Home / Romansa / Pelakor itu Adikku / Bab 2. Pesan Mendiang Ibu

Share

Bab 2. Pesan Mendiang Ibu

Author: Rina Novita
last update Last Updated: 2025-01-07 08:14:14

“Nggak jarang loh Mbak zaman sekarang kakak sama adik ipar selingkuh, apalagi kalau dua-duanya satu profesi.”

Kalimat dari para ibu tetangga tadi terngiang di benak Alma, membuat dirinya yang sedang berjalan pulang usai belanja keperluan rumah dari supermarket menghela napas berat.

Ia tidak tahu cara terbaik untuk menanggapi hal ini.

“Mas Arhan sama adik Mbak Alma itu kayaknya hampir tiap hari Sabtu deh pergi ke mal sebelah situ.”

Mungkinkah itu benar? Atau sebenarnya Bu Retno dan yang lain salah lihat? Haruskah Alma bertanya? Tapi dengan sifat Arhan, yang ada pria itu pasti akan tersinggung dan menegur Alma yang mulai berubah seperti ibu-ibu rumah tangga pada umumnya, penuh prasangka dan tidak logis.

Kening Alma berkerut erat, mulai meyakini kalau para ibu tetangga hanya salah lihat.

Lagi pula, baik Arhan maupun Nadine selalu mengatakan kalau mereka sibuk di rumah sakit, sehingga sering pulang terlambat. Jadi, harusnya mereka tidak punya waktu untuk jalan-jalan di mal, apalagi jalan berdua … benar, ‘kan?

Diselimuti keraguan, Alma mendadak mengingat pesan mendiang ibunya.

“Alma … Ibu titip Nadine … tolong kamu jaga adikmu untuk Ibu, Nak ….”

Hal itu membuat ingatan lama kembali menyeruak dalam pikiran Alma.

Tepat dua setengah tahun lalu, ibu Alma meninggal karena penyakit jantung. Di saat itu, Nadine, adik satu-satunya Alma yang berusia 21 tahun, masih menjalankan kuliah semester terakhirnya sebagai perawat.

Sebelum meninggal, ibu Alma terus memikirkan tentang putri keduanya yang akan tinggal sendiri kalau dirinya tiada. Alhasil, dia pun mewasiatkan kepada Alma agar menjaga dan membawa adiknya tersebut tinggal bersama.

Awalnya, Alma khawatir Arhan akan terganggu. Namun, untungnya Arhan tidak keberatan. Bahkan, jalan enam bulan tinggal serumah, dan Nadine lulus sebagai perawat, hubungan keduanya menjadi lebih baik. Bahkan, Arhan membantu Nadine mendapatkan pekerjaan di rumah sakit tempatnya bekerja—sesuatu yang sangat Alma syukuri.

Hanya saja, sekarang Alma mulai merasa … keduanya terlewat dekat.

Bukan hanya berangkat dan pulang kerja bersama, tapi tidak jarang juga Arhan secara gamblang menyatakan lebih senang berbincang dengan Nadine karena sepemikiran dan seprofesi.

“Kamu nggak update tentang dunia medis, jadi malas bicara sama kamu. Coba kamu seperti Nadine, ‘kan enak.”

Kurang lebih begitu tanggapan Arhan setiap kali berbicara dengan Alma.

Padahal, jelas-jelas pria itu dan ibunya sendiri yang menyuruh Alma untuk berhenti bekerja agar bisa fokus hamil. Sekarang, kenapa Arhan malah seperti tidak bersedia menerima Alma karena sedikit kekurangannya?

Memikirkan Arhan dan Nadine, Alma jadi tak elak membatin, ‘Apa jangan-jangan omongan Bu Retno dan ibu-ibu lain tadi—’

Sadar pikirannya mulai ke mana-mana lagi, Alma menepuk-nepuk dada.

‘Istighfar Alma. Nggak baik suudzon. Suami dan adik lagi menitih karir kok malah dicurigai!’

Ia menegur diri sendiri, sebelum kemudian lanjut fokus pada perjalanan pulang ke rumah.

Setelah berjalan cukup jauh dan tiba di area lahan kosong dekat rumahnya, Alma melihat keberadaan mobil yang menarik perhatiannya.

“Bukannya itu mobil Mas Arhan?” gumam Alma pada dirinya sendiri.

Tapi mana mungkin? Bukannya suaminya tadi bilang baru bisa pulang malam?

Masih agak ragu, Alma pun melirik plat nomor mobil tersebut.

Loh, memang mobil Mas Arhan!

Mungkin, jadwal suaminya mendadak berubah!

Tanpa berpikir panjang, Alma pun buru-buru menghampiri mobil tersebut dan mengetuk kaca jendela di samping pengemudi.

“Mas?” panggil Alma sembari mengetuk.

Hening.

Alma mengernyit. Apa mobilnya kosong?

Tapi mesinnya menyala. Tidak mungkin suaminya meninggalkan mobil mereka dalam keadaan seperti ini. Apalagi, samar-sama Alma bisa mendengar suara musik dari dalam sana.

“Mas?” panggil Alma lagi. Ia mengetuk kaca mobil lebih keras. Ia berusaha mengintip dari kaca gelap mobil, tapi tidak bisa melihat apa-apa di dalam sana.

Namun, untungnya, tidak berapa lama, kaca jendela di hadapan Alma diturunkan.

“Al, kenapa di sini?” Arhan, sang suami, langsung bertanya.

Saat Alma melihat sang suami, dia sedikit tertegun. Kenapa penampilan suaminya yang selalu rapi malah berantakan dan berkeringat begitu?

Mendadak, ujung mata Alma melihat pergerakan di mobil bagian belakang. Dan saat menangkap pemandangan di sana, dia terbelalak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelakor itu Adikku   Bab 80. Masih Suami Istri

    “Diam deh! Jangan mulai!” bisik Arhan tajam, menahan nada bentakannya agar tak menarik perhatian sekitar. Tatapannya tajam pada Ernest, yang jelas sedang menikmati momen menyindirnya. Hanya Ernest yang tau semua masalah yang Arhan hadapi saat ini. Sejak awal hanya teman satu kampusnya itu yang tau hubungannya dengan Nadine dan tau bahwa Alma adalah istri Arhan. Ernest tertawa pelan, seperti biasa tak gentar. “Santai, Bro. Aku cuma tanya, itu tadi di lobby—” “Udah," sanggah Arhan geram, matanya masih tertuju pada punggung Alma yang menjauh bersama pria lain. Pria yang baru muncul, tapi dengan mudah akrab dengan Alma. Leonard, ucapnya dalam hati dengan getir. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia melangkah cepat keluar dari lobby menuju café di samping rumah sakit. Ernest menyusul, duduk di kursi seberang dengan santai. Ia geleng-geleng kepala melihat wajah Arhan penuh bara. “Dari pada kamu naik darah terus, mending mikir deh jalan keluarnya. Nggak bisa terus-terusan begini, Han,” kata Er

  • Pelakor itu Adikku   Bab 79. Diskusi Para Senior

    Alma terduduk lemas di kursinya. Telapak tangannya menekan pelipis, napasnya berat dan panjang. Sejak tadi ia mencoba tetap tenang menghadapi ledakan emosi Arhan yang membabi buta, tapi tetap saja tubuhnya terasa gemetar setelah semua itu. Jika saja Felix tak datang tepat waktu, ia tak yakin bisa tetap sekuat tadi. “Alma!” suara Septiana membuat Alma menoleh kaget. Perempuan itu masuk terburu-buru, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. “Aku baru dengar dari perawat di depan. Arhan tadi marah-marah di sini?” tanya Septiana sambil memeluk Alma sekilas. Alma mengangguk pelan. “Aku baik-baik saja. Cuma ... ya, kamu tahu sendiri gimana emosinya Arhan.” Felix berdiri tak jauh dari meja Alma. “Untung aku datang,” katanya sambil melipat tangan di dada. “Aku nggak akan biarin dia mempermalukanmu di tempat kerja seperti ini.” “Kalau bukan karena kamu, mungkin aku udah balas dia dengan nada tinggi juga,” ucap Alma jujur. “Terima kasih, Felix.” Septiana melirik mereka bergantian, lalu menyeringai

  • Pelakor itu Adikku   Bab 78. Dipindahkan ke Bangsal Kelas Tiga

    “Apa ini soal tadi di bangsal kelas?” tanya Arhan cepat, sesaat setelah perawat muda itu mengatakan Prof. Mahendra memanggilnya. Perawat tersebut mengangguk. “Sepertinya iya, Dok. Saya dengar beliau sudah tahu kejadian barusan.” Arhan menghembuskan napas panjang. “Masalah datang terus tanpa henti,” gumamnya pelan, lebih ke dirinya sendiri. Kepalanya sedikit menunduk, lalu mendongak lagi dengan rahang mengeras. “Siapa yang bikin jadwal baru itu? Kenapa tiba-tiba aku dipindahkan ke bangsal kelas 3 tanpa pemberitahuan?” Nada suaranya meninggi. “Saya nggak tahu detailnya, Dok. Tapi dari yang saya dengar di ruang perawat, perombakan itu dari Dokter Alma. Ada sistem baru katanya.” Arhan mengernyit. “Alma?” “Ya. Katanya beliau mau ada pemerataan tugas dokter. Semua dapat giliran, termasuk dokter spesialis senior.” Dada Arhan mendadak terasa panas. Seolah ada bara yang ditumpuk di dalamnya. Ia mengepalkan tangannya. “Dia sengaja … Pasti dia sengaja mau permalukan aku!” “Dok, maaf, say

  • Pelakor itu Adikku   Bab 77. Dipermalukan di Depan Pasien

    Nadine berdiri terpaku. Ucapan Arhan barusan benar-benar mengguncang batinnya. “Memangnya apa yang akan Mas lakukan? Mas tega?” Nadine berseru lirih. “Ini darah daging Mas sendiri …” Arhan menyeringai tipis. Dalam hatinya ia masih ragu kalau itu anaknya. Tapi, anak siapapun itu, jika semua orang tahu kehamilan Nadine, pasti dirinya akan kena tuduh, karena rumor kedekatannya dengan Nadine telah menyebar. Jadi, sebenarnya dia memang tidak peduli itu anak siapa. "Kalau kamu masih maksa pertahankan bayi itu, kamu sendiri yang akan rugi. Lihat dirimu sekarang, Nadine. Sudah jadi bahan gunjingan satu rumah sakit. Sekarang hamil di luar nikah. Mau nambah malu lagi?” Nadine menunduk. Ia memasang wajah sesedih mungkin. Berharap Arhan akan menaruh iba padanya. “Aku ... aku nggak tahu harus bagaimana, Mas ....” “Pokoknya gugurkan. Aku nggak akan ikut bertanggung jawab!” tegas Arhan. Suaranya seperti vonis yang tak bisa diganggu gugat. Dengan tangan mengepal di samping tubuhnya, Nadine akh

  • Pelakor itu Adikku   Bab 76. Nadine dan Laporan Pasien

    "Kak Alma ... tolong aku ... Aku nggak tahu harus gimana ..." Alma masih berdiri di balik meja kerjanya, ekspresinya tetap tenang seperti biasa. Namun, pandangannya menajam saat melihat Nadine berdiri di ambang pintu dengan wajah kacau, rambut sedikit berantakan, dan mata sembab seolah baru saja menangis lama. "Masuklah kalau mau bicara," ucap Alma datar, lalu kembali duduk dan membuka map yang tadi sempat ia tutup. Nadine masuk perlahan, lalu duduk di kursi seberang meja Alma. Wajahnya sedih, matanya berkaca-kaca. "Aku ... aku akan disidang sama badan pengawas rumah sakit, Kak. Aku takut ... Semua laporan itu, aku ... aku nggak tahu harus jawab apa. Pasien, perawat ... semuanya kayak nyalahin aku." Alma menatap Nadine lama. Ia tidak langsung menjawab. Hening beberapa detik, hingga akhirnya Alma berkata pelan tapi tajam, "Lalu apa yang kamu harapkan dariku?" "Aku minta tolong, Kak. Tolong bantu aku. Kakak kan punya pengaruh sekarang. Punya reputasi. Orang-orang akan dengar apa

  • Pelakor itu Adikku   Bab 75. Makin Bersinar

    “Saya … saya hanya mengikuti saran istri saya waktu itu,” jawab Arhan gugup. Suaranya nyaris tak terdengar, membuat beberapa kepala mendekat sedikit seolah ingin memastikan tak salah dengar. Orang-orang di ruangan itu memandang Arhan dengan kening berkerut. Tak ada satu pun rekan sejawatnya yang puas dengan jawaban itu. Jawaban yang terlalu dipaksakan. Dokter Adrian menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuh ke kursinya. “Saya pikir … ada hal lain yang disembunyikan,” gumamnya pelan namun cukup membuat Arhan menelan ludah. Tatapannya langsung mengarah ke Arhan. Arhan terdiam, membeku di tempat duduknya. Sekilas ia melirik Alma yang duduk tenang di sisi ruangan, tanpa sedikit pun memperlihatkan ketegangan. Tiba-tiba, pintu ruang konferensi terbuka. Tiga orang masuk hampir bersamaan. Semua langsung berdiri. “Selamat pagi,” ucap Prof. Mahendra sambil tersenyum ramah. Di sampingnya, berdiri Prof. Baskara dengan wajah cukup serius, dan seorang pria muda dan tampan memakai j

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status