“Nadia, apa yang kamu lakukan?”Nadia dan Risa seketika menoleh pada sumber suara. Mereka berdua bisa melihat amarah dan aura membunuh dari Rangga. Rangga melangkah cepat mendekati mereka berdua dan mengamit tangan Nadia. “Kau membuatku malu,” desis Rangga tajam.Setelah Risa membetulkan penampilannya, Risa langsung menunduk pada Rangga dan Nadia. “Pak Rangga, maafkan saya. Tadi saya lancang berbicara dengan Bu Rangga.”Namun, Risa tersentak ketika tatapannya bertemu dengan tatapan Rangga pada Nadia dan dirinya.Tatapan itu.Tatapan yang sama ketika Rangga berencana untuk melenyapkannya. Napas Risa tiba-tiba menjadi pendek, tetapi Risa harus mengatasinya.Dia tidak boleh terlihat panik dan lemah saat ini.“Maafkan kelakuan istriku, Brialla,” ucap Rangga. Tatapan Rangga kini telah melembut terhadapnya.“Mas Rangga!”“Diam. Kita pergi dari sini.” Setelah itu Rangga dan Nadia meninggalkan Risa seorang diri di sana. Risa tersenyum senang menatap kepergian keduanya. Dia semakin melebarkan
Tempat itu begitu sunyi, sepanjang mata memandang hanya ada nisan yang berjajar rapi. Risa berjongkok tepat di depan sebuah makam lalu meletakkan seikat bunga amarilys di sana. Perasaan bersalah tergambar jelas di wajah cantik Risa. Dia merasa bersalah karena sudah lama sekali tidak mengunjungi makam ayahnya. "Maaf Risa baru datang," gumamnya sambil mencabut rumput liar yang tumbuh di atas makam ayahnya. Sebenarnya ada begitu banyak hal yang ingin Risa ceritakan pada sang ayah, tapi dia lebih memilih untuk memendam semua masalahnya sendirian. "Ayah jangan khawatir, Risa masih menjadi anak Ayah yang hebat dan kuat seperti dulu." Risa menarik napas dalam-dalam untuk mengurangi sesak yang menghimpit di dadanya. Air mata itu jatuh begitu saja membasahi pipinya, tapi dia cepat-cepat menghapusnya. "Do'akan semoga rencana Risa berhasil. Risa sayang, Ayah." Risa mengecup nisan ayahnya sebelum pergi meninggalkan makam. Setelah itu dia mengendarai mobilnya ke rumahnya yang dulu. Risa ingin b
Nadia kembali memoles lipstik berwarna merah di bibirnya, setelah itu memperbaiki eyeliner-nya yang terlihat sedikit kurang rapi. Tidak terasa sudah tiga puluh menit lebih Nadia mematut diri di depan cermin dan dia baru menyadari kalau hidungnya tidak begitu bangir. Sepertinya dia perlu melakukan operasi plastik agar hidungnya terlihat lebih benang. Jika perlu dia akan tanam benang agar dagunya terlihat lebih lancip.Nadia berdecak kesal sambil membanting lipstiknya di atas meja ketika teringat dengan Brialla. Amarah tergambar jelas di wajahnya yang dipoles make up tebal. Nadia sangat membenci Brialla karena wanita itu sudah berani menggoda Rangga. Brialla bahkan membuat pipinya ditampar keras oleh Rangga padahal dia hanya ingin mempertahankan rumah tangganya.Sementara itu Rangga yang sudah menunggu di mobil berulang kali melihat jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Sudah sepuluh menit dia menunggu, tapi Nadia belum juga keluar padahal mereka harus menghadiri makan
Dikta mengerjapkan kedua matanya perlahan ketika cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah tirai di dalam kamar jatuh tepat mengenai wajah tampannya. Ternyata sekarang sudah hampir jam enam, pantas saja matahari sudah bersinar lumayan terang. Dikta pun segera bangun lalu mendudukkan diri di atas tempat tidur. Kamar yang didominasi cat berwarna putih ini terasa sangat asing baginya. Padahal dia sudah menghabiskan separuh hidupnya di dalam kamar ini. Dia terpaksa pergi dari rumah ini semenjak pertiakaian yang terjadi di antara dirinya dan sang kakak dan melupapan semua kenangan buruk yang pernah dia alami di sini.Dikta menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya setelah itu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Selang beberapa menit kemudian dia keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk yang menutupi tubuh bagian bawahnya kemudian memilih baju yang ada di lemari.Dikta tanpa sadar tersenyum ketika melihat bajunya yang tersusun rapi di lemari. Ternyata mama tirinya
Dikta kembali terdiam. Lagi-lagi dia merasa tidak pantas sebab dia anak yang terlahir dari pernikahan yang tidak sah. Lagi pula ayahnya masih mempunyai anak yang lain. Dikta yakin sekali Adi pasti akan semakin membencinya jika menerima tawaran tersebut."Kenapa Ayah tidak memberikan posisi ini ke Kak Adi?"Januar urung menyesap teh-nya, lalu menatap Dikta dengan alis terangkat sebelah. Seolah-olah bertanya mengapa Dikta melontarkan pertanyaan tersebut pada dirinya.Dikta membetulkan posisi duduknya agar merasa lebih nyaman sebelum bicara, "Kak Adi juga dokter. Semua orang juga tahu betapa hebatnya Kak Adi ketika menyelematkan pasiennya di meja operasi. Dikta rasa ... Kak Adi pantas menduduki posisi tersebut.""Jadi menurutmu begitu?"Dikta mengangguk polos. Entah kenapa ekspresi pria berusia 28 tahun itu terlihat sangat menggemaskan sekarang membuat Januar tidak tahan untuk terkekeh pelan.Januar sangat menyayangi Dikta, bahkan mungkin melebihi rasa sayangnya pada Adi. Bukan tanpa ala
Mercedes Benz G65 itu melesat cepat membelah jalanan Ibu Kota. Mata si pengemudi memang tertuju pada jalanan yang ada di hadapan, tapi pikirannya sedang melayang ke mana-mana.Masih terekam jelas di ingatan Dikta kata-kata yang terlontar dari mulut sang kakak. Bukan satu dua kali Adi menyebut dirinya sebagai anak pembawa sial, bahkan anak haram. Kata-kata itu sudah dia dapatkan semenjak tinggal di rumah ayahnya. Namun, rasa sakitnya masih tetap sama. Rasanya sungguh menyesakkan hingga membuat jantungnya terasa seperti terbelah.Dikta menarik napas dalam-dalam untuk mengurangi sesak yang menghimpit di dalam dadanya. Air mata ... terlihat menggenang di kedua pelupuk matanya.Dikta pernah berjanji kalau dia tidak akan menangis lagi. Dia sudah berjanji pada Aluna kalau dia akan menjadi Dikta yang lebih hebat dan lebih kuat dari sebelumnya.Akan tetapi dia kembali jatuh sekali lagi. Jatuh karena kata-kata Adi yang begitu menyakiti hati. Biasanya Aluna selalu ada di sampingnya ketika dia me
Tubuh Risa menegang, aroma wine yang menguar dari mulut Dikta tercium dengan jelas di indra penciumannya. Aromanya sangat memabukkan sekaligus membuat jantungnya berdebar.Entah kenapa Dikta malah terlihat sangat tampan di matanya sekarang dengan rambut yang sedikit basah dan acak-acakan.Apa dia baru saja memuji kalau Dikta tampan?Risa tersentak setelah menyadari apa yang baru saja dia pikirkan. Dia pun cepat-cepat mendorong Dikta agar menyingkir dari atas tubuhnya. Namun, Dikta tidak mau bergerak. Pria itu malah menenggelamkan wajah di lehernya."Huft!" Risa menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Rasanya dia ingin sekali menampar Dikta karena sudah mencium bibirnya sembarangan. Akan tetapi di lain sisi dia juga menyadari kalau Dikta pasti tidak sadar ketika melakukannya."Dokter minggir!" Risa mencoba mendorong Dikta agar menyingkir dari atas tubuhnya karena sumpah demi apa pun tubuh Dikta sangat berat. Lagi pula posisi ini membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Embus
Napas Zean terengah, dia menarik udara sebanyak mungkin untuk memasok oksigen ke dalam paru-parunya. Pria dengan tinggi 183cm itu langsung meluncur ke rumah Dikta setelah bangun tidur. Dia bahkan masih memakai piyama yang dipakainya semalam.Bukan tanpa alasan mengapa Zean datang ke rumah Dikta pagi-pagi sebab sahabat baiknya itu bisa melakukan hal di luar nalar ketika mabuk.Zean masih ingat dengan jelas dia dan Dikta pernah mabuk bersama ketika masih koas. Stres akibat tugas yang menumpuk membuat mereka memutuskan untuk mencari hiburan dengan pergi ke kelab malam. Dia dan Dikta hanya minum sambil berbagi keluh kesah betapa sulitnya menjalani koas karena Dikta kurang suka turun ke lantai dansa. Padahal banyak perempuan berpakaian kurang bahan yang menggoda mereka.Sialnya Dikta malah salah masuk ke toilet perempuan saat ingin buang air kecil. Sahabatnya itu bahkan nyaris diamuk pengunjung yang ada di sana. Untung saja dia berhasil menyelamatkan Dikta.Zean pikir masalahnya sudah berh