“Nggak jarang loh Mbak zaman sekarang kakak sama adik ipar selingkuh, apalagi kalau dua-duanya satu profesi.”
Kalimat dari para ibu tetangga tadi terngiang di benak Alma, membuat dirinya yang sedang berjalan pulang usai belanja keperluan rumah dari supermarket menghela napas berat. Ia tidak tahu cara terbaik untuk menanggapi hal ini. “Mas Arhan sama adik Mbak Alma itu kayaknya hampir tiap hari Sabtu deh pergi ke mal sebelah situ.” Mungkinkah itu benar? Atau sebenarnya Bu Retno dan yang lain salah lihat? Haruskah Alma bertanya? Tapi dengan sifat Arhan, yang ada pria itu pasti akan tersinggung dan menegur Alma yang mulai berubah seperti ibu-ibu rumah tangga pada umumnya, penuh prasangka dan tidak logis. Kening Alma berkerut erat, mulai meyakini kalau para ibu tetangga hanya salah lihat. Lagi pula, baik Arhan maupun Nadine selalu mengatakan kalau mereka sibuk di rumah sakit, sehingga sering pulang terlambat. Jadi, harusnya mereka tidak punya waktu untuk jalan-jalan di mal, apalagi jalan berdua … benar, ‘kan? Diselimuti keraguan, Alma mendadak mengingat pesan mendiang ibunya. “Alma … Ibu titip Nadine … tolong kamu jaga adikmu untuk Ibu, Nak ….” Hal itu membuat ingatan lama kembali menyeruak dalam pikiran Alma. Tepat dua setengah tahun lalu, ibu Alma meninggal karena penyakit jantung. Di saat itu, Nadine, adik satu-satunya Alma yang berusia 21 tahun, masih menjalankan kuliah semester terakhirnya sebagai perawat. Sebelum meninggal, ibu Alma terus memikirkan tentang putri keduanya yang akan tinggal sendiri kalau dirinya tiada. Alhasil, dia pun mewasiatkan kepada Alma agar menjaga dan membawa adiknya tersebut tinggal bersama. Awalnya, Alma khawatir Arhan akan terganggu. Namun, untungnya Arhan tidak keberatan. Bahkan, jalan enam bulan tinggal serumah, dan Nadine lulus sebagai perawat, hubungan keduanya menjadi lebih baik. Bahkan, Arhan membantu Nadine mendapatkan pekerjaan di rumah sakit tempatnya bekerja—sesuatu yang sangat Alma syukuri. Hanya saja, sekarang Alma mulai merasa … keduanya terlewat dekat. Bukan hanya berangkat dan pulang kerja bersama, tapi tidak jarang juga Arhan secara gamblang menyatakan lebih senang berbincang dengan Nadine karena sepemikiran dan seprofesi. “Kamu nggak update tentang dunia medis, jadi malas bicara sama kamu. Coba kamu seperti Nadine, ‘kan enak.” Kurang lebih begitu tanggapan Arhan setiap kali berbicara dengan Alma. Padahal, jelas-jelas pria itu dan ibunya sendiri yang menyuruh Alma untuk berhenti bekerja agar bisa fokus hamil. Sekarang, kenapa Arhan malah seperti tidak bersedia menerima Alma karena sedikit kekurangannya? Memikirkan Arhan dan Nadine, Alma jadi tak elak membatin, ‘Apa jangan-jangan omongan Bu Retno dan ibu-ibu lain tadi—’ Sadar pikirannya mulai ke mana-mana lagi, Alma menepuk-nepuk dada. ‘Istighfar Alma. Nggak baik suudzon. Suami dan adik lagi menitih karir kok malah dicurigai!’ Ia menegur diri sendiri, sebelum kemudian lanjut fokus pada perjalanan pulang ke rumah. Setelah berjalan cukup jauh dan tiba di area lahan kosong dekat rumahnya, Alma melihat keberadaan mobil yang menarik perhatiannya. “Bukannya itu mobil Mas Arhan?” gumam Alma pada dirinya sendiri. Tapi mana mungkin? Bukannya suaminya tadi bilang baru bisa pulang malam? Masih agak ragu, Alma pun melirik plat nomor mobil tersebut. Loh, memang mobil Mas Arhan! Mungkin, jadwal suaminya mendadak berubah! Tanpa berpikir panjang, Alma pun buru-buru menghampiri mobil tersebut dan mengetuk kaca jendela di samping pengemudi. “Mas?” panggil Alma sembari mengetuk. Hening. Alma mengernyit. Apa mobilnya kosong? Tapi mesinnya menyala. Tidak mungkin suaminya meninggalkan mobil mereka dalam keadaan seperti ini. Apalagi, samar-sama Alma bisa mendengar suara musik dari dalam sana. “Mas?” panggil Alma lagi. Ia mengetuk kaca mobil lebih keras. Ia berusaha mengintip dari kaca gelap mobil, tapi tidak bisa melihat apa-apa di dalam sana. Namun, untungnya, tidak berapa lama, kaca jendela di hadapan Alma diturunkan. “Al, kenapa di sini?” Arhan, sang suami, langsung bertanya. Saat Alma melihat sang suami, dia sedikit tertegun. Kenapa penampilan suaminya yang selalu rapi malah berantakan dan berkeringat begitu? Mendadak, ujung mata Alma melihat pergerakan di mobil bagian belakang. Dan saat menangkap pemandangan di sana, dia terbelalak.Alma dan Felix serempak menoleh ke arah suara yang memanggil mereka. Seorang pria paruh baya dengan jas dokter berwarna putih mendekat dengan senyum ramah. Rambutnya sudah mulai memutih di sisi pelipis, namun tatapan matanya tajam dan berwibawa. “Dokter Alma, akhirnya saya bisa bertemu langsung dengan dokter yang selama ini sering dibicarakan di kalangan medis,” ucapnya dengan nada hangat. Felix segera tersenyum dan memperkenalkan. “Alma, ini Dokter Frans, dokter senior di Majestic Hospital. Beliau sudah lama menjadi konsultan di bidang onkologi dan juga anggota dewan kehormatan rumah sakit ini.” “Senang sekali bisa bertemu, Dokter Frans,” sahut Alma sopan, menyalami tangan pria itu. Frans terkekeh. “Ah, saya yang lebih senang, Dokter Alma. Siapa, sih, yang tidak kenal dengan Anda? Dokter muda berbakat yang berhasil menyelamatkan nyawa banyak pasien di RS Annisa. Kalau Dokter Alma bisa praktek di Majestic Hospital, saya yakin pasien akan berbondong-bondong datang ke sini. Nama Maj
Sore itu, ruang kerja Vico dipenuhi aroma kopi yang baru saja diseduh oleh Felice. Meja besar di tengah ruangan dipenuhi berkas-berkas tender dan laporan hasil kerja. Di salah satu sisi ruangan, Leonard berdiri bersandar pada dinding, tangan dimasukkan ke saku celana, sementara Vico duduk di kursinya dengan wajah serius. “Leonard, ayah butuh bantuanmu,” ujar Vico membuka pembicaraan, suaranya terdengar tegas. Leonard mengangkat alis. “Bantu apa, Yah?” Vico menatap Leonard lurus-lurus. “Ayah ingin kamu undang Alma makan malam. Ayah ingin mengenalnya lebih dekat. Lagipula, ayah rasa dia cocok untukmu.” Leonard memutar pandangannya, menatap ke luar jendela beberapa detik sebelum berbalik kembali. “Maksud Ayah?” Vico menghela napas. “Kau tahu kan, Alma yang menyelamatkan perusahaan kita. Ayah ingin membalas budi. Dan ayah pikir, kalau kau bisa bersama dengan Alma … hubungan bisnis kita akan semakin kuat. Sekaligus ayah tahu, Alma perempuan luar biasa. Ayah tidak ingin dia jat
Alma turun dari panggung matanya masih memandang ke arah hadirin yang masih berdiri. MC akhirnya menutup acaraa “Bapak-Ibu yang kami hormati, silakan menikmati hidangan yang telah disediakan di ruang prasmanan.” Suara obrolan di antara para pengusaha masih terdengar, deru langkah kaki melintas di aula. Para pengusaha dan hadirin mulai bergerak ke arah Alma, tersenyum dan menyapa. Beberapa orang berjabat tangan dengannya, mengucapkan selamat dan ingin berbincang lebih dekat. Alma pun menjawab dengan ramah, dengan senyum hangat ia bicara dengan sopan, sesekali menganngguk ramah. Ia tetap menjaga wibawa, tak terlalu melepas jarak, namun cukup dekat agar mereka merasa terhormat. Di kursinya, Vico dan Hilmawan masih terpaku. Vico mematung, bibirnya gemetar, matanya memandang ke panggung kosong yang baru saja ditinggalkan Alma. Hilmawan menoleh, lalu menunduk. Keduanya belum bergerak, seperti kaku di tempat masing-masing. Tak lama kemudian, Alma melirik jam tangannya, wajahnya seketik
Lampu sorot berhenti pada sosok yang duduk di deretan tengah, agak ke belakang. Sejenak, semua orang menahan napas. Kursi-kursi berderit pelan saat kepala para tamu serentak menoleh. Wajah-wajah tegang, dahi berkerut, bahkan beberapa mulut terbuka lebar, tak percaya pada apa yang baru mereka saksikan. Sinar lampu jatuh tepat pada Alma Azzahra, duduk tenang dengan balutan dress hitam elegan dan blazer putih. “Tidak …” bisik Vico dengan suara tercekat. Tangannya meremas lutut, keringat dingin mulai membasahi pelipis. “Tidak mungkin perempuan itu … lampu itu pasti salah.” Ia menelan ludah dengan susah payah, tetapi sorot lampu tak bergeser sedikit pun. Jantungnya berdebar tak beraturan, seakan mau meloncat keluar dari tempatnya. Hilmawan, yang duduk tak jauh dari sana, ikut ternganga. Matanya melebar, tubuhnya sedikit condong ke depan. Sejak awal ia memang sempat curiga Alma punya kaitan dengan PT Angkasa, tapi cara bicara Alma yang selalu merendah membuatnya menepis dugaan itu. Kini,
Semua orang di dalam aula menahan napas. Tatapan penuh harap mengarah ke MC yang berdiri tegak di atas panggung dengan map hitamnya. Ia kembali membuka lembaran catatan, sementara suasana mendadak hening. “Lima perusahaan yang berhasil memenangkan tender ini adalah…” suaranya lantang namun penuh jeda, membuat detik-detik itu terasa semakin tegang. “Pertama, PT Gelora Mandiri milik Bapak Vico Mahesa.” Seketika, senyum lebar merekah di wajah Vico. Dagu terangkat, tatapannya berkilat penuh kemenangan. Ia menoleh ke arah Alma, menunjukkan senyum penuh kesombongan seakan ingin berkata, lihat sendiri kan, aku memang layak bersaing di sini. “Yang kedua, PT Sejati Abadi milik Bapak Hilmawan.” Hilmawan tersenyum percaya diri. Tangannya bersedekap, ekspresi puas jelas terpancar di wajahnya. Ia bahkan sempat melirik Alma, seolah menegaskan bahwa semua ucapannya tadi bukan sekadar kesombongan belaka. Tiga nama perusahaan lain pun diumumkan, dan suasana semakin riuh. Para hadirin bertepuk ta
Felix masih duduk di balik kemudi, kedua tangannya masih menggenggam setir. Matanya kosong menatap kaca depan, tapi pikirannya tertuju pada satu hal. Jawaban Alma tadi terngiang-ngiang di telinganya. “Itu Riko, asistenku. Dia mengantar berkas penting yang harus aku tanda tangani.” Asisten? Berkas? Kenapa Alma harus punya asisten? Bukankah ia seorang dokter? Dokter spesialis bedah saraf, tepatnya. Rasanya tidak masuk akal seorang dokter punya “asisten” yang bertugas mengantar berkas malam-malam. Dan Alma sama sekali tidak terlihat seperti ingin menjelaskan lebih jauh. Felix mengembuskan napas panjang, menyandarkan punggung ke jok. Rasa cemburu yang sejak tadi bergejolak kini berubah jadi sesal. Seharusnya ia tidak menekan Alma dengan pertanyaan-pertanyaan penuh curiga. Seharusnya ia menahan diri. “Mungkin Alma punya alasan. Mungkin aku harus sabar menunggu dia cerita sendiri,” gumamnya lirih. Jam tangannya menunjukkan pukul delapan kurang lima belas. Ia tidak ada rapat pagi ini, h