Home / Romansa / Pelakor itu Adikku / Bab 1. Kejanggalan

Share

Pelakor itu Adikku
Pelakor itu Adikku
Author: Rina Novita

Bab 1. Kejanggalan

Author: Rina Novita
last update Last Updated: 2025-01-07 08:10:16

“Nadine, seragam kamu ketat banget. Itu lekukan dadanya sampai kelihatan begitu. Apa nggak ada seragam yang lebih longgar?”

Teguran itu terlontar dari bibir Alma ketika melihat sang adik, Nadine, yang baru saja ingin berangkat kerja.

Masalahnya, seragam yang dikenakan adiknya tersebut tidak hanya ketat di bagian dada dengan belahan rendah, tapi juga membingkai lekukan pinggul Nadine dengan sempurna.

Nadine ‘kan perawat, kenapa pakaiannya malah kurang seronok seperti itu?

“Dari dulu seragam perawat juga begini, Kak. Jangan norak deh.” Nadine yang ditegur kakaknya langsung membela diri. Ia kemudian melirik kakak iparnya. “Coba aja tanya sama Mas Arhan.”

Alma melihat suaminya yang tampak acuh tak acuh. “Iya, Al. Seragam perawat sekarang memang begitu.” Arhan, suami Alma, menyahut seperlunya seiring memasukkan tas berisi keperluan kerjanya ke dalam mobil.

Hal tersebut membuat Alma mengernyit. Bingung. Pasalnya, meski sudah tidak bekerja di rumah sakit, Alma tidak pernah melihat tenaga medis berpakaian seksi seperti adiknya saat ini.

Rasanya … kurang pantas dilihat, menurut Alma.

“Tapi—”

“Ya sudahlah, Kak.” Nadine memotong kalimat Alma dengan nada kesal. “Namanya juga aturan rumah sakit, kita bisa apa?”

Baru saja Alma ingin membalas, Arhan sudah terlebih dulu angkat suara. “Kamu sudah lama nggak kerja sih, makanya nggak ngerti. Udahlah, nggak usah sok pinter. Nanti malah bikin kami telat lagi ke rumah sakit. Ayo Nadine, naik,” perintah pria tersebut seiring masuk ke dalam mobil.

Melihat itu, Nadine tersenyum penuh kemenangan. “Tuh ‘kan, Kak! Bang Arhan jadi marah sama Kakak. Makanya, Kak. Jangan banyak komentar deh. Yang dokter beneran aja diem,” celetuk Nadine sebelum mengikuti kakak iparnya masuk ke dalam mobil.

Sebelum benar-benar pergi, Arhan membuka jendela dan berkata pada Alma, “Kami nanti pulang malam, kamu nggak perlu tunggu dan makan aja sendiri.” Tidak lupa pria itu menambahkan, “Jangan lupa juga tutup gerbang.”

Kemudian, mobil yang mengangkut suami dan adiknya itu pun melesat pergi, sama sekali tidak memberikan kesempatan bagi Alma untuk bicara.

Alma menghela napas berat. Hatinya terasa sangat perih, seperti … direndahkan karena dirinya hanya ibu rumah tangga dan tidak lagi bekerja.

Sejak menikah dengan Arhan tiga tahun lalu, Alma memang berhenti meniti karirnya sebagai dokter. Semua atas permintaan Arhan dan ibunya yang berharap Alma fokus dengan keluarga dan melahirkan keturunan sebelum kembali bekerja.

Meski awalnya Alma tidak punya masalah, belakangan ini Alma sedikit menyesalinya. Semua karena sikap sang suami, yang juga berprofesi sebagai dokter, makin lama makin dingin. Seperti tadi, tidak jarang Arhan menepis kalimat Alma dengan kalimat menyakitkan, mengatakan dirinya tak lagi bekerja dan sok tahu.

Kadang, tak elak Alma merasa sedikit cemburu pada Nadine, adiknya itu. Bukan hanya bisa bekerja di tempat yang sama dengan suaminya, tapi obrolan mereka terkesan lebih nyambung. Seakan … Nadine dan Arhan lebih cocok menjadi pasangan—

“Hush, mikir apa sih kamu, Alma?” tegur Alma kepada dirinya sendiri.

Baru saja Alma hendak masuk usai menutup pintu gerbang, tiba-tiba saja seseorang memanggilnya.

“Mbak Alma!”

Spontan, Alma menoleh dan melihat salah seorang tetangga melambai ke arahnya. “Bu Retno?”

“Mbak Alma, sini dulu lah! Ngobrol-ngobrol sini!” sahut Bu Retno, yang diikuti senyuman ramah ibu-ibu lain di depan gerobak tukang sayur itu.

Tidak enak menolak, Alma pun keluar dari pekarangan dan menghampiri gerombolan ibu-ibu tersebut. “Pagi, Ibu-ibu. Lagi belanja?” ucapnya berbasa-basi.

“Iya, Mbak,” jawab ibu-ibu yang lain sambil mulai senyam-senyum penuh arti.

Kemudian, sejumlah dari mereka saling melirik dan menyenggol, sampai akhirnya Bu Retno yang memutuskan untuk angkat suara.

“Mbak Alma, maaf nih saya mau tanya, memangnya Mbak Alma nggak risih lihat suami sama adeknya sedeket itu?”

“Hah? Gimana, Bu?” tanya Alma bingung.

Bu Retno melirik kiri dan kanan, seakan memastikan tidak ada yang mendengar kecuali ibu-ibu yang ada di sana, lalu berbisik, “Itu loh, Mbak. Adik sama suami Mbak tiap hari berangkat kerja bareng, pulang bareng, memangnya Mbak Alma nggak takut suaminya malah jatuh hati, terus selingkuh sama adiknya?”

Deg!

Alma tampak terkejut mendengar ucapan tetangganya. “Ya ampun, Bu. Kok ngomongnya gitu…” balasnya, sedikit sulit menerima tuduhan tersebut.

“Aduh, Mabk. Nggak jarang loh Mbak zaman sekarang kakak sama adik ipar selingkuh, apalagi kalau dua-duanya satu profesi begitu! Wajib hati-hati! Kami sih ngebilangin aja.”

Ibu-ibu lain langsung mengangguk-angguk, seakan mendukung omongan Bu Retno.

“Apalagi, udah nggak jarang kami lihat Mas Arhan sama adik Mbak Alma jalan-jalan berdua di mal dekat sini. Ya kok aneh, kakak-adik ipar malah lebih sering jalan bareng dibandingkan sama Mbak Alma yang istrinya.”

Detik itu, Alma yang tadi masih santai dan merasa ini hanya gosip tetangga biasa, langsung membeku.

“Apa, Bu?” tanya Alma.

Bu Retno mengerjapkan mata, seakan kaget dengan reaksi Alma. “Loh, Mbak Alma nggak tahu? Mas Arhan sama adik Mbak Alma itu kayaknya hampir tiap hari Sabtu deh pergi ke mal sebelah situ.”

(Bersambung)

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Koirul
selidiki gerak geriknya jg mencurigakan
goodnovel comment avatar
Salma Mariam Kwt
bagus awal critanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pelakor itu Adikku   Bab 204. Tinggal hitungan hari

    Alma dan Felix serempak menoleh ke arah suara yang memanggil mereka. Seorang pria paruh baya dengan jas dokter berwarna putih mendekat dengan senyum ramah. Rambutnya sudah mulai memutih di sisi pelipis, namun tatapan matanya tajam dan berwibawa. “Dokter Alma, akhirnya saya bisa bertemu langsung dengan dokter yang selama ini sering dibicarakan di kalangan medis,” ucapnya dengan nada hangat. Felix segera tersenyum dan memperkenalkan. “Alma, ini Dokter Frans, dokter senior di Majestic Hospital. Beliau sudah lama menjadi konsultan di bidang onkologi dan juga anggota dewan kehormatan rumah sakit ini.” “Senang sekali bisa bertemu, Dokter Frans,” sahut Alma sopan, menyalami tangan pria itu. Frans terkekeh. “Ah, saya yang lebih senang, Dokter Alma. Siapa, sih, yang tidak kenal dengan Anda? Dokter muda berbakat yang berhasil menyelamatkan nyawa banyak pasien di RS Annisa. Kalau Dokter Alma bisa praktek di Majestic Hospital, saya yakin pasien akan berbondong-bondong datang ke sini. Nama Maj

  • Pelakor itu Adikku   Bab 203. Lebih Bijaksana

    Sore itu, ruang kerja Vico dipenuhi aroma kopi yang baru saja diseduh oleh Felice. Meja besar di tengah ruangan dipenuhi berkas-berkas tender dan laporan hasil kerja. Di salah satu sisi ruangan, Leonard berdiri bersandar pada dinding, tangan dimasukkan ke saku celana, sementara Vico duduk di kursinya dengan wajah serius. “Leonard, ayah butuh bantuanmu,” ujar Vico membuka pembicaraan, suaranya terdengar tegas. Leonard mengangkat alis. “Bantu apa, Yah?” Vico menatap Leonard lurus-lurus. “Ayah ingin kamu undang Alma makan malam. Ayah ingin mengenalnya lebih dekat. Lagipula, ayah rasa dia cocok untukmu.” Leonard memutar pandangannya, menatap ke luar jendela beberapa detik sebelum berbalik kembali. “Maksud Ayah?” Vico menghela napas. “Kau tahu kan, Alma yang menyelamatkan perusahaan kita. Ayah ingin membalas budi. Dan ayah pikir, kalau kau bisa bersama dengan Alma … hubungan bisnis kita akan semakin kuat. Sekaligus ayah tahu, Alma perempuan luar biasa. Ayah tidak ingin dia jat

  • Pelakor itu Adikku   Bab 202. Rencana Vico

    Alma turun dari panggung matanya masih memandang ke arah hadirin yang masih berdiri. MC akhirnya menutup acaraa “Bapak-Ibu yang kami hormati, silakan menikmati hidangan yang telah disediakan di ruang prasmanan.” Suara obrolan di antara para pengusaha masih terdengar, deru langkah kaki melintas di aula. Para pengusaha dan hadirin mulai bergerak ke arah Alma, tersenyum dan menyapa. Beberapa orang berjabat tangan dengannya, mengucapkan selamat dan ingin berbincang lebih dekat. Alma pun menjawab dengan ramah, dengan senyum hangat ia bicara dengan sopan, sesekali menganngguk ramah. Ia tetap menjaga wibawa, tak terlalu melepas jarak, namun cukup dekat agar mereka merasa terhormat. Di kursinya, Vico dan Hilmawan masih terpaku. Vico mematung, bibirnya gemetar, matanya memandang ke panggung kosong yang baru saja ditinggalkan Alma. Hilmawan menoleh, lalu menunduk. Keduanya belum bergerak, seperti kaku di tempat masing-masing. Tak lama kemudian, Alma melirik jam tangannya, wajahnya seketik

  • Pelakor itu Adikku   Bab 201. Pemilik PT. Angkasa

    Lampu sorot berhenti pada sosok yang duduk di deretan tengah, agak ke belakang. Sejenak, semua orang menahan napas. Kursi-kursi berderit pelan saat kepala para tamu serentak menoleh. Wajah-wajah tegang, dahi berkerut, bahkan beberapa mulut terbuka lebar, tak percaya pada apa yang baru mereka saksikan. Sinar lampu jatuh tepat pada Alma Azzahra, duduk tenang dengan balutan dress hitam elegan dan blazer putih. “Tidak …” bisik Vico dengan suara tercekat. Tangannya meremas lutut, keringat dingin mulai membasahi pelipis. “Tidak mungkin perempuan itu … lampu itu pasti salah.” Ia menelan ludah dengan susah payah, tetapi sorot lampu tak bergeser sedikit pun. Jantungnya berdebar tak beraturan, seakan mau meloncat keluar dari tempatnya. Hilmawan, yang duduk tak jauh dari sana, ikut ternganga. Matanya melebar, tubuhnya sedikit condong ke depan. Sejak awal ia memang sempat curiga Alma punya kaitan dengan PT Angkasa, tapi cara bicara Alma yang selalu merendah membuatnya menepis dugaan itu. Kini,

  • Pelakor itu Adikku   Bab 200. Ketegangan Tiada Akhir

    Semua orang di dalam aula menahan napas. Tatapan penuh harap mengarah ke MC yang berdiri tegak di atas panggung dengan map hitamnya. Ia kembali membuka lembaran catatan, sementara suasana mendadak hening. “Lima perusahaan yang berhasil memenangkan tender ini adalah…” suaranya lantang namun penuh jeda, membuat detik-detik itu terasa semakin tegang. “Pertama, PT Gelora Mandiri milik Bapak Vico Mahesa.” Seketika, senyum lebar merekah di wajah Vico. Dagu terangkat, tatapannya berkilat penuh kemenangan. Ia menoleh ke arah Alma, menunjukkan senyum penuh kesombongan seakan ingin berkata, lihat sendiri kan, aku memang layak bersaing di sini. “Yang kedua, PT Sejati Abadi milik Bapak Hilmawan.” Hilmawan tersenyum percaya diri. Tangannya bersedekap, ekspresi puas jelas terpancar di wajahnya. Ia bahkan sempat melirik Alma, seolah menegaskan bahwa semua ucapannya tadi bukan sekadar kesombongan belaka. Tiga nama perusahaan lain pun diumumkan, dan suasana semakin riuh. Para hadirin bertepuk ta

  • Pelakor itu Adikku   Bab 199. Pemenang Tender

    Felix masih duduk di balik kemudi, kedua tangannya masih menggenggam setir. Matanya kosong menatap kaca depan, tapi pikirannya tertuju pada satu hal. Jawaban Alma tadi terngiang-ngiang di telinganya. “Itu Riko, asistenku. Dia mengantar berkas penting yang harus aku tanda tangani.” Asisten? Berkas? Kenapa Alma harus punya asisten? Bukankah ia seorang dokter? Dokter spesialis bedah saraf, tepatnya. Rasanya tidak masuk akal seorang dokter punya “asisten” yang bertugas mengantar berkas malam-malam. Dan Alma sama sekali tidak terlihat seperti ingin menjelaskan lebih jauh. Felix mengembuskan napas panjang, menyandarkan punggung ke jok. Rasa cemburu yang sejak tadi bergejolak kini berubah jadi sesal. Seharusnya ia tidak menekan Alma dengan pertanyaan-pertanyaan penuh curiga. Seharusnya ia menahan diri. “Mungkin Alma punya alasan. Mungkin aku harus sabar menunggu dia cerita sendiri,” gumamnya lirih. Jam tangannya menunjukkan pukul delapan kurang lima belas. Ia tidak ada rapat pagi ini, h

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status