Share

5. Berita Menyakitkan

"Kamu dan anakmu sama saja! Hanya bisa bawa sial kalau dibiarkan hidup!"

Satu makian itu membuat Risa tersentak. Napasnya terengah-engah dan penglihatannya sedikit buyar. Risa mengerjapkan kedua matanya perlahan, mencoba membiasakan diri dengan cahaya. Lama-kelamaan, pemandangan sekeliling pun berubah jelas.

Ruangan serba putih ini terasa sangat asing bagi Risa. Aroma obat-obatan pun tercium di mana-mana. Dibandingkan ruang tidur, tempat itu terlihat seperti kamar inap rumah sakit.

"Aku di mana ...?" Risa ingin bangun dan mencari tahu di mana keberadaannya sekarang. Namun, seluruh tubuhnya terasa kaku dan sakit saat digerakkan.

"Jangan banyak bergerak." Sebuah suara dalam terdengar berucap dengan nada memerintah, membuat Risa sontak menoleh.

Sosok seorang pria berkemeja putih tampak berjalan masuk melalui sebuah pintu. Rahangnya yang tegas dan alisnya yang menekuk tajam membuat pria itu tidak terlihat begitu bersahabat. Namun, raut wajah pria itu terlihat tenang selagi menghampiri dirinya, mengurangi sedikit kewaspadaan Risa.

"Siapa ...?"

Dengan alis tertaut, Risa menatap pria bertubuh jangkung yang sekarang berdiri di hadapannya. Dia tidak mampu mengingat apa yang terjadi sehingga dirinya tiba di sini.

"Siapa kamu? Di mana ini?" tanya Risa pada pria itu. Entah mengapa hati kecilnya mengatakan pria itu mengetahui alasan yang membuatnya berada di tempat ini.

“Kamu tidak ingat?”

Mendengar ucapan pria tersebut, Risa mencoba mengingat-ingat. Namun, semuanya gelap. Dia sulit mengingat apa pun dan hanya merasakan pening di kepalanya.

Pria itu menarik napas panjang sebelum bicara, "Kamu lari ke tengah jalan dan berujung tertabrak olehku." Dia melanjutkan, "Sudah tiga bulan kamu di sini."

"A-apa? Tiga bulan?" Risa terhenyak. Tiba-tiba seluruh ingatan mengerikan malam itu menerpa masuk ke dalam benaknya. Malam itu, malam yang membuatnya harus berada di tempat asing selama ini. Napas Risa menjadi pendek karena emosi menguasai tubuhnya saat ini.

"Kamu baik-baik saja?”

Apa Risa terlihat baik-baik saja saat ini? Tidak! Dia hancur. Kehidupan yang tadinya terasa indah berubah menjadi mimpi buruk yang tak akan pernah bisa dilupakan. Dan, pria di hadapannya ini bertanya apa dia baik-baik saja? Risa ingin marah.

Namun, apa salah pria ini hingga harus menerima amarahnya? Alih-alih salah, pria itu telah menyelamatkan nyawanya dan merawatnya selama tiga bulan. Seharusnya, Risa berterima kasih padanya!

“Nona.”

Panggilan tegas pria tersebut membuat Risa seketika tersadar dari lamunan.

"A-aku ...." Risa tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Dia pening, Risa mengangkat tangan untuk menyentuh keningnya, tetapi dia merasa bukan keningnya yang dia sentuh. Permukaan yang dia sentuh terasa kasar, bukan seperti kulitnya yang halus.

Risa menyentuh kepalanya dengan kedua tangan. Dia tidak merasakan apa pun selain permukaan kasar yang dia yakini sebagai perban. Bukan hanya pada keningnya, tapi perban itu membalut seluruh wajahnya.

"Ada apa dengan wajahku?!” teriak Risa dengan panik, menuntut jawaban pada pria di hadapannya itu.

"Wajahmu rusak," jawab pria itu tanpa memedulikan perasaan Risa. "Asal kamu tahu, itu bukan karena aku menabrakmu. Tubuhmu sudah diselimuti luka bahkan sebelum aku—"

"Rusak?!" Seruan Risa memotong ucapan sang pria. Napas wanita itu tercekat dan kedua tangannya mencengkeram selimut dengan erat. Dia terus menyentuh wajahnya. "Cermin." Risa berusaha untuk turun dari tempat tidur. "Aku perlu cermi—"

"Berhenti bergerak," titah pria asing itu dengan alis tertaut. Dia menahan tubuh Risa agar tidak terjatuh. "Aku akan membuka perban di wajahmu dan membawakanmu cermin, tapi tetaplah diam di sini.” Karena tidak mendapatkan jawaban, pria tersebut menekankan, "Apa kamu mengerti?"

Mendengar hal itu, Risa pun tak elak menganggukkan kepala perlahan. Dia melihat pria itu berjalan tenang untuk mengambil cermin dari salah satu sisi ruangan. Setelah dia kembali, pria itu memberikan cermin tersebut kepada Risa untuk dipegang.

Sesaat sebelum dirinya melepaskan cermin itu ke tangan Risa, pria tersebut menegaskan, "Usahakanlah untuk tetap tenang." Netra hitam miliknya menusuk raga Risa, seakan berusaha memperkuat dan mengintimidasi di saat yang bersamaan.

Risa tanpa sadar menahan napas ketika pria tersebut melepas perban yang menutupi wajahnya. Dia merasa sangat aneh, gerakan yang pria itu lakukan ketika melepas perban tidak sepenuhnya terasa olehnya. Hal ini membuat Risa sangat takut, separah apa luka yang dia alami?!

Saat pria itu selesai melepas perban, Risa merasakan tatapan pria itu begitu tenang. Hal tersebut membuatnya diselimuti harapan bahwa lukanya tidak begitu parah. Wanita itu pun mengangkat cermin di tangan dan melihat pemandangan mengerikan.

"Argh!" Risa berteriak kencang dan secara refleks melempar cermin di tangannya ke lantai, mengakibatkan benda tersebut pecah berkeping-keping. "Apa itu?! Apa yang terjadi pada wajahku!?"

Dia menunjuk pantulan wajahnya di pecahan kaca yang berserakan di lantai. "Siapa itu?!" Amarah dan kekecewaan bercampur menjadi satu di dalam dirinya, terlebih rasa enggan untuk percaya bahwa sosok dalam cermin adalah dirinya.

Walau Risa bereaksi histeris, tapi pria di hadapan tidak memberikan respons berarti. Dia menatap Risa dalam diam, seakan memberikan waktu bagi wanita itu untuk tenang dan menghadapi kenyataan.

"Aku sudah kehilangan segalanya. Anakku, suamiku, dan sekarang ...." Risa tidak mampu melanjutkan kalimatnya, air mata terus turun begitu saja membasahi pipinya. "Ya Tuhan, kenapa dunia ini begitu tega padaku?!" serunya seraya menepuk-nepuk dada.

Melihat Risa tersedu-sedu, pria asing itu terdiam, tidak mengatakan apa pun. Dirinya memang bersalah menabrak wanita tersebut, tapi sekarang dia telah menebus kesalahan itu dengan merawatnya hingga sadar. Pria itu merasa dirinya tidak memiliki kewajiban untuk menenangkan Risa, jadi dia hanya berbaik hati membiarkan wanita itu meluapkan perasaannya.

Lagi pula, masih ada hal lain yang jauh lebih penting yang perlu pria itu pikirkan.

Sembari membalik tubuh untuk meninggalkan ruangan, pria itu berkata dengan nada dingin, "Aku telah merawatmu sampai sembuh, kewajibanku sudah selesai." Sebelum menghilang ke balik pintu, pria itu berujar, "Saat kamu sudah tenang dan tahu harus melakukan apa, segera pergi dari sini."

**

Entah berapa lama Risa termenung dalam ruangan serba putih itu. Akan tetapi, emosinya sudah jauh lebih tenang sekarang. Kenyataan akan wajahnya yang rusak dan tak berbentuk memang mengejutkan, tapi dendam membara terhadap apa yang Rangga lakukan padanya memaksa Risa untuk berpikir jernih.

'Tiga bulan ... aku pasti sudah dinyatakan mati selama tiga bulan ...,' tebak Risa, paham bahwa Rangga ingin menyingkirkannya untuk menyimpan aib pembunuhan putri mereka.

"Saat kamu sudah tenang dan tahu harus melakukan apa, segera pergi dari sini. "

Ucapan sang pria asing yang memperingati Risa untuk bergegas pergi kembali menghantui. Karenanya membuat wanita itu menarik napas dalam-dalam dan menjejakkan kaki ke lantai dingin. 

'Aku ... harus pergi dari sini,' batin Risa. 'Tapi, ke mana?' Saat itu juga, sebuah nama tiba-tiba melintas di pikiran Risa. 'Dia ... Dia pasti bisa membantuku.'

Tahu langkah berikutnya, Risa pun berniat meminta tolong kepada sang pria asing untuk menghubungi kenalannya. Dia melangkah dengan hati-hati menuju pintu keluar ruangan, memutar kenop, dan berujung masuk ke dalam ruangan lain bernuansa minimalis, jauh berbeda dengan ruangan bawah tanah yang lebih terkesan seperti sebuah klinik rahasia.

Pandangan Risa menyapu sekeliling, tapi tidak ada sosok sang pria asing di sana. 'Dia ... di mana?'

Tepat pada saat Risa masih mencari keberadaan pria asing itu, samar-samar telinganya menangkap suara televisi dari ruang tamu.

[Setelah berduka untuk tiga bulan lamanya akibat kematian sang istri, Rangga Wicaksana dikabarkan akan menggelar pesta pernikahan di bulan depan dengan adik iparnya sendiri. Keputusan ini diambil sebagai bentuk tanggung jawab atas pesan yang ditinggalkan Risa Saputri, istri pertama Rangga, sebelum wanita tersebut memutuskan untuk mengambil nyawanya sendiri. Kematian Risa dinyatakan oleh pihak kepolisian sebagai tindakan bunuh diri akibat kematian sang putri dan ....]

Mendengar berita tersebut, Risa mematung di tempat sembari menatap lurus televisi. Mata wanita itu memerah, tangannya mengepal kuat selagi tubuhnya bergetar.

'Bunuh diri?' Risa membatin dalam hati, memasang sebuah senyuman mengejek di wajahnya. 'Wasiat untuk menikah?' Kuku-kuku Risa menusuk daging telapaknya, sedikit dorongan lagi dan darah pasti akan mengalir keluar. 'Beraninya kalian berdua menggunakan namaku untuk menghalalkan hubungan hina kalian! Dasar baj*ngan!'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status