"Kamu dan anakmu sama saja! Hanya bisa bawa sial kalau dibiarkan hidup!"
Satu makian itu membuat Risa tersentak. Napasnya terengah-engah dan penglihatannya sedikit buyar. Risa mengerjapkan kedua matanya perlahan, mencoba membiasakan diri dengan cahaya. Lama-kelamaan, pemandangan sekeliling pun berubah jelas.
Ruangan serba putih ini terasa sangat asing bagi Risa. Aroma obat-obatan pun tercium di mana-mana. Dibandingkan ruang tidur, tempat itu terlihat seperti kamar inap rumah sakit.
"Aku di mana ...?" Risa ingin bangun dan mencari tahu di mana keberadaannya sekarang. Namun, seluruh tubuhnya terasa kaku dan sakit saat digerakkan.
"Jangan banyak bergerak." Sebuah suara dalam terdengar berucap dengan nada memerintah, membuat Risa sontak menoleh.
Sosok seorang pria berkemeja putih tampak berjalan masuk melalui sebuah pintu. Rahangnya yang tegas dan alisnya yang menekuk tajam membuat pria itu tidak terlihat begitu bersahabat. Namun, raut wajah pria itu terlihat tenang selagi menghampiri dirinya, mengurangi sedikit kewaspadaan Risa.
"Siapa ...?"
Dengan alis tertaut, Risa menatap pria bertubuh jangkung yang sekarang berdiri di hadapannya. Dia tidak mampu mengingat apa yang terjadi sehingga dirinya tiba di sini.
"Siapa kamu? Di mana ini?" tanya Risa pada pria itu. Entah mengapa hati kecilnya mengatakan pria itu mengetahui alasan yang membuatnya berada di tempat ini.
“Kamu tidak ingat?”
Mendengar ucapan pria tersebut, Risa mencoba mengingat-ingat. Namun, semuanya gelap. Dia sulit mengingat apa pun dan hanya merasakan pening di kepalanya.
Pria itu menarik napas panjang sebelum bicara, "Kamu lari ke tengah jalan dan berujung tertabrak olehku." Dia melanjutkan, "Sudah tiga bulan kamu di sini."
"A-apa? Tiga bulan?" Risa terhenyak. Tiba-tiba seluruh ingatan mengerikan malam itu menerpa masuk ke dalam benaknya. Malam itu, malam yang membuatnya harus berada di tempat asing selama ini. Napas Risa menjadi pendek karena emosi menguasai tubuhnya saat ini.
"Kamu baik-baik saja?”
Apa Risa terlihat baik-baik saja saat ini? Tidak! Dia hancur. Kehidupan yang tadinya terasa indah berubah menjadi mimpi buruk yang tak akan pernah bisa dilupakan. Dan, pria di hadapannya ini bertanya apa dia baik-baik saja? Risa ingin marah.
Namun, apa salah pria ini hingga harus menerima amarahnya? Alih-alih salah, pria itu telah menyelamatkan nyawanya dan merawatnya selama tiga bulan. Seharusnya, Risa berterima kasih padanya!
“Nona.”
Panggilan tegas pria tersebut membuat Risa seketika tersadar dari lamunan.
"A-aku ...." Risa tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Dia pening, Risa mengangkat tangan untuk menyentuh keningnya, tetapi dia merasa bukan keningnya yang dia sentuh. Permukaan yang dia sentuh terasa kasar, bukan seperti kulitnya yang halus.
Risa menyentuh kepalanya dengan kedua tangan. Dia tidak merasakan apa pun selain permukaan kasar yang dia yakini sebagai perban. Bukan hanya pada keningnya, tapi perban itu membalut seluruh wajahnya.
"Ada apa dengan wajahku?!” teriak Risa dengan panik, menuntut jawaban pada pria di hadapannya itu.
"Wajahmu rusak," jawab pria itu tanpa memedulikan perasaan Risa. "Asal kamu tahu, itu bukan karena aku menabrakmu. Tubuhmu sudah diselimuti luka bahkan sebelum aku—"
"Rusak?!" Seruan Risa memotong ucapan sang pria. Napas wanita itu tercekat dan kedua tangannya mencengkeram selimut dengan erat. Dia terus menyentuh wajahnya. "Cermin." Risa berusaha untuk turun dari tempat tidur. "Aku perlu cermi—"
"Berhenti bergerak," titah pria asing itu dengan alis tertaut. Dia menahan tubuh Risa agar tidak terjatuh. "Aku akan membuka perban di wajahmu dan membawakanmu cermin, tapi tetaplah diam di sini.” Karena tidak mendapatkan jawaban, pria tersebut menekankan, "Apa kamu mengerti?"
Mendengar hal itu, Risa pun tak elak menganggukkan kepala perlahan. Dia melihat pria itu berjalan tenang untuk mengambil cermin dari salah satu sisi ruangan. Setelah dia kembali, pria itu memberikan cermin tersebut kepada Risa untuk dipegang.
Sesaat sebelum dirinya melepaskan cermin itu ke tangan Risa, pria tersebut menegaskan, "Usahakanlah untuk tetap tenang." Netra hitam miliknya menusuk raga Risa, seakan berusaha memperkuat dan mengintimidasi di saat yang bersamaan.
Risa tanpa sadar menahan napas ketika pria tersebut melepas perban yang menutupi wajahnya. Dia merasa sangat aneh, gerakan yang pria itu lakukan ketika melepas perban tidak sepenuhnya terasa olehnya. Hal ini membuat Risa sangat takut, separah apa luka yang dia alami?!
Saat pria itu selesai melepas perban, Risa merasakan tatapan pria itu begitu tenang. Hal tersebut membuatnya diselimuti harapan bahwa lukanya tidak begitu parah. Wanita itu pun mengangkat cermin di tangan dan melihat pemandangan mengerikan.
"Argh!" Risa berteriak kencang dan secara refleks melempar cermin di tangannya ke lantai, mengakibatkan benda tersebut pecah berkeping-keping. "Apa itu?! Apa yang terjadi pada wajahku!?"
Dia menunjuk pantulan wajahnya di pecahan kaca yang berserakan di lantai. "Siapa itu?!" Amarah dan kekecewaan bercampur menjadi satu di dalam dirinya, terlebih rasa enggan untuk percaya bahwa sosok dalam cermin adalah dirinya.
Walau Risa bereaksi histeris, tapi pria di hadapan tidak memberikan respons berarti. Dia menatap Risa dalam diam, seakan memberikan waktu bagi wanita itu untuk tenang dan menghadapi kenyataan.
"Aku sudah kehilangan segalanya. Anakku, suamiku, dan sekarang ...." Risa tidak mampu melanjutkan kalimatnya, air mata terus turun begitu saja membasahi pipinya. "Ya Tuhan, kenapa dunia ini begitu tega padaku?!" serunya seraya menepuk-nepuk dada.
Melihat Risa tersedu-sedu, pria asing itu terdiam, tidak mengatakan apa pun. Dirinya memang bersalah menabrak wanita tersebut, tapi sekarang dia telah menebus kesalahan itu dengan merawatnya hingga sadar. Pria itu merasa dirinya tidak memiliki kewajiban untuk menenangkan Risa, jadi dia hanya berbaik hati membiarkan wanita itu meluapkan perasaannya.
Lagi pula, masih ada hal lain yang jauh lebih penting yang perlu pria itu pikirkan.
Sembari membalik tubuh untuk meninggalkan ruangan, pria itu berkata dengan nada dingin, "Aku telah merawatmu sampai sembuh, kewajibanku sudah selesai." Sebelum menghilang ke balik pintu, pria itu berujar, "Saat kamu sudah tenang dan tahu harus melakukan apa, segera pergi dari sini."
**
Entah berapa lama Risa termenung dalam ruangan serba putih itu. Akan tetapi, emosinya sudah jauh lebih tenang sekarang. Kenyataan akan wajahnya yang rusak dan tak berbentuk memang mengejutkan, tapi dendam membara terhadap apa yang Rangga lakukan padanya memaksa Risa untuk berpikir jernih.
'Tiga bulan ... aku pasti sudah dinyatakan mati selama tiga bulan ...,' tebak Risa, paham bahwa Rangga ingin menyingkirkannya untuk menyimpan aib pembunuhan putri mereka.
"Saat kamu sudah tenang dan tahu harus melakukan apa, segera pergi dari sini. "
Ucapan sang pria asing yang memperingati Risa untuk bergegas pergi kembali menghantui. Karenanya membuat wanita itu menarik napas dalam-dalam dan menjejakkan kaki ke lantai dingin.
'Aku ... harus pergi dari sini,' batin Risa. 'Tapi, ke mana?' Saat itu juga, sebuah nama tiba-tiba melintas di pikiran Risa. 'Dia ... Dia pasti bisa membantuku.'
Tahu langkah berikutnya, Risa pun berniat meminta tolong kepada sang pria asing untuk menghubungi kenalannya. Dia melangkah dengan hati-hati menuju pintu keluar ruangan, memutar kenop, dan berujung masuk ke dalam ruangan lain bernuansa minimalis, jauh berbeda dengan ruangan bawah tanah yang lebih terkesan seperti sebuah klinik rahasia.
Pandangan Risa menyapu sekeliling, tapi tidak ada sosok sang pria asing di sana. 'Dia ... di mana?'
Tepat pada saat Risa masih mencari keberadaan pria asing itu, samar-samar telinganya menangkap suara televisi dari ruang tamu.
[Setelah berduka untuk tiga bulan lamanya akibat kematian sang istri, Rangga Wicaksana dikabarkan akan menggelar pesta pernikahan di bulan depan dengan adik iparnya sendiri. Keputusan ini diambil sebagai bentuk tanggung jawab atas pesan yang ditinggalkan Risa Saputri, istri pertama Rangga, sebelum wanita tersebut memutuskan untuk mengambil nyawanya sendiri. Kematian Risa dinyatakan oleh pihak kepolisian sebagai tindakan bunuh diri akibat kematian sang putri dan ....]
Mendengar berita tersebut, Risa mematung di tempat sembari menatap lurus televisi. Mata wanita itu memerah, tangannya mengepal kuat selagi tubuhnya bergetar.
'Bunuh diri?' Risa membatin dalam hati, memasang sebuah senyuman mengejek di wajahnya. 'Wasiat untuk menikah?' Kuku-kuku Risa menusuk daging telapaknya, sedikit dorongan lagi dan darah pasti akan mengalir keluar. 'Beraninya kalian berdua menggunakan namaku untuk menghalalkan hubungan hina kalian! Dasar baj*ngan!'
'Beraninya kalian berdua menggunakan namaku untuk menghalalkan hubungan hina kalian! Dasar baj*ngan!' Air mata terlihat menggenang di kedua pelupuk mata Risa. Amarah dan kesedihan bercampur menjadi satu di dalam diri wanita itu. Risa sudah memberikan segalanya untuk Rangga. Cinta, kehormatan, juga kasih sayangnya. Akan tetapi, pria itu malah dengan tega menghancurkan hidupnya. Jangan lupa dengan Nadia, Risa telah memberikan adik tirinya itu tempat berteduh setelah kematian ibunya. Risa menunduk, lalu tertawa pelan. "Seorang baj*ngan dan wanita murahan, kalian memang ditakdirkan bersama," makinya rendah. Terbayang bagaimana kedua orang itu tertawa bahagia atas kematiannya, Risa merasa benci. Akan tetapi, tersadar dengan posisi dan juga wajahnya yang rusak, kembali dan membereskan dua orang itu tidak akan semudah di bayangan. 'Apa yang harus kulakukan ...?' Di saat ini, pembawa berita berlanjut ke berita berikutnya. [Pradikta Januar, dokter bedah plastik yang belum lama terlibat sk
“Katakan padaku siapa kamu sebenarnya sampai berani membuat kesepakatan seperti itu?” Dikta masih mencekal pergelangan tangan Risa. Apa yang wanita di hadapannya ini ketahui? Bagaimana dia bisa seberani itu membuat kesepakatan padanya.Risa meringis menahan sakit di pergelangan tangannya. Tetapi, Risa bertahan sekuatnya hingga dokter di hadapannya ini menerima penawarannya. “Aku adalah istri dari pria yang kamu kritik.”Cengkeraman di tangan Risa mengendur. Risa tersenyum tipis, sepertinya Dikta mau menerima penawarannya. Namun, itu tidak lama. Dikta kembali mencengkeram tangannya hingga lagi-lagi membuat Risa meringis menahan sakit.“Kamu … yang diberitakan meninggal bunuh diri?”“Aku belum mati!” teriak Risa. Teringat tentang berita tadi, wasiat dan bunuh diri. Benar-benar membuat Risa marah. “Rangga membuat berita palsu dan memanfaatkan keadaanku untuk kepentingannya sendiri!”Dikta tertegun. Pria itu kemudian melepas cengkeramannya di tangan wanita yang wajahnya memang sudah
Dikta bergeming di tempat dengan jantung berdetak hebat. Selama tiga puluh detik yang dia lakukan hanya diam memandangi wajah Risa di hadapannya. Mata, hidung, juga bibir wanita itu mirip sekali dengan Aluna, gadis yang memiliki tempat spesial di hatinya sampai sekarang meskipun sudah tiada.Entah setan apa yang sudah merasuki pikirannya hingga tanpa sadar mengubah wajah Risa sama persis dengan Aluna."Ta!" panggil Zean pelan membuat Dikta tergagap. Dia menatap Dikta dengan sendu seolah-olah bertanya apakah sahabatnya itu baik-baik saja.Dikta tidak menjawab, malah keluar dari ruangan Risa begitu saja. Dia butuh udara segar untuk menghalau sesak yang tiba-tiba menyelip di dalam dadanya karena kenangan yang selama ini dia lalui bersama Aluna berbondong-bondong masuk ke dalam pikirannya setelah melihat Risa.Dikta mengempaskan diri di sofa dengan napas terengah, setitik keringat dingin keluar membasahi pelipisnya, wajahnya pun terlihat sedikit pucat. Dikta mencoba menggapai oksigen
"Kita sudah sampai, Nona." Risa segera turun ketika taksi yang ditumpanginya berhenti tepat di depan ballroom salah satu hotel paling terkenal di ibu kota. Tempat Rangga dan Nadia menggelar resepsi pernikahan mereka. Risa berjalan dengan anggun memasuki tempat acara membuat seluruh perhatian tamu undangan tertuju ke arahnya."Anda mau minum, Nona?"Risa mengambil segelas minuman berwarna merah lalu mengangguk sekilas sebagai bentuk terima kasih pada pelayan. Dia memutar-mutar gelasnya sebentar sebelum menyesap sedikit minumannya dan mengamati sekitar.Amarah dan kekecewaan terpancar jelas di mata Risa. Pesta pernikahan Rangga dan Nadia begitu mewah dibandingkan pesta pernikahannya dulu. Rangga bahkan mendatangkan seorang penyanyi asal Negri Jiran untuk memeriahkan pestanya. Risa mendengkus, penasaran. Ini semua pasti permintaan Nadia, wanita licik itu pasti selalu ingin lebih daripada siapa pun.Risa kembali menyesap minumannya. Sepasang mata bulat miliknya terus melihat Rangga d
Sudah lima menit lebih Rangga berdiri di dekat jendela, mengamati Risa yang sedang sibuk bekerja. Tubuh sekretaris barunya itu terlihat begitu sintal dengan ukuran buah dada yang tidak terlalu besar, sepertinya pas berada di dalam genggamannya. Bokong Risa begitu sekal, padat, dan berisi. Ugh, benar-benar seksi.Risa tersenyum miring, diam-diam dia tahu jika Rangga sejak tadi terus memperhatikannya. Dengan sengaja dia menaikkan sebelah kakinya, membuat paha mulusnya terlihat jelas. Setelah itu dia membuka dua kancing kemejanya paling atas seolah-olah merasa gerah.Rangga tanpa sadar menelan ludah, darah di dalam tubuhnya seketika berdesir ketika melihat paha mulus dan belahan dada Risa. Rasanya dia ingin sekali menyeret Risa ke atas ranjang lalu mengungkung tubuh wanita itu di bawah tubuhnya. Rasanya pasti sangat menyenangkan.Rangga cepat-cepat kembali ke tempat duduknya ketika melihat Risa berjalan ke ruangannya. Dia mengontrol raut wajahnya agar tetap terlihat tenang lalu berdeh
Risa menyemprotkan cairan antiseptik ke telapak tangannya setelah menyentuh Rangga, seolah-olah mantan suaminya itu adalah benda yang paling menjijikkan. Risa sebenarnya tidak sudi menggoda Rangga dengan cara seperti tadi. Namun, dia harus melakukannya agar Rangga masuk ke dalam perangkapnya.Risa kembali memasang kancing kemejanya sebelum keluar dari ruangan Rangga. Para karyawan yang berada di luar sontak menatapnya ketika dia berjalan menuju lobi utama. Mereka pasti penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi di ruangan Rangga hingga membuat Nadia mengamuk seperti orang kesetanan."Jadi ini sekretaris baru Pak Rangga?""Kok, dia bisa langsung kerja, sih?""Aku yakin banget dia pasti menggoda Pak Rangga biar bisa diterima kerja di sini. Lihat saja penampilannya!"Risa tersenyum miring ketika mendengar pembicaraan beberapa karyawan perempuan yang berdiri tidak jauh darinya. Salah satu dari mereka ada yang menatapnya dengan tajam dan penuh kebencian. Dia, Debora—seorang staf keu
"Akh!" Dikta meringis kesakitan karena punggungnya membentur dinding yang berada di belakangnya dengan cukup keras. Belum hilang rasa sakit di punggungnya sebuah bogem mentah kembali mendarat di wajahnya, membuat hidung dan sudut bibirnya mengeluarkan darah. "Berani sekali kamu menginjakkan kaki di rumahku!" Pemuda yang tubuhnya lebih besar itu kembali melayangkan pukulannya. Dia Adipati Januar, kakak tiri Dikta.Hubungan mereka tidak berjalan begitu baik, bahkan bisa dikatakan buruk karena Adi sangat membenci Dikta. Bukan tanpa alasan mengapa putra sulung Januar Adiputra itu sangat membenci Dikta sebab Dikta adalah anak yang terlahir dari selingkuhan ayahnya.Hidup Adi yang begitu sempurna seketika berubah hancur semenjak ada Dikta. Dia harus rela berbagi rumah, mainan, bahkan kasih sayang kedua orang tuanya dengan anak itu. Parahnya dia dipaksa oleh ayahnya untuk menerima Dikta sebagai adik tirinya.Semakin lama Adi merasa Dikta merebut semua hal yang dimilikinya. Merebut orang tua
"Maaf, aku sedikit terlambat. Apa kamu sudah menunggu lama?"Risa melihat benda mungil yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Dia memang sengaja datang lebih awal dari pada Rangga. "Tidak lama, baru tiga menit. Apa ada masalah, Pak?"Rangga mengangguk. Dia sempat bertengkar kecil dengan Nadia sebelum berangkat. Istrinya itu marah-marah hingga membuat telinganya pengang karena dia tidak bisa menemani pergi ke pesta pernikahan."Oh iya, jangan panggil aku bapak karena kita sedang tidak berada kantor.""Baiklah, Rangga." Risa mengangkat tangan. Tak lama seorang pelayan datang memberi buku menu pada mereka."Apa menu unggulan di restoran ini?""Steak With Mushroom Sauce yang dagingnya didatangkan langsung dari Jepang."Risa mengangguk-angguk. "Boleh juga. Apa kamu mau memesan menu ini, Rangga?"Rangga mengangguk sekilas lalu mengembalikan buku menu tersebut pada pelayan. Tidak butuh waktu lama pesanan mereka akhirnya datang. Rangga pun memotong steak-nya menjadi beberapa bag