“Nadine! Bajumu kok begitu!?” seru Alma saat melihat seragam sang adik juga berantakan. Bahkan, dua kancing baju teratasnya juga tidak dikancingkan, sampai sedikit memperlihatkan sedikit sembulan dadanya!
Mereka tidak mungkin— “AC-nya bermasalah, Kak! Panas banget deh suer!” seru Nadine, memotong dugaan Alma. Alma yang mendengar itu mengerjapkan mata. “Rusak?” ulangnya, lalu agak mencondongkan sedikit kepalanya ke dalam mobil melalui jendela. Memang … agak panas, tapi seharusnya tidak sepanas itu sampai Arhan dan Nadine mandi keringat seperti sekarang. Sebelum Alma bisa mengatakan apa pun, Arhan menimpali, “Iya, rusak. Makanya aku berhenti di sini untuk betulin. Baru aja belum lama masuk lagi buat ngecek udah bener atau belum. Rasanya sih udah ….” Mendengar itu, Alma hanya mengangguk-angguk. Toh, dirinya tidak begitu paham otomotif. Cepat, Alma melirik Nadine. “Kancingin bajumu. Nggak baik begitu di depan orang.” Ditegur, Nadine mengerucutkan bibir. “Kan cuma Mas Arhan….” “Mas Arhan itu suami Mbak, dan Mbak nggak suka kamu begitu di depan suami Mbak,” tegas Alma, entah kenapa sedikit emosi. “Alma,” tegur Arhan dengan alis tertaut. “Jangan keras gitu sama adik kamu. Kamu ‘kan juga tahu sendiri aku juga jaga pandangan. Kamu masih nggak percaya sama aku?” Ditanya seperti itu, Alma mengalihkan pandangan kepada suaminya. “Mas, bukan aku nggak percaya sama kamu, tapi aku hanya menjalankan kewajiban aku. Nadine adik aku, dan ibu mewasiatkan aku untuk jaga dia, jadi sudah seharusnya aku kerasin dia agar tahu cara bersikap. Pun itu di depan kamu, tapi status kalian bukan muhrim, jadi nggak bagus membiasakan hal tidak seronok seperti itu.” Diceramahi panjang lebar, Arhan tampak sedikit tidak suka. Akan tetapi, sebelum pria itu sempat membalas, Nadine sudah lebih dulu berkata, “Haduh, iya deh Kak, iya.” Dia menghela napas kasar, tapi cepat mengancingkan bajunya. Kemudian, dia berkata, “Kakak sendiri kenapa di sini? Kenapa bukan di rumah sih?” Alma yang masih di luar mobil pun mengangkat barang belanjaannya. “Habis dari supermarket. Tadi lagi jalan pulang, tapi terus lihat mobil Mas Arhan.” Melihat hal itu, Nadine mengangguk-angguk, tapi raut wajahnya tampak tidak peduli dan hanya menanyakan untuk basa-basi. “Ya udah. Pulang bareng aja kalau gitu, Kak,” ajaknya, membuat Alma melirik Arhan yang diam sesaat sebelum akhirnya membukakan pintu penumpang depan. “Cepat masuk, terus kita pulang. Udah gerah,” komentar Arhan dengan sedikit ketus, tampaknya masih sedikit kesal diceramahi Alma tadi. Diberikan kode seperti itu, Alma pun langsung mengitari mobil dan duduk di kursi penumpang depan. Usai Alma menutup pintu, Arhan pun gegas melesatkan mobil menuju rumah. Perjalanan menuju rumah dilalui dengan hening. Nadine tampak sibuk dengan ponselnya, selagi Arhan sibuk dengan jalanan. Dan karena kedua orang itu kentara masih sedikit marah dengan teguran Alma tadi, Alma pun tidak berani mengatakan apa pun. Dia mulai melamun. Apa emosinya jadi tidak stabil karena efek omongan Bu Retno dan ibu-ibu lain tadi pagi ya? Tapi … rasanya teguran Alma wajar-wajar saja. Toh, bukankah lebih baik Alma yang menegur Nadine tentang hal itu dibandingkan orang lain? Bagaimana pun wanita itu harus menjaga diri dan reputasi. Jangan sampai terlibat rumor tidak sedap. Akan tetapi, teringat lagi bahwa cara bicaranya memang sedikit terlewat keras dan diselimuti emosi berlebih, Alma jadi merasa sedikit bersalah. Dia pikir, nanti sampai di rumah dia akan masakkan makanan favorit adik dan suaminya sebagai bentuk permintaan maaf. Namun, baru saja niat baik itu melambung dalam benak, tiba-tiba mata Alma menangkap keberadaan benda asing di lantai mobil kursi depan. Meraih benda tersebut dengan ekspresi ngeri bercampur jijik, Alma bertanya dengan suara dingin, “Mas, ini pakaian dalam siapa?” ( Bersambung)Alma dan Felix serempak menoleh ke arah suara yang memanggil mereka. Seorang pria paruh baya dengan jas dokter berwarna putih mendekat dengan senyum ramah. Rambutnya sudah mulai memutih di sisi pelipis, namun tatapan matanya tajam dan berwibawa. “Dokter Alma, akhirnya saya bisa bertemu langsung dengan dokter yang selama ini sering dibicarakan di kalangan medis,” ucapnya dengan nada hangat. Felix segera tersenyum dan memperkenalkan. “Alma, ini Dokter Frans, dokter senior di Majestic Hospital. Beliau sudah lama menjadi konsultan di bidang onkologi dan juga anggota dewan kehormatan rumah sakit ini.” “Senang sekali bisa bertemu, Dokter Frans,” sahut Alma sopan, menyalami tangan pria itu. Frans terkekeh. “Ah, saya yang lebih senang, Dokter Alma. Siapa, sih, yang tidak kenal dengan Anda? Dokter muda berbakat yang berhasil menyelamatkan nyawa banyak pasien di RS Annisa. Kalau Dokter Alma bisa praktek di Majestic Hospital, saya yakin pasien akan berbondong-bondong datang ke sini. Nama Maj
Sore itu, ruang kerja Vico dipenuhi aroma kopi yang baru saja diseduh oleh Felice. Meja besar di tengah ruangan dipenuhi berkas-berkas tender dan laporan hasil kerja. Di salah satu sisi ruangan, Leonard berdiri bersandar pada dinding, tangan dimasukkan ke saku celana, sementara Vico duduk di kursinya dengan wajah serius. “Leonard, ayah butuh bantuanmu,” ujar Vico membuka pembicaraan, suaranya terdengar tegas. Leonard mengangkat alis. “Bantu apa, Yah?” Vico menatap Leonard lurus-lurus. “Ayah ingin kamu undang Alma makan malam. Ayah ingin mengenalnya lebih dekat. Lagipula, ayah rasa dia cocok untukmu.” Leonard memutar pandangannya, menatap ke luar jendela beberapa detik sebelum berbalik kembali. “Maksud Ayah?” Vico menghela napas. “Kau tahu kan, Alma yang menyelamatkan perusahaan kita. Ayah ingin membalas budi. Dan ayah pikir, kalau kau bisa bersama dengan Alma … hubungan bisnis kita akan semakin kuat. Sekaligus ayah tahu, Alma perempuan luar biasa. Ayah tidak ingin dia jat
Alma turun dari panggung matanya masih memandang ke arah hadirin yang masih berdiri. MC akhirnya menutup acaraa “Bapak-Ibu yang kami hormati, silakan menikmati hidangan yang telah disediakan di ruang prasmanan.” Suara obrolan di antara para pengusaha masih terdengar, deru langkah kaki melintas di aula. Para pengusaha dan hadirin mulai bergerak ke arah Alma, tersenyum dan menyapa. Beberapa orang berjabat tangan dengannya, mengucapkan selamat dan ingin berbincang lebih dekat. Alma pun menjawab dengan ramah, dengan senyum hangat ia bicara dengan sopan, sesekali menganngguk ramah. Ia tetap menjaga wibawa, tak terlalu melepas jarak, namun cukup dekat agar mereka merasa terhormat. Di kursinya, Vico dan Hilmawan masih terpaku. Vico mematung, bibirnya gemetar, matanya memandang ke panggung kosong yang baru saja ditinggalkan Alma. Hilmawan menoleh, lalu menunduk. Keduanya belum bergerak, seperti kaku di tempat masing-masing. Tak lama kemudian, Alma melirik jam tangannya, wajahnya seketik
Lampu sorot berhenti pada sosok yang duduk di deretan tengah, agak ke belakang. Sejenak, semua orang menahan napas. Kursi-kursi berderit pelan saat kepala para tamu serentak menoleh. Wajah-wajah tegang, dahi berkerut, bahkan beberapa mulut terbuka lebar, tak percaya pada apa yang baru mereka saksikan. Sinar lampu jatuh tepat pada Alma Azzahra, duduk tenang dengan balutan dress hitam elegan dan blazer putih. “Tidak …” bisik Vico dengan suara tercekat. Tangannya meremas lutut, keringat dingin mulai membasahi pelipis. “Tidak mungkin perempuan itu … lampu itu pasti salah.” Ia menelan ludah dengan susah payah, tetapi sorot lampu tak bergeser sedikit pun. Jantungnya berdebar tak beraturan, seakan mau meloncat keluar dari tempatnya. Hilmawan, yang duduk tak jauh dari sana, ikut ternganga. Matanya melebar, tubuhnya sedikit condong ke depan. Sejak awal ia memang sempat curiga Alma punya kaitan dengan PT Angkasa, tapi cara bicara Alma yang selalu merendah membuatnya menepis dugaan itu. Kini,
Semua orang di dalam aula menahan napas. Tatapan penuh harap mengarah ke MC yang berdiri tegak di atas panggung dengan map hitamnya. Ia kembali membuka lembaran catatan, sementara suasana mendadak hening. “Lima perusahaan yang berhasil memenangkan tender ini adalah…” suaranya lantang namun penuh jeda, membuat detik-detik itu terasa semakin tegang. “Pertama, PT Gelora Mandiri milik Bapak Vico Mahesa.” Seketika, senyum lebar merekah di wajah Vico. Dagu terangkat, tatapannya berkilat penuh kemenangan. Ia menoleh ke arah Alma, menunjukkan senyum penuh kesombongan seakan ingin berkata, lihat sendiri kan, aku memang layak bersaing di sini. “Yang kedua, PT Sejati Abadi milik Bapak Hilmawan.” Hilmawan tersenyum percaya diri. Tangannya bersedekap, ekspresi puas jelas terpancar di wajahnya. Ia bahkan sempat melirik Alma, seolah menegaskan bahwa semua ucapannya tadi bukan sekadar kesombongan belaka. Tiga nama perusahaan lain pun diumumkan, dan suasana semakin riuh. Para hadirin bertepuk ta
Felix masih duduk di balik kemudi, kedua tangannya masih menggenggam setir. Matanya kosong menatap kaca depan, tapi pikirannya tertuju pada satu hal. Jawaban Alma tadi terngiang-ngiang di telinganya. “Itu Riko, asistenku. Dia mengantar berkas penting yang harus aku tanda tangani.” Asisten? Berkas? Kenapa Alma harus punya asisten? Bukankah ia seorang dokter? Dokter spesialis bedah saraf, tepatnya. Rasanya tidak masuk akal seorang dokter punya “asisten” yang bertugas mengantar berkas malam-malam. Dan Alma sama sekali tidak terlihat seperti ingin menjelaskan lebih jauh. Felix mengembuskan napas panjang, menyandarkan punggung ke jok. Rasa cemburu yang sejak tadi bergejolak kini berubah jadi sesal. Seharusnya ia tidak menekan Alma dengan pertanyaan-pertanyaan penuh curiga. Seharusnya ia menahan diri. “Mungkin Alma punya alasan. Mungkin aku harus sabar menunggu dia cerita sendiri,” gumamnya lirih. Jam tangannya menunjukkan pukul delapan kurang lima belas. Ia tidak ada rapat pagi ini, h