"Kerja bagus. Kamu akan segera mendapatkan bayaranmu," ucap Rangga dengan wajah puas. Detik berikutnya, ekspresinya berubah tegas. "Sekarang pergi dari sana dan pastikan tidak ada orang yang melihatmu. Kalau ketahuan, nyawamu juga akan lenyap," desis Rangga terdengar penuh peringatan. Dia tidak ragu melenyapkan seseorang yang bisa merusak reputasinya sekalipun itu istri dan anaknya.
"Bagaimana, Mas? Apa berhasil?" tanya Nadia sambil memeluk Rangga dari belakang. Bibirnya yang dipoles merah merona membentuk senyuman.
Rangga menurunkan ponsel dan menyentuh lengan Nadia yang melingkar di pinggangnya. “Ya, semua sudah selesai." Pria itu membalik tubuhnya, berhadapan dengan Nadia dan juga meletakkan lengannya di pinggang wanita itu. “Tidak ada lagi yang akan menghentikan kita.”
Nadia tersenyum membalas Rangga. Dia membelai punggung pria di hadapannya, lalu mendekatkan tubuhnya pada Rangga sambil berbisik, “Dengan begini, kamu bisa nikahin aku tanpa khawatir apa pun lagi 'kan, Mas?"
"Tentu saja, Sayang," balas Rangga dengan tawa rendah. Namun, melihat senyuman Nadia begitu lebar, pancaran mata pria tersebut sedikit berubah, seperti ada kilatan berbahaya di sana. "Namun, kita harus menunggu situasi aman terlebih dahulu. Setelah itu, barulah aku menghalalkan hubungan kita." Tangan pria itu dengan sengaja meremas bokong Nadia.
Nadia tertawa kecil. "Aku akan membuatmu lebih puas lagi, Sayang.” Dia pun mengecup leher Rangga pelan. “Untuk merayakan kemenangan kita.”
Nadia membiarkan tangan Rangga menggerayangi tubuhnya. Sementara itu, dia memeluk erat pria tersebut.
Selagi kepalanya beristirahat di pundak Rangga, mata Nadia memancarkan kepuasan tiada tara, terlebih ketika dirinya mengingat akhir mengenaskan yang menimpa Risa. 'Andai aku bisa melihat sendiri bagaimana tubuhnya hancur dan nyawa hilang dari matanya,' batin wanita itu dengan keji. Dia merasa, inilah akhir yang sempurna untuk seseorang yang telah merebut segala kebahagiaan darinya.
Nadia tidak pernah suka jika Risa bahagia, memiliki segalanya, dan hidup nyaman daripada dirinya. Namun, kini Risa sudah mati dan dia bisa memiliki semua yang pernah Risa miliki dalam hidupnya. Nadia merasa hidupnya sudah sempurna.
'Berbahagialah, Mbak Risa.' Nadia berdoa dalam hati dengan wajah yang sesaat terlihat sedih. Saat dia merasakan tangan Rangga mulai menanggalkan pakaian yang melekat di tubuhnya, Nadia tertawa kecil. 'Di neraka tentunya.'
**
"Erngh ...." Risa mengerang tertahan, kepalanya terasa pening luar biasa. Darah terus menetes dari pipi dan pelipisnya yang terluka akibat terkena pecahan kaca.
Pandangan Risa mengedar, dia mendapati dirinya masih berada di dalam mobilnya yang ringsek. Seluruh tubuhnya terasa remuk dan sulit digerakkan.
Bagaimana tidak? Mobil yang dia kendarai jatuh ke dalam jurang! Sudah merupakan suatu keajaiban dia masih bertahan hidup.
Saat kesadaran Risa sepenuhnya kembali, wanita itu terhenyak melihat asap keluar dari bagian depan mobilnya. Bau bensin pun tercium sangat menyengat.
'Harus keluar ..., aku harus keluar!' batin Risa seraya berusaha menendang pintu mobilnya agar terbuka. Namun, tidak sedikit pun pintu itu bergerak. "Tolong! Tolong selamatkan aku!" Risa berteriak keras, mengabaikan rasa sakit yang menjalar pada wajahnya. Dia sungguh berharap ada orang yang datang menyelamatkannya.
Namun, suara Risa teredam hujan. Tidak lupa kenyataan tempat yang dia lalui ini sangatlah sepi.
'Ya Tuhan, apa aku akan mati seperti ini?' ucap Risa dalam hati. Sosoknya terlihat begitu putus asa ketika pandangannya mendapati kepulan asap yang keluar dari mobilnya semakin banyak.
Air mata jatuh begitu saja membasahi pipi Risa. Tidak pernah terlintas sedikit pun di benaknya bahwa kejadian seperti ini bisa menimpanya. Risa pikir hidupnya akan bahagia dan baik-baik saja setelah menikah dengan Rangga. Namun, suaminya itu malah tega membunuh buah hatinya dan berselingkuh dengan Nadia. Sekarang, Rangga bahkan ingin melenyapkannya.
Bagaimana mungkin ada manusia sekeji itu di dunia ini?!
Mendadak, satu ingatan terkait percakapan singkat beberapa waktu lalu kembali muncul di benak Risa.
"Apa kamu puas sudah menghancurkan hidup mbak, Nad?"
"Ya, aku puas sekali."
Ingatan tentang senyuman Nadia dan Rangga ketika dirinya pergi muncul dalam benak. Hal itu membuat emosi Risa kembali membara.
'Tidak! Aku tidak boleh mati seperti ini! Aku tidak rela!' teriak Risa dalam hati. Dengan sisa-sisa tenaga yang dia punya, Risa kembali menendang pintu mobilnya dengan keras.
BRUK!
"Ugh!" Risa jatuh terjerembap membuat luka di wajahnya semakin terasa perih. Namun, sedetik kemudian, ekspresinya berubah bahagia. "A-aku keluar!"
Dengan susah payah, Risa berusaha bangkit dari tanah, lalu berjalan tertatih-tatih mencoba menjauh dari mobilnya. Risa harus pergi dari sana sebelum mobil di belakangnya ...
Terlambat.
DUAR!
Ledakan besar yang memekakkan telinga terdengar, membuat Risa menutup mata dan telinga selagi menahan sakit yang luar biasa. Gelombang tekanan besar yang diakibatkan ledakan mendorong tubuh Risa sehingga wanita itu terpental beberapa meter ke depan.
"Hah ... hah ... hah ...." Napas Risa terengah, sedikit lebih pendek dibandingkan biasanya. Namun, satu hal terpenting yang dia sadari saat itu. "Aku ... hidup."
Risa merasakan tetesan air hujan menghantam wajahnya begitu keras. Air matanya yang mengalir turun dan saru dengan air hujan merupakan sebuah bentuk rasa syukurnya.
Tak lama setelah dirinya mampu merasakan kembali jari-jari tangannya, Risa sadar bahwa dia harus pergi dari sini. Orang kepercayaan Rangga bisa saja masih mencari keberadaannya untuk memastikan kematiannya.
"Sshh ...." Risa berjuang keras untuk memutar tubuhnya, lalu berdiri. Dengan langkah tertatih, dia mulai berjalan menjauhi mobilnya.
Entah berapa lama Risa berjalan melalui area tak berpenghuni yang lebih mirip disebut hutan itu. Akan tetapi, tindakannya tidak sia-sia lantaran matanya menangkap keberadaan jalan raya area itu.
Tepat saat dirinya mencapai jalan raya, Risa melihat sorot lampu mobil yang mendekat dari kejauhan. Dia pun menyeret kakinya tengah jalan untuk menghentikan mobil tersebut.
Namun, mobil hitam itu tidak mau berhenti, malah melaju semakin kencang ke arahnya. Jantung Risa berdetak cepat, sadar bahwa dirinya telah lalai.
'M-mungkinkah itu orang suruhan Rangga?!'
Sorot lampu mobil hitam itu menyerang mata Risa, membuat tubuh dan pikirannya kaku. Wanita itu tahu sebentar lagi mobil hitam itu akan menabraknya, tapi Risa tidak bisa bergerak.
BRUK!
Suara tulang yang remuk dan tubuh yang terbanting sebelum berakhir berguling beberapa kali terngiang di telinga Risa. Dirinya tidak mampu merasakan apa pun, bahkan sampai dirinya berakhir tergeletak tidak berdaya di tengah aspal.
"Ugh ... ugh ...."
Risa masih memiliki sedikit kesadaran dan telinganya berdengung kencang. Dadanya terasa sangat sesak, napasnya pun pendek. Bau darah menguar, dan Risa bisa merasakan sesuatu mengalir menuruni kepalanya.
Di sisa-sisa kesadarannya, Risa melihat seorang pria turun dari mobil tersebut lalu berjalan cepat menghampirinya. Jika pria itu adalah orang kepercayaan Rangga yang berhasil menemukannya lagi, Risa yakin hidupnya sebentar lagi akan berakhir.
'Ja-jangan bunuh aku ....' Risa hanya bisa berharap di dalam hati.
Detik berikutnya, pria itu tiba di sisi Risa. Netra obsidian menusuk milik pria asing tersebut membuat Risa terhipnotis.
"Nona, apa kamu bisa mendengar suaraku?" Suara dalam yang menenangkan itu terdengar sedikit panik. "Nona," panggilnya lagi.
Risa mencoba membuka mulutnya, ingin menjawab pertanyaan pria tersebut. Namun, pandangannya semakin lama semakin membuyar, sekujur tubuhnya pun mati rasa.
Sebelum kegelapan merenggut kesadarannya, Risa hanya berhasil mengeluarkan satu kata, "Tolong ...."
"Kamu dan anakmu sama saja! Hanya bisa bawa sial kalau dibiarkan hidup!"Satu makian itu membuat Risa tersentak. Napasnya terengah-engah dan penglihatannya sedikit buyar. Risa mengerjapkan kedua matanya perlahan, mencoba membiasakan diri dengan cahaya. Lama-kelamaan, pemandangan sekeliling pun berubah jelas.Ruangan serba putih ini terasa sangat asing bagi Risa. Aroma obat-obatan pun tercium di mana-mana. Dibandingkan ruang tidur, tempat itu terlihat seperti kamar inap rumah sakit."Aku di mana ...?" Risa ingin bangun dan mencari tahu di mana keberadaannya sekarang. Namun, seluruh tubuhnya terasa kaku dan sakit saat digerakkan. "Jangan banyak bergerak." Sebuah suara dalam terdengar berucap dengan nada memerintah, membuat Risa sontak menoleh. Sosok seorang pria berkemeja putih tampak berjalan masuk melalui sebuah pintu. Rahangnya yang tegas dan alisnya yang menekuk tajam membuat pria itu tidak terlihat begitu bersahabat. Namun, raut wajah pria itu terlihat tenang selagi menghampiri d
'Beraninya kalian berdua menggunakan namaku untuk menghalalkan hubungan hina kalian! Dasar baj*ngan!' Air mata terlihat menggenang di kedua pelupuk mata Risa. Amarah dan kesedihan bercampur menjadi satu di dalam diri wanita itu. Risa sudah memberikan segalanya untuk Rangga. Cinta, kehormatan, juga kasih sayangnya. Akan tetapi, pria itu malah dengan tega menghancurkan hidupnya. Jangan lupa dengan Nadia, Risa telah memberikan adik tirinya itu tempat berteduh setelah kematian ibunya. Risa menunduk, lalu tertawa pelan. "Seorang baj*ngan dan wanita murahan, kalian memang ditakdirkan bersama," makinya rendah. Terbayang bagaimana kedua orang itu tertawa bahagia atas kematiannya, Risa merasa benci. Akan tetapi, tersadar dengan posisi dan juga wajahnya yang rusak, kembali dan membereskan dua orang itu tidak akan semudah di bayangan. 'Apa yang harus kulakukan ...?' Di saat ini, pembawa berita berlanjut ke berita berikutnya. [Pradikta Januar, dokter bedah plastik yang belum lama terlibat sk
“Katakan padaku siapa kamu sebenarnya sampai berani membuat kesepakatan seperti itu?” Dikta masih mencekal pergelangan tangan Risa. Apa yang wanita di hadapannya ini ketahui? Bagaimana dia bisa seberani itu membuat kesepakatan padanya.Risa meringis menahan sakit di pergelangan tangannya. Tetapi, Risa bertahan sekuatnya hingga dokter di hadapannya ini menerima penawarannya. “Aku adalah istri dari pria yang kamu kritik.”Cengkeraman di tangan Risa mengendur. Risa tersenyum tipis, sepertinya Dikta mau menerima penawarannya. Namun, itu tidak lama. Dikta kembali mencengkeram tangannya hingga lagi-lagi membuat Risa meringis menahan sakit.“Kamu … yang diberitakan meninggal bunuh diri?”“Aku belum mati!” teriak Risa. Teringat tentang berita tadi, wasiat dan bunuh diri. Benar-benar membuat Risa marah. “Rangga membuat berita palsu dan memanfaatkan keadaanku untuk kepentingannya sendiri!”Dikta tertegun. Pria itu kemudian melepas cengkeramannya di tangan wanita yang wajahnya memang sudah
Dikta bergeming di tempat dengan jantung berdetak hebat. Selama tiga puluh detik yang dia lakukan hanya diam memandangi wajah Risa di hadapannya. Mata, hidung, juga bibir wanita itu mirip sekali dengan Aluna, gadis yang memiliki tempat spesial di hatinya sampai sekarang meskipun sudah tiada.Entah setan apa yang sudah merasuki pikirannya hingga tanpa sadar mengubah wajah Risa sama persis dengan Aluna."Ta!" panggil Zean pelan membuat Dikta tergagap. Dia menatap Dikta dengan sendu seolah-olah bertanya apakah sahabatnya itu baik-baik saja.Dikta tidak menjawab, malah keluar dari ruangan Risa begitu saja. Dia butuh udara segar untuk menghalau sesak yang tiba-tiba menyelip di dalam dadanya karena kenangan yang selama ini dia lalui bersama Aluna berbondong-bondong masuk ke dalam pikirannya setelah melihat Risa.Dikta mengempaskan diri di sofa dengan napas terengah, setitik keringat dingin keluar membasahi pelipisnya, wajahnya pun terlihat sedikit pucat. Dikta mencoba menggapai oksigen
"Kita sudah sampai, Nona." Risa segera turun ketika taksi yang ditumpanginya berhenti tepat di depan ballroom salah satu hotel paling terkenal di ibu kota. Tempat Rangga dan Nadia menggelar resepsi pernikahan mereka. Risa berjalan dengan anggun memasuki tempat acara membuat seluruh perhatian tamu undangan tertuju ke arahnya."Anda mau minum, Nona?"Risa mengambil segelas minuman berwarna merah lalu mengangguk sekilas sebagai bentuk terima kasih pada pelayan. Dia memutar-mutar gelasnya sebentar sebelum menyesap sedikit minumannya dan mengamati sekitar.Amarah dan kekecewaan terpancar jelas di mata Risa. Pesta pernikahan Rangga dan Nadia begitu mewah dibandingkan pesta pernikahannya dulu. Rangga bahkan mendatangkan seorang penyanyi asal Negri Jiran untuk memeriahkan pestanya. Risa mendengkus, penasaran. Ini semua pasti permintaan Nadia, wanita licik itu pasti selalu ingin lebih daripada siapa pun.Risa kembali menyesap minumannya. Sepasang mata bulat miliknya terus melihat Rangga d
Sudah lima menit lebih Rangga berdiri di dekat jendela, mengamati Risa yang sedang sibuk bekerja. Tubuh sekretaris barunya itu terlihat begitu sintal dengan ukuran buah dada yang tidak terlalu besar, sepertinya pas berada di dalam genggamannya. Bokong Risa begitu sekal, padat, dan berisi. Ugh, benar-benar seksi.Risa tersenyum miring, diam-diam dia tahu jika Rangga sejak tadi terus memperhatikannya. Dengan sengaja dia menaikkan sebelah kakinya, membuat paha mulusnya terlihat jelas. Setelah itu dia membuka dua kancing kemejanya paling atas seolah-olah merasa gerah.Rangga tanpa sadar menelan ludah, darah di dalam tubuhnya seketika berdesir ketika melihat paha mulus dan belahan dada Risa. Rasanya dia ingin sekali menyeret Risa ke atas ranjang lalu mengungkung tubuh wanita itu di bawah tubuhnya. Rasanya pasti sangat menyenangkan.Rangga cepat-cepat kembali ke tempat duduknya ketika melihat Risa berjalan ke ruangannya. Dia mengontrol raut wajahnya agar tetap terlihat tenang lalu berdeh
Risa menyemprotkan cairan antiseptik ke telapak tangannya setelah menyentuh Rangga, seolah-olah mantan suaminya itu adalah benda yang paling menjijikkan. Risa sebenarnya tidak sudi menggoda Rangga dengan cara seperti tadi. Namun, dia harus melakukannya agar Rangga masuk ke dalam perangkapnya.Risa kembali memasang kancing kemejanya sebelum keluar dari ruangan Rangga. Para karyawan yang berada di luar sontak menatapnya ketika dia berjalan menuju lobi utama. Mereka pasti penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi di ruangan Rangga hingga membuat Nadia mengamuk seperti orang kesetanan."Jadi ini sekretaris baru Pak Rangga?""Kok, dia bisa langsung kerja, sih?""Aku yakin banget dia pasti menggoda Pak Rangga biar bisa diterima kerja di sini. Lihat saja penampilannya!"Risa tersenyum miring ketika mendengar pembicaraan beberapa karyawan perempuan yang berdiri tidak jauh darinya. Salah satu dari mereka ada yang menatapnya dengan tajam dan penuh kebencian. Dia, Debora—seorang staf keu
"Akh!" Dikta meringis kesakitan karena punggungnya membentur dinding yang berada di belakangnya dengan cukup keras. Belum hilang rasa sakit di punggungnya sebuah bogem mentah kembali mendarat di wajahnya, membuat hidung dan sudut bibirnya mengeluarkan darah. "Berani sekali kamu menginjakkan kaki di rumahku!" Pemuda yang tubuhnya lebih besar itu kembali melayangkan pukulannya. Dia Adipati Januar, kakak tiri Dikta.Hubungan mereka tidak berjalan begitu baik, bahkan bisa dikatakan buruk karena Adi sangat membenci Dikta. Bukan tanpa alasan mengapa putra sulung Januar Adiputra itu sangat membenci Dikta sebab Dikta adalah anak yang terlahir dari selingkuhan ayahnya.Hidup Adi yang begitu sempurna seketika berubah hancur semenjak ada Dikta. Dia harus rela berbagi rumah, mainan, bahkan kasih sayang kedua orang tuanya dengan anak itu. Parahnya dia dipaksa oleh ayahnya untuk menerima Dikta sebagai adik tirinya.Semakin lama Adi merasa Dikta merebut semua hal yang dimilikinya. Merebut orang tua