“Kamu ini memang pelit ya, tadi karpet sekarang makanan. Semua saja kamu simpan di dalam kamarmu. Salah siapa paket ini datang saat kamu tidak ada di rumah, ya tentu saja kami buka. Ternyata isinya adalah makanan. cocok banget ini untuk jadi cemilan.” “Apa? Ibu bilang apa?” Aku menatap perempuan itu lebih tajam. “Ibu bilang ini salahku karena tidak ada di rumah dan itu hak kalian untuk menikmati apa yang dikirimkan untukku? Apa kalian sudah kehilangan akal sehat?” Seketika ibu mertua menatapku, dilemparnya camilan yang sudah dibuka itu hingga berhamburan. “Heh, perempuan mandul dan miskin, kenapa kamu bermasalahkan makanan seperti ini sih?” “Tentu aku permasalahkan karena kalian mengambil yangbukan hak kalian. Itu adalah makanan yang dikirimkan untukku oleh ibuku.” “Omong kosong apa yang kamu ucapkan? Paket ini dikirimkan ke rumah ini, berarti siapapun yang tinggal di rumah ini berhak memakannya.” Ibu mertua berseru sambil berkacak pinggang. “Apa katamu? Ibu … perempuan yang nikah
“Aku dekat dengan atasanku, jadi kamu tidak perlu khawatir,” bujuk Bang Zul lagi.Meski dia berkata demikian, tetap saja aku ragu. Entah mengapa sepertinya Bang Zul tidak sepenuhnya berkata jujur. Ada hal yang disimpannya dengan rapi, bisa kuketahui dari sorot matanya itu.Kami sudah saling kenal cukup lama, bahkan bisa dibilang tumbuh bersama saat merawat sapi. Aku kenal pria ini, meski sekarang penampilannya berbeda, tapi sebenarnya dia masihlah Bang Zul yang sama.Sedikit aku menolehkan muka ke arah mobil yang dibawanya tadi. Bagaimana bisa seorang karyawan diizinkan mengendarai mobil pabrik yang semewah itu? Jika pun itu mobil milik pabrik, bukankah harus ada izin dari atasan?Aku masih ingat, tadi Burman pergi kurang dari lima menit, lalu kembali dengan mobil mewah itu. Tidak mungkin Burman sempat meminta izin pada atasannya dalam waktu sesingkat itu.“Kenapa kamu masih melihat ke sana?” tegur Bang Zul lagi.Aku tersentak, tidak menyangka jika pria itu menyadarinya. “Tidak ada B
Ekspresi Bang Zul berubah saat aku berkata demikian padanya. Mungkin ini kali pertama Bung Zul melihat aku berbicara begitu tegas bahkan langsung pada inti permasalahan.“Apakah kamu terganggu dengan apa yang kulakukan? Kamu terlihat bingung saat Ayahmu bilang ingin datang ke kota, kamu khawatir karena kedatangannya akan membongkar semua yang terjadi disini. Kamu belum siap diseret pulang ke desa tanpa membalas orang-orang itu.”Mendengar jawaban Bang Zul aku menggelengkan kepala. “Tapi bukan berarti Abang bisa membahayakan pekerjaan Abang dengan membantu kami. Selama ini, tidak ada pabrik yang bersedia bekerja sama dengan kami. Mereka menolak membayar biaya transport yang terlalu besar. Jika pun mereka bersedia bekerjasama, mereka akan menekan nilai jual dari sapi-sapi milik kami.” Aku tertunduk saat berkata demikian padanya. Entah mengapa rasa bersalah yang diemban ayah kini menular padaku. Benarkah Bang Yul melakukan ini semua karena merasa berhutang budi?“Kita bicarakan di tempat
Perempuan itu menganggukkan kepala. Karena tidak sempat bertanya ke mana aku hendak pergi, dia langsung membungkuskan beberapa gorengan dan menyerahkannya padaku. “Makan ini, setidaknya isi perutmu dengan sesuatu sebelum kamu sibuk. Jangan menunda makan, kamu harus sehat agar bisa bertahan dengan orang-orang busuk itu.” Pertemuanku dengan Kak Nah pagi itu berakhir, aku memacu motor dengan cepat menuju kawasan di mana pabrik penggilingan daging tempat Bang Zul bekerja berada. Sepanjang perjalanan kepalaku tidak bisa berhenti memikirkan dan mempertimbangkan semua kemungkinan kenapa pabrik sebesar itu bersikap baik pada peternakan di desa seperti milik kami. Aku tiba di pabrik tempat Bang Zul bekerja saat kondisi pabrik sedang lengang. Seperti yang pernah terjadi sebelumnya, kehadiranku langsung dicegat oleh seorang satpam yang sedang bertugas. “Neng mau ke mana?” tanyanya dengan intonasi yang masih membekas di ingatanku.Pria itu menunggu saat aku memarkirkan motor. Dia juga memb
Esok harinya aku mengikuti Kak Nah ke warung perempuan itu, saat pagi hari sebelum orang-orang itu terbangun dari tidur nyenyaknya. Aku tidak ingin merusak hariku dengan berdebat bersama mereka seperti yang terjadi kemarin.Kak Nah langsung membuka warung, menyusun barang-barang dan menyiapkan tempat untukgorengan yang akan diantarkan oleh temannya. Sedangkan aku duduk di salah satu bangku, kemudian membuka laptop untuk memeriksa keuangan dari peternakan bulan lalu.Di sini, aku bisa bekerja dengan tenang tanpa merasa khawatir akan ketahuan oleh orang-orang itu.“Ayah menjual banyak s
“Kamu nggak percaya dengan ucapanku? Ayahmu itu tampan tahu, aku suka sekali pria yang tampan. Bayangkan kamu bangun tidur dan melihat wajah rupawan di sampingmu,” ujar Kak Nah lagi dengan wajah yang berbinar.Meski terdengar konyol, impian Kak Nah itu tidak salah sepenuhnya. Ini hanya soal perbedaan pandangan hidup.Setelah lelah mengobrol kami memutuskan untuk menonton televisi. Baru dua puluh menit berlalu, kudengar suara hentakan kaki dari luar rumah, lalu sahut-sahutan perdebatan antara beberapa orang.Kami saling melempar pandang, sudah tahu siapa yang baru saja datang.
Kami duduk santai di ruang televisi, lalu mengulang cerita konyol yang terjadi sesaat lalu. Entahbagaimana kondisi mereka saat ini, mengingat ibu mertua dan Ninik yang sudah hilang kendali hingga saling jambak, bertengkar dan mencela satu sama lain.“Bener-bener, deh! Mereka itu kelewatan banget, sampai ngerebutin ATM milik Fahri. Masa hal pribadi kaya begitu saja mereka enggak paham?” Papar Kak Nah.Aku mengangguk setuju. Mereka meminta utuh penghasilan yang didapat oleh Bang Fahri, lalu menggunakannya sesuka hati. Entah terbuat dari apa perasaan mereka sebenarnya.“Iya, Kak. Dari dulu aku sudah
“Kenapa diam saja?” Aku mendesak Bang Fahri. Pria itu sudah seperti ayam sakit, tidak bisa mengelak dari semua perkataan yang menyudutkannya. “Halah, Fahri diam begitu karena nggak bisa ngelak lagi!” sahut Kak Nah usai menelan sate ampela miliknya. Perempuan itu bahkan bicara dengan mulut penuh. Selain aku, Kak Nah-lah yang paling bersemangat. Dia puas melihat Ibu mertua dan Bang Fahri kehabisan kata-kata serta Ninik yang harus meneguk kecewa. “Sejak awal juga kamu tidak sehebat itu, Bang. Kamu nikahi aku, lalu memaksa tinggal di kota dengan alasan kebaikan, koneksi dan relasi yang lebih luas, kesempatan kerja di rumah sakit besar dan sebagainya. Aku mengikuti semua keinginan itu meski kamu tidak punya uang untuk membeli atau menyewa rumah, bahkan sukarela membayar biaya transport kita dari uang bekerja di peternakan yang kamu hina-hina itu. Lalu, saat semuanya mulai membaik, kamu bawa Ninik ke rumah kita.” Bang Fahri menghela napas. Wajahnya kelabu, genggamannya tangannya men
“Ikut kami!” Aku berkata demikian dengan suara nyaring. Ibu mertua dan Salma ragu, mereka melihat ke arah salah satu restoran keluarga yang ramai. “Mau ke mana? Di sini banyak tempat, tidak perlu sampai keluar mall segala!” omelnya sembari melipat kedua tangan di dada. Sifat angkuh Ibu mertua tidak berubah meski kami sekarang sudah saling tahu kebenaran. Beliau masih menganggap Bang Fahri hebat dan patut dibanggakan, padahal pria itu sudah seperti ayam pesakitan di sampingnya. “Ris, kita makan di sana saja.” Bang Fahri angkat bicara. Dia menujuk restoran bakso yang berada di seberang. Aku menggelengkan kepala. Enak saja dia!“Aku sudah punya tempat pilihan, kita ke sana sekarang.” Kak Nah menganggukkan kepala. “Kita makan di sana saja, aku yang bayar. Kalian tidak perlu keluar uang!” tawar Kak Nah. “Beneran?” Ibu mertua bersuara. Beliau ragu, kemudian memicingkan matanya pada Kak Nah. Sungguh, aku tidak tahan sama sekali. Tapi membayangkan ekspresi mereka nanti setelah sampai