingku yang masih bersandar di bahu Ibu Tiri. "Riska," katanya, suaranya lembut, "Pak RT bilang, Fahri dan keluarganya datang ke rumahnya. Mereka minta bantuan, merasa didzalimi karena diusir dari sini."Aku mendongak, menatap Ayah. Tidak percaya dengan semua yang kudengar. "Lalu?"Ayah menghela napas. "Pak RT tidak bisa bantu banyak. Warga sudah sangat marah dengan mere
Meski sudah terpuruk di halaman rumah, Ibu Mertua masih mencoba membela dirinya. Wajahnya yang basah oleh air mata dan debu tampak penuh dendam, terutama padaku."Ini rumah anakku! Kalian tidak bisa begini! Riska ini pezina! Dia main api dengan laki-laki lain! Harusnya kalian bersyukur, kami masih mau menerimanya!"Tidak mau kalah, Ninik bangkit tertatih, matanya melotot tajam ke arahku. "Betul! Riska ini pelacur! Dia berzina dengan Bang Zul! Bahkan dia jual diri di luar sana! Makanya dia punya banyak uang untuk beli peternakan itu! Dia membeli dengan uang haram!" Cercaan itu meluncur deras, menusuk-nusuk telingaku, menggores hatiku yang baru saja dingin dan tenang. Kata-kata Ninik yang menuduhku jual diri dan mengatai uangku haram, sebuah tuduhan keji yang jauh melampaui batas, sontak membuat suasana yang sudah tegang semakin memanas. Tiba-tiba, dari dalam rumah, terdengar derap langkah cepat. Sesosok perempuan muncul dari ambang pintu, wajahnya memerah padam karena marah. Dia adal
Motorku melaju pelan saat memasuki pagar rumah. Malam sudah larut, dan suasana kompleks perumahan tampak tenang. Hal inilah yang kuharapkan, jauh dari tatapan penuh penghinaan dari para tetangga, serta pertanyaan yang tidak pernah mau mendengar penjelasan.Aku bahkan belum memarkir motorku, sebab perasaanku langsung berombak tidak menentu. Setelah beberapa langkah, aku terdiam cukup lama di depan rumah. Sebab, aku merasa heran melihat dua buah mobil berjejer di halaman rumahku.Mobil-mobil itu tidak asing, salah satunya adalah mobil pikap yang biasa dipakai di peternakan desa, dan satu lagi adalah mobil mewah yang asing untukku. Jantungku berdesir. Aku tidak tahu kenapa ada mobil yang tidak asing di halamanku.Sebuah firasat muncul seiring dengan ayunan kaki menuju rumah. Apa ini? Kenapa ada mobil Ayah di rumah? Apa Ayah yang datang?Aku melangkah mendekat, rasa penasaran mengalahkan rasa lelah dan takutku.Lalu, semuanya terjawab saat aku sudah masuk ke halaman.Dari dalam rumah, ter
Aku menatap kosong ke arah jalan, mataku masih saja terpaku pada siluet Bang Fahri dan Ninik yang berboncengan mesra di motor, semakin menjauh hingga akhirnya menghilang dari pandangan.Pemandangan itu bagai belati yang menusuk, seolah membenarkan semua dugaanku. Mereka berdua seperti menunjukkan kalau mereka adalah dalang di balik semua kekacauan ini, lalu hidup bahagia setelah menghancurkan hidupku.Dadaku begitu sesak, amarah membakar dan kekesalan menumpuk di kepala. Aku benar-benar tidak tahan lagi dengan mereka."Kak Nah, mereka... mereka pelakunya, kan?" bisikku, suaraku tercekat. Entah harus bagaimana lagi, tapi aku ingin Kak Nah berkata iya.Kak Nah mengangguk, rahangnya mengeras. "Sudah jelas, Riska. Mereka yang merencanakan ini semua." Kak Nah mengusap bahuku. "Tapi sekarang, kita harus fokus. Apa yang akan kamu lakukan? Apa kamu punya ide?"Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Otakku berputar mencari jalan keluar. Kejadian semalam yang masih membuat lututk