Hening.
Baik Arhan maupun Nadine tidak bersuara. Sementara Alma menatap keduanya dengan tajam. Dalam hati, emosi Alma mendidih, mulai yakin semua tuduhan dan dugaan dari para ibu tetangga ada benarnya. Namun, Alma masih diam. Dia masih berharap … berharap ada alasan untuk hal ini dan dia hanya salah sangka. Lagi pula, bagaimanapun … yang sedang dia permasalahkan … adalah suami dan adik satu-satunya yang dia miliki! “Kalian—!” “Itu punyaku, Kak!” seru Nadine tiba-tiba, memotong kalimat Alma yang baru saja ingin marah besar. “Apa?” Alma menautkan alis erat, memandangi sang adik yang terlihat serba salah. “Aduhh, sini!” sahut Nadine selagi merebut celana dalamnya dan buru-buru memasukkan ke tas kerjanya. “Bukannya langsung kasih tahu aku, kenapa malah dipampangkan sih?! Kan malu dilihat Mas Arhan,” tegurnya, membuat Alma agak kaget. Kenapa jadi dia yang dimarahi? “Kok kamu malah balik salahin Kakak? Harusnya Kakak yang tanya sama kamu dong, kenapa pakaian dalam kamu bisa jatuh di kursi depan?” tanyanya sebelum menatap Nadine aneh. “Kamu … nggak pakai dalaman?” “Ya ampun, Kakak! Nggak begitu dong! Pake ini, pake!” balas Nadine dengan wajah semakin kesal. “Itu bekas aku ganti tadi di rumah sakit. Kan Kakak tahu sendiri aku sering bawa baju ganti, ih!” “Tapi—” “Udah ah!” Nadine memotong omongan Alma. “Masa bahas begini depan Mas Arhan! Tadi Kakak sendiri yang bilang bukan muhrim jadi nggak boleh bersikap sembarangan, sekarang malah Kakak yang nggak jelas pembahasannya di depan Mas Arhan!” komplain Nadine seraya melipat tangan dan membuang wajah ke luar jendela. “Heran, serba salah mulu hidupku kayaknya di mata Kakak!” Hening. Alma tidak tahu harus mengatakan apa. Sejujurnya, dia sangat bingung sekarang. Penjelasan Nadine sejujurnya masuk akal, tapi di waktu yang bersamaan, kok rasanya aneh. Biasanya, yang mengurus rumah adalah Alma. Entah itu masak, belanja keperluan, bersih-bersih, termasuk juga cuci baju. Dan sebagai orang yang mencuci baju semua penghuni rumah, termasuk Nadine, Alma rasanya tidak pernah melihat dalaman itu sebelumnya. Memang, agak aneh kalau Alma bisa mengingat motif dan bentuk dalaman Nadine, tapi … dalaman tadi terlalu mencolok. Merah, berenda, dan agaknya terlalu seksi untuk dikenakan gadis muda yang masih lajang! Ingin rasanya Alma bertanya, apa Nadine sudah punya pacar? Tapi, pertanyaan itu pastinya akan membawa mereka ke perdebatan baru, dan suasana akan menjadi semakin panas. Karena … kalau pun Nadine sudah punya pacar, untuk apa gadis itu membeli pakaian dalam semencolok itu?! Untuk ditunjukkan ke pacarnya? Yang benar saja! Mencoba menahan emosi yang mendidih di hati, terutama mengingat ajaran sang ibu untuk menjaga sikap sebagai seorang wanita, Alma pun memutuskan untuk diam dan menunda pembicaraan tersebut. Nanti, setelah waktunya tepat, dia akan bertanya lebih jelas. Di saat itu, Alma pun mengalihkan pandangan pada Arhan. Suaminya itu hanya diam dari tadi tanpa sekali pun bicara. Akan tetapi, jelas terpampang di wajah Arhan sebuah ekspresi masam, seakan pria itu sedang menahan emosi. Dalam hati, Alma hanya bisa menduga. Mungkin, suaminya itu juga agak risih dengan pembahasan tadi. ** Malam tiba, dan Alma sudah selesai menyajikan hidangan makan malam. Selagi menyendokkan nasi untuk Arhan dan Nadine, dia mendengar kedua orang itu berbincang. "Eh, Mas tahu nggak pasien baru di kamar 202? Yang ibu-ibu itu, yang rambutnya dicat merah terang?" Arhan menangkat wajahnya. “Iya, kenapa?” "Aku nggak tahan deh sama baunya. Kebayang nggak sih, dia ngomong aja baunya udah kayak …." Nadine menahan tawa, "kayak campuran minyak angin sama bawang busuk." Arhan tertawa sembari menggelengkan kepala. “Ada-ada aja kamu ini, Nad. Tapi iya sih, aku juga sempat nyium aromanya.” Mendengar itu, Alma kaget. Suaminya adalah seorang dokter, dan Nadine sendiri seorang perawat. Bukan untuk waktu singkat, tapi cukup lama. Bagaimana bisa mereka tega mengolok-ngolok pasien seperti itu? “Nadine, kamu nggak boleh bicara kayak itu tentang pasien. Nggak sopan. Mereka datang untuk ditolong, bukan untuk dijadikan bahan bercandaan.” Tawa dalam ruangan pun terhenti, dan ekspresi Nadine yang tadi ceria langsung berubah kusut. Di sisi lain, Arhan sendiri menatap Alma dengan agak lelah. “Al, kamu bisa nggak sih jangan terlalu kaku? Di rumah sakit aku sama Nadine sudah profesional, masa di rumah sendiri juga nggak bisa santai? Ini rumah atau barak militer?” sindir pria itu. “Santai sih boleh, Mas. Tapi bisa ‘kan nggak jadikan pasien candaan? Lagi pula, ingat loh. Pasien kalau bau badannya ekstrem, bisa jadi ada penyakit kronis juga. Harusnya kasihan, bukannya dijadikan bercandaan.” BRAK! Suara sendok yang dibanting keras ke meja mengejutkan Alma yang baru duduk. “Kamu tuh kenapa, sih!? Selalu saja mempermasalahkan hal-hal kecil! Aku begini salah, Nadine begitu salah. Kita berdua kapan bisa benarnya di mata kamu!?” teriak Arhan sambil menunjuk-nunjuk ke arah Alma. “Kamu sadar diri dong, Alma! Kamu itu sehari-harinya cuma di rumah, udah bukan dokter lagi! Nggak usah ikut-ikutan kasih pendapat tentang pasien segala! Dasar sok pinter!" Alma terperangah, tidak menyangka sang suami bisa mengatakan hal seperti itu. Pun dia sudah bukan lagi seorang dokter, tapi sama dengan suaminya, Alma pernah menyebutkan sumpah seorang dokter, yang mana isi salah satu sumpahnya adalah untuk menjunjung tinggi etika profesi, kapan pun dan di mana pun! Sebut Alma kaku, tapi Alma tidak peduli. Dia menjadi dokter karena kedua orang tuanya meninggal akibat penyakit kronis, jadi … masalah ini tidak bisa Alma sepelekan begitu saja, terlebih … sekarang Arhan secara gamblang menyatakan pendapat Alma sudah tak lagi pantas didengar karena dia hanya di rumah. Menahan sesak, Alma berkata, “Hanya karena aku di rumah, pendapatku sudah nggak lagi berharga di matamu, Mas? Begitu?" Dia pun tersenyum pahit. “Tapi apa kamu lupa? Kamu sendiri yang memintaku berhenti agar bisa fokus dalam rumah tangga. Kamu sendiri juga yang berjanji tidak akan berubah dan akan terus memperlakukanku sama. Sekarang, kamu malah anggap aku nggak lagi setara karena aku hanya ibu rumah tangga?” Arhan sempat terkejut dengan balasan Alma. Akan tetapi, hanya untuk sekilas, karena detik berikutnya, ekspresinya menjadi semakin marah. “Oh, jadi kamu nyalahin aku sekarang?! Iya?!” Alma berkerut. “Aku cuma tanya, Mas. Bukan—” “Halah, banyak alasan kamu! Kalau nggak terima, ya bilang aja nggak terima! Nggak usah muluk-muluk dan berlaga korban di depan aku!” seru Arhan. “Lagian ya, kesepakatan kita itu kamu berhenti kerja sampai bisa hamil, jadi kalau mau salahin orang tentang kenapa kamu belum bisa balik kerja, ya salahin dirimu sendiri belum bisa hamil-hamil!” Usai mengatakan itu, Arhan beranjak dari kursinya dan pergi meninggalkan ruang makan. Dia sama sekali tak peduli mengenai ekspresi Alma yang tampak begitu terluka. Di sisi lain, Nadine melipat tangannya dan menatap Alma dengan pandangan menuduh. “Kan, marah deh Mas Arhannya.” Dia menghela napas dan berdiri dari kursinya. “Makanya, Kak. Sebelum ceramahin orang lain, sadar diri dulu. Kena deh akibatnya sekarang.” Alma pun mematung. Jadi, ini semua salahnya? (Bersambung)Alma dan Felix serempak menoleh ke arah suara yang memanggil mereka. Seorang pria paruh baya dengan jas dokter berwarna putih mendekat dengan senyum ramah. Rambutnya sudah mulai memutih di sisi pelipis, namun tatapan matanya tajam dan berwibawa. “Dokter Alma, akhirnya saya bisa bertemu langsung dengan dokter yang selama ini sering dibicarakan di kalangan medis,” ucapnya dengan nada hangat. Felix segera tersenyum dan memperkenalkan. “Alma, ini Dokter Frans, dokter senior di Majestic Hospital. Beliau sudah lama menjadi konsultan di bidang onkologi dan juga anggota dewan kehormatan rumah sakit ini.” “Senang sekali bisa bertemu, Dokter Frans,” sahut Alma sopan, menyalami tangan pria itu. Frans terkekeh. “Ah, saya yang lebih senang, Dokter Alma. Siapa, sih, yang tidak kenal dengan Anda? Dokter muda berbakat yang berhasil menyelamatkan nyawa banyak pasien di RS Annisa. Kalau Dokter Alma bisa praktek di Majestic Hospital, saya yakin pasien akan berbondong-bondong datang ke sini. Nama Maj
Sore itu, ruang kerja Vico dipenuhi aroma kopi yang baru saja diseduh oleh Felice. Meja besar di tengah ruangan dipenuhi berkas-berkas tender dan laporan hasil kerja. Di salah satu sisi ruangan, Leonard berdiri bersandar pada dinding, tangan dimasukkan ke saku celana, sementara Vico duduk di kursinya dengan wajah serius. “Leonard, ayah butuh bantuanmu,” ujar Vico membuka pembicaraan, suaranya terdengar tegas. Leonard mengangkat alis. “Bantu apa, Yah?” Vico menatap Leonard lurus-lurus. “Ayah ingin kamu undang Alma makan malam. Ayah ingin mengenalnya lebih dekat. Lagipula, ayah rasa dia cocok untukmu.” Leonard memutar pandangannya, menatap ke luar jendela beberapa detik sebelum berbalik kembali. “Maksud Ayah?” Vico menghela napas. “Kau tahu kan, Alma yang menyelamatkan perusahaan kita. Ayah ingin membalas budi. Dan ayah pikir, kalau kau bisa bersama dengan Alma … hubungan bisnis kita akan semakin kuat. Sekaligus ayah tahu, Alma perempuan luar biasa. Ayah tidak ingin dia jat
Alma turun dari panggung matanya masih memandang ke arah hadirin yang masih berdiri. MC akhirnya menutup acaraa “Bapak-Ibu yang kami hormati, silakan menikmati hidangan yang telah disediakan di ruang prasmanan.” Suara obrolan di antara para pengusaha masih terdengar, deru langkah kaki melintas di aula. Para pengusaha dan hadirin mulai bergerak ke arah Alma, tersenyum dan menyapa. Beberapa orang berjabat tangan dengannya, mengucapkan selamat dan ingin berbincang lebih dekat. Alma pun menjawab dengan ramah, dengan senyum hangat ia bicara dengan sopan, sesekali menganngguk ramah. Ia tetap menjaga wibawa, tak terlalu melepas jarak, namun cukup dekat agar mereka merasa terhormat. Di kursinya, Vico dan Hilmawan masih terpaku. Vico mematung, bibirnya gemetar, matanya memandang ke panggung kosong yang baru saja ditinggalkan Alma. Hilmawan menoleh, lalu menunduk. Keduanya belum bergerak, seperti kaku di tempat masing-masing. Tak lama kemudian, Alma melirik jam tangannya, wajahnya seketik
Lampu sorot berhenti pada sosok yang duduk di deretan tengah, agak ke belakang. Sejenak, semua orang menahan napas. Kursi-kursi berderit pelan saat kepala para tamu serentak menoleh. Wajah-wajah tegang, dahi berkerut, bahkan beberapa mulut terbuka lebar, tak percaya pada apa yang baru mereka saksikan. Sinar lampu jatuh tepat pada Alma Azzahra, duduk tenang dengan balutan dress hitam elegan dan blazer putih. “Tidak …” bisik Vico dengan suara tercekat. Tangannya meremas lutut, keringat dingin mulai membasahi pelipis. “Tidak mungkin perempuan itu … lampu itu pasti salah.” Ia menelan ludah dengan susah payah, tetapi sorot lampu tak bergeser sedikit pun. Jantungnya berdebar tak beraturan, seakan mau meloncat keluar dari tempatnya. Hilmawan, yang duduk tak jauh dari sana, ikut ternganga. Matanya melebar, tubuhnya sedikit condong ke depan. Sejak awal ia memang sempat curiga Alma punya kaitan dengan PT Angkasa, tapi cara bicara Alma yang selalu merendah membuatnya menepis dugaan itu. Kini,
Semua orang di dalam aula menahan napas. Tatapan penuh harap mengarah ke MC yang berdiri tegak di atas panggung dengan map hitamnya. Ia kembali membuka lembaran catatan, sementara suasana mendadak hening. “Lima perusahaan yang berhasil memenangkan tender ini adalah…” suaranya lantang namun penuh jeda, membuat detik-detik itu terasa semakin tegang. “Pertama, PT Gelora Mandiri milik Bapak Vico Mahesa.” Seketika, senyum lebar merekah di wajah Vico. Dagu terangkat, tatapannya berkilat penuh kemenangan. Ia menoleh ke arah Alma, menunjukkan senyum penuh kesombongan seakan ingin berkata, lihat sendiri kan, aku memang layak bersaing di sini. “Yang kedua, PT Sejati Abadi milik Bapak Hilmawan.” Hilmawan tersenyum percaya diri. Tangannya bersedekap, ekspresi puas jelas terpancar di wajahnya. Ia bahkan sempat melirik Alma, seolah menegaskan bahwa semua ucapannya tadi bukan sekadar kesombongan belaka. Tiga nama perusahaan lain pun diumumkan, dan suasana semakin riuh. Para hadirin bertepuk ta
Felix masih duduk di balik kemudi, kedua tangannya masih menggenggam setir. Matanya kosong menatap kaca depan, tapi pikirannya tertuju pada satu hal. Jawaban Alma tadi terngiang-ngiang di telinganya. “Itu Riko, asistenku. Dia mengantar berkas penting yang harus aku tanda tangani.” Asisten? Berkas? Kenapa Alma harus punya asisten? Bukankah ia seorang dokter? Dokter spesialis bedah saraf, tepatnya. Rasanya tidak masuk akal seorang dokter punya “asisten” yang bertugas mengantar berkas malam-malam. Dan Alma sama sekali tidak terlihat seperti ingin menjelaskan lebih jauh. Felix mengembuskan napas panjang, menyandarkan punggung ke jok. Rasa cemburu yang sejak tadi bergejolak kini berubah jadi sesal. Seharusnya ia tidak menekan Alma dengan pertanyaan-pertanyaan penuh curiga. Seharusnya ia menahan diri. “Mungkin Alma punya alasan. Mungkin aku harus sabar menunggu dia cerita sendiri,” gumamnya lirih. Jam tangannya menunjukkan pukul delapan kurang lima belas. Ia tidak ada rapat pagi ini, h