LOGINNayla membeku. Bibirnya terbuka, tapi tidak ada kata yang keluar.Sangat memalukan.Kenapa dia bisa bertemu Simon di sini?Tiba-tiba, Amanda kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh, menjatuhkan gelas di ujung meja. Suara pecahnya memekakkan telinga."Hati-hati."Mendengar suara itu, Nayla bergegas menopang Amanda. Setelah Amanda berdiri dengan aman, dia berbalik menatap Simon. "Kalau aku bilang ini salah paham, kamu percaya nggak?""Sayang, pilih yang itu, Nomor 18 ...."Wajah Amanda memerah karena mabuk, dan dia menunjuk sembarangan ke suatu arah.Dia sepertinya bermaksud menunjuk pria pendamping tadi, tapi jarinya malah menunjuk Simon. "Angka 18 itu bagus, pertanda baik. Delapan belas tahun, delapan belas ...."Amanda menggerakkan tangannya untuk mengisyaratkan panjang.Dia benar-benar mabuk.Nayla cepat-cepat membekuk tangan wanita itu dan menggertakkan giginya. "Amanda, kamu sudah minum berapa banyak?"Austin tertawa kecil. "Nayla, ini salah paham?"Alis Simon berkerut begitu d
Akan tetapi, suara itu masih dapat terdengar dari bilik sebelahnya.Pria yang duduk di posisi utama mengenakan setelan jas mewah rancangan desainer. Wajahnya tampan dan dingin, memancarkan aura elegan dan anggun.Mendengar nama Nayla samar-samar disebut, dia tiba-tiba mengerutkan keningnya.Nayla ada di sebelah?Simon mengeluarkan ponselnya dan memeriksa pesan, tapi tidak ada pesan dari Nayla.Sejak insiden terakhir, Nayla selalu memberi kabar setiap kali pergi keluar.Gadis yang penurut."Simon, kenapa melamun? Kalau kamu nggak mau investasi di proyek ini, biar aku saja," goda Austin.Simon meliriknya dengan datar dan berkata dengan nada menusuk, "Siapa orang yang seberani itu, nggak takut rugi minta investasi darimu?"Orang-orang di meja tertawa."Sangat bijak."Mario tertawa pelan. "Bercanda itu nggak salah, tapi kenapa kamu pilih dia?"Komentar ini ditujukan kepada Austin.Austin merasa seperti ditusuk seribu anak panah, dia mencengkeram dadanya dan mengeluh, "Bukan salahku aku dit
"Sungguhan?"Mata Simon yang gelap mengandung senyum lembut. "Kalau gitu, aku harus tampil lebih baik agar beliau makin memujiku di depanmu.""Selain itu, kalau lain kali pulang harus ajak aku."Nayla tidak menyangka Simon bisa sejauh ini hanya demi tanggung jawab suami.Meski hubungan mereka tidak berlandaskan cinta, Simon tetap memperlakukan Nayla sebaik mungkin, itu sudah luar biasa.Nayla tersenyum samar. "Oke, aku bakal ajak kamu."Setelah makan, Simon mendapat telepon dan harus pergi.Sebelum keluar, seperti biasa dia memberi kabar. "Ada kerja sama proyek yang perlu dibicarakan, aku akan pulang secepatnya."Nayla tahu Simon sedang sibuk, jadi dia berkata dengan pengertian, "Aku mengerti, cepat pergilah."Simon tersenyum sambil mengusap kepala Nayla. "Pengertian banget. Aku pergi dulu."Nayla menatap Simon keluar lalu naik ke lantai atas untuk menulis naskah.Tinggal seminggu sampai akhir bulan.Penayangan drama makin dekat, juga jadwal pertemuannya dengan Pak Landa awal bulan dep
Alis Nayla mengernyit tajam, rasa muak muncul di dadanya.Seperti bayangan gelap yang tidak mau pergi.Tidak lama kemudian, Hans muncul di sisi mobil untuk mengetuk kaca. "Nayla, turun. Aku ingin bicara."Suara yang teredam itu meski samar, tetap terdengar jelas nada ketidaksenangannya.Nayla mematikan mesin dan turun.Nayla berdiri di depan Hans dengan wajah datar dan berjarak. "Kamu mau apa lagi?"Hans tersakiti oleh sikap Nayla, alisnya mengerut tajam. "Apa harus bicaramu kayak gini ke aku?""Nayla, kita bersama lima tahun. Kamu dulu begitu mencintaiku, kenapa bisa berubah secepat itu?"Lagi-lagi kalimat itu, Nayla sudah muak mendengarnya.Nayla menghela napas jengkel. "Hans, ada hal yang makin diucap makin nggak berarti."Dua tahun pertama jadian sementara bisa tidak dibahas.Tiga tahun setelahnya dia sudah cukup mengalah dan penuh pengertian.Bahkan kini Nayla cukup dewasa untuk membatalkan pertunangan demi tidak membuat Hans dan Karin serba sulit, lalu apa lagi yang masih kurang?
Kepala pelayan menuntun Nayla sampai depan ruang kerja sambil tersenyum ramah. "Masuklah, Tuan Dio ada di dalam.""Terima kasih, Om Eko."Nayla mengetuk pintu, suara berat dari dalam menjawab, "Masuk."Nayla membuka pintu dan masuk.Dia melihat Kakek Dio berdiri di depan meja sambil menulis dengan kuas tanpa menoleh.Tulisan kaligrafinya tajam dan tegas.Selama bertahun-tahun, saat senggang Kakek Dio selalu menulis kaligrafi."Menurutmu, garis tulisanku mulai kurang kuat?"Kakek Dio berhenti menulis, tidak sadar itu Nayla dan masih fokus menatap tulisan.Dia mendesah panjang. "Manusia memang harus mengakui usia. Tulang tua begini menulis pun sudah berat.""Omong kosong."Nayla menukasnya, "Kakek masih kuat. Tulisanmu tetap seperti dulu, kelas maestro."Kakek Dio terkejut lalu mendongak, begitu melihat Nayla, dia tertawa lebar."Akhirnya cucuku ini ingat pulang juga!"Dia berjalan keluar dari meja, Nayla membantu menuntunnya duduk di sofa. "Belakangan aku sibuk urusan putus tunangan. Ka
Tapi Simon tidak mengangkatnya.Dia menutup panggilan dan berniat melanjutkan apa yang tertunda.Nayla mulai kembali sadar, menarik napas cepat beberapa kali dan menahan dada Simon dengan panik.Simon mengerutkan alis, suaranya serak. "Kenapa?"Belum sempat Nayla menjawab, ponsel kembali berdering. Kali ini terdengar mendesak, sepenuhnya merusak suasana.Detik berikutnya.Tekanan tubuh Simon mengendur dari tubuh Nayla.Simon duduk untuk mengangkat telepon. Mata yang memerah menunjukkan dia menahan emosi. "Semoga ini benaran darurat."Begitu merasakan kemarahan dari seberang, Asisten Ben kaget. Kenapa Pak Simon marah sekali?Dia cepat melapor, "Pak Simon, hari ini Anda dan Nyonya di pemakaman kemungkinan dilihat oleh Tuan Muda Hans."Simon menyipitkan mata. "Kamu yakin?""Yakin. Sopir bilang melihat mobil Pak Hans. Jadi aku baru cek rekaman CCTV, dan benar mobilnya ada di lokasi."Demi memastikannya, Asisten Ben juga memeriksa CCTV area pemakaman lain, hasilnya sama.Karena dia tahu per







