Arhan mengepalkan tangannya. Tanpa sadar kakinya melangkah cepat masuk ke ruang observasi. Tatapannya langsung tajam pada Nadine yang brankarnya berada tak jauh dari pintu. Nadine yang sejak tadi menangis tersedu langsung tersentak. Gerakan kedua tangannya terhenti, seolah ketahuan sedang melakukan kejahatan. Matanya menatap Arhan, lalu melirik cepat ke arah Rafael yang terbaring lemah di ranjang sebelah. Nafas Nadine memburu, naik turun tidak teratur, seakan sulit untuk bernapas. “Mas …” suaranya nyaris tak terdengar, namun ketakutan jelas terlihat di wajahnya. Arhan tidak menjawab. Ia melangkah mendekat, pandangannya begitu tajam pada Nadine, membuat wanita itu gelagapan, bingung harus bicara apa. Rafael yang memperhatikan adegan itu pun ikut bingung. Keningnya berkerut, matanya bergantian menatap Arhan dan Nadine. Ketegangan di wajah Arhan membuat pikirannya berputar cepat. Apa mungkin … Arhan sudah tahu Nadine yang meracuni Ferika? Apa itu sebabnya ia tampak begitu marah? Nam
Alma menyipitkan mata, memperhatikan Leonard dan Septiana yang berdiri canggung di parkiran rumah sakit. Awalnya dia tidak yakin melihat dua orang yang biasa bermusuhan itu kini tampak berjalan tenang bersisian. “Wah … aku nggak nyangka ternyata kalian berdua sering jalan bareng, ya,” ucap Alma dengan senyum penuh arti. Nada suaranya terdengar menggoda, tapi sorot matanya menunjukkan sangat penansaran. Septiana spontan membuang muka, pura-pura sibuk merapikan tasnya. “Nggak, kok. Kamu salah paham. Aku cuma … kebetulan aja satu arah sama dia.” “Tapi kenapa wajahmu merah?” Alma memandang Septiana dengan senyum menggoda. Felix yang berdiri di samping Alma mengangkat alis, ikut tersenyum, seolah ikut menikmati moment langka itu. Leonard berdeham keras, mencoba menjaga wibawa. “Ehm ..., jangan asal menuduh. Aku sama Septiana itu … ya, sering beda pendapat, sering debat. Jadi kalaupun terlihat bareng, itu cuma kebetulan.” Alma menyilangkan tangan di dada, menyeringai. “Justru karena se
Ruangan UGD yang tadi ramai mendadak sunyi saat Alma masuk. Tatapannya dingin, penuh wibawa, membuat para perawat yang sebelumnya sibuk berbisik segera terdiam. Satu per satu mereka saling pandang, lalu mundur perlahan keluar ruangan. Mereka tahu, di hadapan mereka kini berdiri dua kakak beradik—yang hubungannya sudah lama retak. Kini, lebih baik mereka memberi kesempatan untuk keduanya bicara. Nadine masih terbaring lemah di ranjang, wajahnya pucat pasi, mata sembab penuh air mata. Ia menoleh, seakan tak percaya melihat Alma berdiri dia sana. “Kak …” suaranya bergetar, parau, namun wajahnya menaruh harapan penuh pada Alma. Alma menatapnya datar, tanpa sedikit pun menampakkan rasa simpati. "Aku tau, Kamu tau persis apa yang terjadi pada Rafael,” ucapnya pelan, tapi tegas. “Dan aku rasa … kita perlu bicara.” Nadine buru-buru meraih tangan Alma, meski tubuhnya gemetar. “Kak, tolong dengar aku. Aku … aku keguguran kak. Kakak nggak tahu bagaimana rasanya. Aku kehilangan anakku, Kak! Ba
Pintu toilet baru saja terbuka ketika Suster Nisa masuk dengan langkah terburu-buru. Namun seketika ia menahan napas, tubuhnya tegang melihat pemandangan di hadapannya. “Nadine? Astaga!” serunya spontan. Di lantai, Nadine terduduk dengan wajah pucat pasi. Darah mengalir deras di bagian bawah tubuhnya, membasahi pakaian dan lantai keramik. Nadine tampak bergetar, tangannya menekan perut, air mata bercucuran tanpa kendali. “Te-tolong … aku … sakit …” suaranya lirih, nyaris tak terdengar. Jeritan Suster Nisa segera mengundang perhatian. Dalam hitungan detik, beberapa perawat lain berlari masuk. “Cepat, ambil brankar! Bawa ke UGD!” teriak Nisa panik. Tak lama, dua petugas datang dengan brankar. Dengan hati-hati mereka mengangkat tubuh Nadine yang lunglai, darah masih menetes sepanjang jalan menuju UGD. Aroma antiseptik bercampur bau besi dari darah membuat udara ruangan mendadak menyengat. Sampai di UGD, tim medis langsung sigap. Dokter jaga, seorang pria paruh baya, memeriksa
Malam tanpa tidur bagi Alma meninggalkan jejak lelah pada wajahnya. Lingkaran hitam mulai tampak di bawah mata, namun pikirannya tetap menolak untuk tenang. Bayangan video dari Rafael terus menghantuinya, juga keresahan tentang langkah apa yang harus mereka ambil selanjutnya. Begitu jarum jam menunjukkan pukul tujuh pagi, Alma akhirnya tak tahan lagi. Ia meraih ponsel, menekan nomor Rafael. “Rafael, apa rencanamu selanjutnya?” suara Alma terdengar datar, tapi ada nada tegas di dalamnya. Di seberang, terdengar suara Rafael sedikit serak, seolah ia juga tak banyak tidur. “Maaf, Dokter Alma. Saya tahu Nadine itu adik dokter, tapi saya tetap akan melaporkan ke pihak rumah sakit. Apalagi … Nadine sendiri katanya mau menyerahkan diri ke rumah sakit pagi ini.” Alma spontan mengernyit. “Menyerahkan diri?” tanyanya, nadanya penuh curiga. “Iya. Dia datang ke kontrakan saya lima belas menit yang lalu. Membawa makanan, minta maaf, dan bilang akan berubah. Dia janji akan menyerahkan diri. Kat
Malam itu, setelah seluruh pelayat satu per satu berpamitan, rumah keluarga Arhan perlahan kembali hening. Hanya terdengar sesekali isak kecil dari beberapa kerabat yang masih duduk di ruang tengah. Alma berdiri di dekat pintu, lalu menyampaikan alasan pada salah satu bibi Arhan. “Aku harus kembali ke apartemen, ada persiapan operasi besok pagi,” ucap Alma datar, tanpa ekspresi. Para family yang mendengar hanya mengangguk tanpa bertanya lebih jauh. Padahal sesungguhnya, ia tidak mungkin bisa tidur malam itu. Bukan karena duka atas kepergian Bu Ferika, melainkan karena isi rekaman video yang dikirim Rafael masih berputar jelas di kepalanya. Ia melangkah keluar dari rumah itu dengan dada sesak. Dalam hati ia bertanya, sejak kapan Nadine bisa sejauh ini? Nadine memang adiknya, meski hanya adik tiri. Sejak kecil Alma tidak pernah mengurangi kasih sayang, Nadine tetap adik yang ia jaga dan ia sayangi. Namun kini, rasa itu seakan lenyap. Pupus. Nadine di matanya sudah bukan lagi seoran