“Nadine, seragam kamu ketat banget. Itu lekukan dadanya sampai kelihatan begitu. Apa nggak ada seragam yang lebih longgar?”
Teguran itu terlontar dari bibir Alma ketika melihat sang adik, Nadine, yang baru saja ingin berangkat kerja. Masalahnya, seragam yang dikenakan adiknya tersebut tidak hanya ketat di bagian dada dengan belahan rendah, tapi juga membingkai lekukan pinggul Nadine dengan sempurna. Nadine ‘kan perawat, kenapa pakaiannya malah kurang seronok seperti itu? “Dari dulu seragam perawat juga begini, Kak. Jangan norak deh.” Nadine yang ditegur kakaknya langsung membela diri. Ia kemudian melirik kakak iparnya. “Coba aja tanya sama Mas Arhan.” Alma melihat suaminya yang tampak acuh tak acuh. “Iya, Al. Seragam perawat sekarang memang begitu.” Arhan, suami Alma, menyahut seperlunya seiring memasukkan tas berisi keperluan kerjanya ke dalam mobil. Hal tersebut membuat Alma mengernyit. Bingung. Pasalnya, meski sudah tidak bekerja di rumah sakit, Alma tidak pernah melihat tenaga medis berpakaian seksi seperti adiknya saat ini. Rasanya … kurang pantas dilihat, menurut Alma. “Tapi—” “Ya sudahlah, Kak.” Nadine memotong kalimat Alma dengan nada kesal. “Namanya juga aturan rumah sakit, kita bisa apa?” Baru saja Alma ingin membalas, Arhan sudah terlebih dulu angkat suara. “Kamu sudah lama nggak kerja sih, makanya nggak ngerti. Udahlah, nggak usah sok pinter. Nanti malah bikin kami telat lagi ke rumah sakit. Ayo Nadine, naik,” perintah pria tersebut seiring masuk ke dalam mobil. Melihat itu, Nadine tersenyum penuh kemenangan. “Tuh ‘kan, Kak! Bang Arhan jadi marah sama Kakak. Makanya, Kak. Jangan banyak komentar deh. Yang dokter beneran aja diem,” celetuk Nadine sebelum mengikuti kakak iparnya masuk ke dalam mobil. Sebelum benar-benar pergi, Arhan membuka jendela dan berkata pada Alma, “Kami nanti pulang malam, kamu nggak perlu tunggu dan makan aja sendiri.” Tidak lupa pria itu menambahkan, “Jangan lupa juga tutup gerbang.” Kemudian, mobil yang mengangkut suami dan adiknya itu pun melesat pergi, sama sekali tidak memberikan kesempatan bagi Alma untuk bicara. Alma menghela napas berat. Hatinya terasa sangat perih, seperti … direndahkan karena dirinya hanya ibu rumah tangga dan tidak lagi bekerja. Sejak menikah dengan Arhan tiga tahun lalu, Alma memang berhenti meniti karirnya sebagai dokter. Semua atas permintaan Arhan dan ibunya yang berharap Alma fokus dengan keluarga dan melahirkan keturunan sebelum kembali bekerja. Meski awalnya Alma tidak punya masalah, belakangan ini Alma sedikit menyesalinya. Semua karena sikap sang suami, yang juga berprofesi sebagai dokter, makin lama makin dingin. Seperti tadi, tidak jarang Arhan menepis kalimat Alma dengan kalimat menyakitkan, mengatakan dirinya tak lagi bekerja dan sok tahu. Kadang, tak elak Alma merasa sedikit cemburu pada Nadine, adiknya itu. Bukan hanya bisa bekerja di tempat yang sama dengan suaminya, tapi obrolan mereka terkesan lebih nyambung. Seakan … Nadine dan Arhan lebih cocok menjadi pasangan— “Hush, mikir apa sih kamu, Alma?” tegur Alma kepada dirinya sendiri. Baru saja Alma hendak masuk usai menutup pintu gerbang, tiba-tiba saja seseorang memanggilnya. “Mbak Alma!” Spontan, Alma menoleh dan melihat salah seorang tetangga melambai ke arahnya. “Bu Retno?” “Mbak Alma, sini dulu lah! Ngobrol-ngobrol sini!” sahut Bu Retno, yang diikuti senyuman ramah ibu-ibu lain di depan gerobak tukang sayur itu. Tidak enak menolak, Alma pun keluar dari pekarangan dan menghampiri gerombolan ibu-ibu tersebut. “Pagi, Ibu-ibu. Lagi belanja?” ucapnya berbasa-basi. “Iya, Mbak,” jawab ibu-ibu yang lain sambil mulai senyam-senyum penuh arti. Kemudian, sejumlah dari mereka saling melirik dan menyenggol, sampai akhirnya Bu Retno yang memutuskan untuk angkat suara. “Mbak Alma, maaf nih saya mau tanya, memangnya Mbak Alma nggak risih lihat suami sama adeknya sedeket itu?” “Hah? Gimana, Bu?” tanya Alma bingung. Bu Retno melirik kiri dan kanan, seakan memastikan tidak ada yang mendengar kecuali ibu-ibu yang ada di sana, lalu berbisik, “Itu loh, Mbak. Adik sama suami Mbak tiap hari berangkat kerja bareng, pulang bareng, memangnya Mbak Alma nggak takut suaminya malah jatuh hati, terus selingkuh sama adiknya?” Deg! Alma tampak terkejut mendengar ucapan tetangganya. “Ya ampun, Bu. Kok ngomongnya gitu…” balasnya, sedikit sulit menerima tuduhan tersebut. “Aduh, Mabk. Nggak jarang loh Mbak zaman sekarang kakak sama adik ipar selingkuh, apalagi kalau dua-duanya satu profesi begitu! Wajib hati-hati! Kami sih ngebilangin aja.” Ibu-ibu lain langsung mengangguk-angguk, seakan mendukung omongan Bu Retno. “Apalagi, udah nggak jarang kami lihat Mas Arhan sama adik Mbak Alma jalan-jalan berdua di mal dekat sini. Ya kok aneh, kakak-adik ipar malah lebih sering jalan bareng dibandingkan sama Mbak Alma yang istrinya.” Detik itu, Alma yang tadi masih santai dan merasa ini hanya gosip tetangga biasa, langsung membeku. “Apa, Bu?” tanya Alma. Bu Retno mengerjapkan mata, seakan kaget dengan reaksi Alma. “Loh, Mbak Alma nggak tahu? Mas Arhan sama adik Mbak Alma itu kayaknya hampir tiap hari Sabtu deh pergi ke mal sebelah situ.” (Bersambung)Bab 18Pak Hendrik menutup map cokelat itu perlahan, seolah tengah menyerap setiap lembar dokumen yang baru saja ia pelajari.“Saya sudah membaca semuanya,” katanya akhirnya. “Termasuk salinan surat wasiat dari mendiang Ayah Anda.”Alma hanya mengangguk. Ekspresinya tampak tenang, namun kedua tangannya yang bertaut di pangkuan tak bisa menyembunyikan kegelisahan yang bersembunyi di balik ketegasannya.Ia tahu betul kemunculannya akan mengguncang banyak pihak, tapi ia tidak datang untuk meminta belas kasihan. Ia datang untuk mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya.“Saya paham ini terdengar mendadak,” ujarnya pelan. “Tapi saya hanya menjalankan hak dan tanggung jawab saya sebagai ahli waris.”Pak Hendrik menghela napas, bibirnya membentuk senyum tipis yang sulit dibaca. “Tak hanya mendadak, tapi juga membingungkan. Anda tahu sendiri, selama ini Anda tak pernah muncul dalam urusan rumah sakit. Bahkan banyak yang tak tahu Anda putri kandung Pak Aditya Kusuma.”Memori lama
“Apa sih maksud kamu, Mas nggak ngerti! Kalau memang Mas Ada salah, ya kamu bilang aja apa susahnya, sih? Mas pasti minta maaf dan berubah!”Mendengar itu, Alma hanya tertawa dingin dalam hati. “Kalau Mas merasa nggak ada salah, ya sudah,” ucapnya seraya berjalan ke arah pintu, lalu mengambil kunci mobil dari atas lemari kecil. “Karena hari ini Mas nggak ke rumah sakit, aku bawa mobil, ya. Mas nggak keberatan, kan?”Arhan belum sempat membalas, tapi Alma sudah lanjut berkata, “Harusnya nggak ya. Toh mobil juga aku yang beli, kan?”Kemudian, tanpa membuang waktu lagi, Alma melangkah keluar dan membanting pintu pelan. Suara langkahnya terdengar jelas, lalu pintu depan dibuka, dan tidak lama kemudian, suara deru mesin mobil terdengar membelah keheningan pagi.“Sialan!” Arhan mengumpat keras sambil menendang sisi ranjang. Suaranya terdengar hingga ke penjuru rumah.Pintu kamar Nadine terbuka. Gadis itu muncul dengan piyama satin warna pink muda, rambutnya dikuncir satu, ekspresi heran ter
Usai makan malam, terlihat Arhan dan sang ibu duduk di ruang tamu.“Tadi Ibu udah lihat sendiri ‘kan gimana Alma sekarang? Kalau terus begini, gimana aku bisa tenang?!” gerutu Arhan.Ferika menghela napas. Dia sendiri merasa masalah ini sedikit rumit karena sikap Alma yang berubah seratus delapan puluh derajat. Jadi, dia hanya berkata, “Istrimu cuma lagi masa membangkang aja. Nanti kalau bosen juga dia balik lagi.”“Aduh, Bu. Kalau tunggu dia bosen, bisa-bisa posisi kepala bagianku hilang duluan!”Kening Ferika berkerut. Bingung. “Maksudnya?”Arhan menegapkan tubuh, menatap ibunya serius. “Jadi gini loh, Bu. Tadinya aku tuh calon tunggal untuk posisi kepala bagian, ‘kan? Tapi sekarang … gara-gara Alma balik kerja, Prof Mahendra, yang ternyata juga guru Alma, malah lebih perhatian ke Alma dan kayaknya ingin jadiin Alma penggantinya!”Ferika tampak agak kaget. Dia yang sudah tahu sepenting apa Prof. Mahendra di rumah sakit, sulit percaya Alma ternyata adalah murid pria tersebut. Setahu
“Ke mana aja sih kamu jam segini baru pulang?!” Suara Nyonya Ferika menyambut Alma yang baru pulang dan masuk ke ruang makan.Alma yang masih mengenakan jas putihnya hanya menghela napas pelan, menatap ketiganya yang sudah duduk manis di meja makan.Ibu mertua duduk di ujung meja dengan pose angkuh seperti pemilik rumah. Arhan tampak lesu, tapi langsung memasang wajah kesal saat melihat Alma. Sedangkan Nadine duduk di sebelah Arhan dengan senyum bangga.“Ini udah malam, Alma. Kamu itu istri orang, bukan anak kuliahan! Masa suami pulang kamu belum ada di rumah? Untung ada Nadine yang masakin dan nyiapin minum buat Arhan. Kalau nggak, entah jadi apa suamimu itu!”Nadine yang disebut namanya langsung menoleh pada Ferika. Ia tidak menyangka Ferika mengatakan bahwa dialah yang masak, terutama karena sebenarnya dia hanya bantu-bantu saja.“Nadine yang masak?” Alma menatap adiknya itu dengan alis terangkat. Seumur-umur Nadine paling enggan turun ke dapur, jadi dia tidak pernah bisa memasak.
"Gara-gara dia, semua jadi kacau!"Arhan membanting pintu ruangannya sedikit keras, hingga Nadine yang hendak duduk di sofa ruangan itu tersentak dan kembali berdiri."Mas, harusnya tadi Mas—""Diam! Mending kamu nggak usah banyak ngomong. Bikin aku tambah pusing saja!" Arhan mengacungkan telunjuknya di hadapan Nadine. Wajahnya merah padam."Loh, kok Mas Arhan bentak-bentak aku juga?" Nadine tak terima."Ya kalau kamu nggak bisa masak, jangan ngaku bisa masak! Jadinya sekarang begini, kan? Aku terlambat, dapat surat teguran dari Prof dan komplain dari pasien. Kamu tuh kalau nggak bisa bantu, jangan nambah bebanku!"Nadine menarik napas dalam-dalam. "Tapi Mas, Aku cuma ...""Halaah! Sudah jangan berisik! Malas aku debat sama kamu.” Arhan menggertakkan gigi, lalu meraih jas putihnya dan berbalik pergi untuk keluar ruangan. Namun, langkahnya berhenti dan dia menatap Nadine sesaat. “Kalau kamu memang mau bantu, coba kamu yakinkan kakakmu itu agar bisa kembali jadi istri yang baik dan me
Alma mengangkat alisnya. "Maksudnya apa, ya?" tanyanya santai. Ia melangkah menuju kulkas, mengambil sebotol jus mangga dingin, lalu duduk di sofa sambil meneguk perlahan. Ekspresinya tetap tenang. "Jangan pura-pura! Aku tahu jadwal pulangmu harusnya lebih awal. Tapi kenapa malah pulang selarut ini!?" suara Arhan meninggi, matanya menatap tajam ke arah istrinya. Alma menaruh botol jus di meja, memperbaiki posisi duduknya. "Oh, itu." Ia bergerak sedikit memperbaiki posisi duduknya, lalu lanjut bicara. "Aku nggak jalan sama siapa-siapa, Mas," jawab Alma, nadanya tetap tenang. "Aku tadi nonton proses operasi Felix. Dia menawarkan untuk jadi pembelajaran. Bukannya Mas juga tahu, belajar langsung dari senior itu kesempatan langka?" Wajah Arhan menggelap. "Kalau mau belajar, kenapa nggak sama aku aja?" Alma tersenyum tipis. "Kan kita udah sepakat untuk nggak saling kenal di kantor, Mas. Kalau aku tiba-tiba minta tolong ke kamu, yang notabenenya aku baru kenal, bukannya malah aneh?