“Ternyata asalnya dari sana!“ Aku menegaskan lagi sembari menunjuk telapak kaki Ninik. Perempuan sombong itu sepertinya lupa kalau dia bekerja di peternakan. Sandal kotor bekas dari peternakan dipakai masuk ke dalam rumah. Sekarang, seluruh rumah dilapisi kotoran sapi. “Iyuh, itu tai sapi, Bu!“ seru Salma. Wajah Ninik langsung memerah. Dia besar bicara sesat lalu, tapi sekarang malah sibuk melihat ke bawah telapak sandalnya sendiri. Kotoran sapi dibawanya pulang begitu jauh. Pastilah Ninik senang bekerja di sana, kan? “Kenapa kamu bisa bawa tai sapi ke sini, hah?“ ibu mertua berteriak. Ninik kebingungan, dia sendiri nampak jijik dengan sandalnya. Buru-buru Ninik melempar kedua sandalnya keluar rumah. “Bu, aku juga enggak tahu. Ini semua ….“ “Halah, alasan saja. Ke mana lagi kamu seharian sampai bisa bawa tai sapi ke rumah? Memang, ya … kamu itu bahaya, entah bagaimana kelakuanmu di luar sana. Ibu nyesal bawa kamu ke sini!“ omel ibu mertua. “Bu, bukan begitu … aku benar-
“Kamu ini kelewatan ya, Nik. Kemarin kamu sendiri yang enggak suka sama Riska, sekarang kamu malah deketin dia!” cecar ibu mertua yang membuatku geleng-geleng kepala.Aku tidak mau terlibat sama sekali dengan perdebatan ini. Hendak kulangkahkan kaki meninggalkan ruang keluarga. Namun, ucapan Ninik selanjutnya membuatku terpaksa berhenti.“Bu, aku itu cari tahu kehidupan Riska di luar sana!” adunya.Seketika aku menoleh ke arah perempuan itu. Pengakuannya barusan selaras dengan kecurigaan yang disebut oleh Bang Zul. Benar Ninik mencari informasi soalku makanya dia ikut hingga ke peternakan.“Halah, kamu ngeles setiap hari. Jangan-jangan kamu baru saja pulang jalan-jalan sama lelaki, hah?” tuduh ibu mertua. “Kemarin saja kamu godain pacarnya Si Gentong, sekarang laki mana lagi yang kamu goda. Ingat, ya ... tidak ada kesempatan kedua buat kamu.”“Bu, beneran! Aku cari tahu soal Riska. Memangnya Ibu enggak penasaran dengan kegiatannya di luar sana? Setiap hari dia bangun pagi, keluar deng
“Ris, jadi cowok yang selalu datengin kamu itu pemilik peternakan?” bisik Ninik.Aku mengerling padanya. Perempuan itu malah cengengesan. Dia beringsut ke arahku yang sedang duduk menghitung pengeluaran bulan ini serta kemungkinan laba setelah sapi-sapi dikirim ke pabrik sesuai dengan kontrak.Aku langsung menarik buku kas, menutup dan menjauhkannya dari Ninik. Dia tidak boleh melihat hal sepenting ini.“Ris! Ih, kok kamu begitu, sih? Aku kan mau ngobrol sama kamu. Memangnya enggak boleh?” balasnya kesal.Lagi, aku mengerling. Ninik benar-benar sangat tidak tahu cara menempatkan diri. Padahal, selama ini dialah yang paling membuatku tidak ingin mengobrol.“Serius kamu tanya begitu?” balasku cepat.Buku kas, keuangan, kwitansi serta semua bukti tranksaksi aku masukkan ke dalam tas. Untungnya hari ini aku membawa tas yang lumayan lega, jadi bisa membawa semua buku-buku itu pulang, menjauhkannya dari Ninik.Aku belum tahu kenapa dia muncul di peternakan. Apakah benar-benar karena ingin b
Ninik malah menengadahkan muka, dengan berani dia membalas tatapan Bang Zul padanya. Membuat hatiku getir, gelisah luar biasa.Kenapa Ninik bisa ada di sini? Kenapa dia muncul di sini? Padahal belum lama aku mengambal alih peternakan ini. Selain Kak Nah, bisa kupastikan tidak ada yang tahu.“Kenapa apanya, Bang?” balas Ninik.Intonasinya bicara sangat tidak biasa. Perempuan itu jelas-jelas sedang berusaha menarik perhatian Bang Zul.Buru-buru aku menghalangi Ninik. Kujadikan badan mungil ini sebagai tameng. Bang Zul tidak boleh jadi sasaran selanjutnya dari kebejatan perempuan itu.“Aku mau cari kerja,” lirih Ninik.Suaranya berubah lagi. Tiba-tiba saja, dirinya seperti diliputi mendung yang dahsyat. Rasa sedih yang luar biasa, bertambah dengan air mata yang mengalir di pipi dan jatuh ke tanah, kemudian pundak bergetar, lengkap sudah ... aku bahkan kehabisan kata-kata.“Aku ini sebatang kara, Riska. Aku butuh pekerjaan agar bisa tetap bertahan hidup. Kamu tahu sendirikan bagaimana keh
“Ris, aku mau bicara!” Bang Fahri menahan saat aku hendak masuk ke kamar.Pria itu masih memakai setelan kerjanya hari ini, belum bertukar dengan pakaian rumah dan berbersih diri. Kutebak, pikirannya benar-benar kalut hingga tidak bisa berpikir jernih.Lagian, salahnya sendiri. Sudah tahu kondisi keuangan papasan, dia malah sesumbar ngutang ke preman demi memenuhi tuntutan Ninik. Tahu-tahu malah ditipu oleh Ninik.Sekarang, saat hidupnya mulai hancur, dia minta bantuan padaku? Yang benar saja!“Riska, suamimu mau bicara!” Bang Fahri berteriak karena aku abai dengan ucapannya.Aku sudah cukup lelah dengan semua drama mereka. Ini sudah malam, waktunya istirahat, tidak bisakah dia membiarkanku lewat?“Bang, tidak perlu berteriak begitu. Kalau kamu lelah dengan semua ini, harusnya kamu tidak pernah memulai,” balasku sembari menarik tangan dari cengkeramannya.Bang Fahri nampak terpukul. Dia menelan ludah, menghela napas dan langsung menatap ke arah kamar ibu mertua. Sepertinya perempuan p
“Mana uangnya?” Pria itu menadahkan tangan saat Bang Fahri turun dari mobil. Syukurlah mereka sudah pulang, jadinya aku tidak perlu mandi keringat karena berhadapan dengan pria sebesar raksasa ini. Wajah Bang Fahri langsung berubah. Dia yang tadi tersenyum lebar di balik setir kemudi, kini hanya bisa tertegun untuk beberapa saat. Bang Fahri keluar dari mobil, berdiri di sisi pintu kemudi. Tatapannya lurus ke arah pria berbadan besar itu. Perlahan, pria itu menderap langkah menuju Bang Fahri. Senyumnya menyeringai, seperti binatang buas. Aku sendiri merasa begitu kecil, hingga tidak berani angkat suara dan memilih diam menyimak. “Ini sudah lewat waktunya, mau alasan apa lagi, Dokter Fahri?” ucap pria dengan kaos hitam yang membentuk dadanya. Bang Fahri terlihat ketakutan. Dia beringsut mundur saat pria itu terus mendekat. Sedangkan ibu mertua malah sesumbar. Perempuan itu dengan lantang bersuara, membela putranya, “Heh, ada urusan apa kamu nyariin anakku?” Beliau bahkan menunjuk