Home / Romansa / Pelakor itu Adikku / Bab 43. Main Belakang

Share

Bab 43. Main Belakang

Author: Rina Novita
last update Last Updated: 2025-06-21 02:22:05

Langkah Alma mantap menyusuri koridor rumah sakit. Beberapa orang menyapanya dengan sopan, tapi ia masih memikirkan yang terjadi di ruang rapat direksi barusan. Dadanya masih berdebar, bukan karena gugup, melainkan karena keputusan besar yang baru saja ia ambil. Ia memutuskan untuk tampil ke depan, menunjukkan siapa dirinya yang sesungguhnya.

Mulai hari ini ia telah menjadi bagian penting dari rumah sakit ini, meski hanya orang-orang tertentu saja yang tau.

Langkah Alma berhenti seketika ketika sosok Arhan muncul di depannya. Lelaki itu bersandar di dinding koridor dengan kedua tangan dilipat di depan dada, seolah sudah lama menunggu. Begitu mata mereka bertemu, wajah Arhan mengeras.

“Kamu dari ruang rapat direksi barusan?” tanyanya, dingin.

Alma tetap tenang, seolah tak menyadari nada curiga di balik pertanyaan itu. “Iya. Ada pertemuan penting dari pusat. Aku diundang langsung.”

Arhan menyipitkan mata. “Diundang? Kamu kan cuma dokter baru di sini. Kenapa kamu bisa ikut rapat pentin
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Rinny rachmadhani Putri
kocak nadine
goodnovel comment avatar
Camel Lia
bener² itu adik kurang ajar
goodnovel comment avatar
Yuli Faith
g punya kaca lo din.....situ yg murahan kali
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pelakor itu Adikku   Bab 190. Terlalu Cepat

    Alma terdiam mendengar permintaan Felix. Ia tahu Felix tidak bermaksud menekannya, tapi permintaan sederhana itu terasa begitu berat. Matanya bergetar menatap wajah lelaki yang sejak tadi memanggilnya “sayang” dengan begitu tulus. Bibirnya bergerak, ragu. “Felix … aku—” ia menelan ludah, jemarinya meremas tas di pangkuan. “Ini terlalu cepat. Aku … belum siap.” Suara Alma terdengar gugup, bergetar di ujung kalimat. Ia buru-buru melepas sabuk pengaman, membuka pintu mobil, dan melangkah keluar tanpa berani menoleh lagi. “Alma, tunggu—” panggil Felix, tapi pintu sudah tertutup dengan bunyi sedikit keras. Alma menunduk, berjalan cepat masuk ke rumahnya. Bahunya bergetar menahan campuran perasaan yang sulit diurai. Sementara itu, Felix hanya bisa menatap punggung Alma yang menjauh. Ada sesal yang menyesakkan dada. Ia bersandar ke kursi, menepuk setir mobil dengan kesal pada dirinya sendiri. “Bodoh, Felix. Kamu harusnya bisa sabar,” gumamnya lirih. Ia menutup mata sejenak, menarik nap

  • Pelakor itu Adikku   Bab 189. Ingin Memelukmu

    Pak Hilmawan menoleh pada Alma dengan senyum ramah yang penuh wibawa. “Dokter Alma, saya sangat berterima kasih. Kalau bukan karena Anda, mungkin cucu saya tidak akan tertolong. Saya dengar, Anda yang pertama kali sigap menangani.” Alma menunduk sopan. “Itu memang sudah kewajiban saya sebagai dokter, Pak. Saya hanya melakukan apa yang seharusnya.” "Tapi saya lihat, Dokter Alma bukan hanya melakukan kewajiban,” sahut Hilmawan. “Tapi juga sebuah pengabdian. Tidak semua orang bisa bekerja dengan hati seperti itu.” Tatapannya penuh penghargaan, membuat Alma sedikit salah tingkah. Felix tersenyum lebar mendengar ucapan kakek Maharani. Ia menepuk tangan Alma dengan bangga. “Saya juga sangat beruntung, Pak. Alma selain dokter yang hebat, dia juga … calon istri saya.” Alma menoleh sekilas, pipinya memerah. Kata-kata itu keluar begitu alami dari mulut Felix, seakan sudah tak ada lagi jarak di antara mereka. “Oh, jadi benar kabar yang saya dengar. Selamat, ya.” Hilmawan menyalami Alma deng

  • Pelakor itu Adikku   Bab 188. Cucu Konglomerat

    Alma hanya tersenyum tipis. Matanya menatap Maharani tanpa menunjukkan emosi yang berlebihan. “Itu memang tugasku sebagai dokter,” ucapnya lembut. “Tanpa harus diminta siapa pun, aku akan mengobati pasienku dengan baik. Tidak ada alasan lain.” Maharani membuang wajah, matanya menyipit seolah tidak puas dengan jawaban Alma. Seakan ia menginginkan Alma merasa tersudut, namun yang ia dapat justru hanya sikap profesional yang membuatnya semakin kesal. Alma tidak ingin memperpanjang percakapan itu. Ia tahu betul, kata-kata Maharani penuh sindiran. Namun menanggapi hanya akan memperkeruh suasana. “Kalau begitu, aku pamit. Istirahatlah yang cukup, Maharani. Kesehatanmu lebih penting daripada memikirkan hal lain,” tutup Alma, tetap dengan suara tenang. Ia lalu melangkah keluar. Helaan napas samar terdengar, pertanda Alma melepaskan energi negatif yang sempat menyelimutinya saat berada di ruangan itu. Baginya, Maharani hanyalah pasien, tidak lebih. Tak lama setelah Alma pergi, p

  • Pelakor itu Adikku   Bab 187. Seperti Mimpi

    Alma membuka mata dengan perasaan berbeda, lebih ringan, lebih damai. Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamarnya. Semua beban yang kemarin-kemarin menekan dadanya kini seakan lenyap, berganti semangat baru. Alma mengusap wajahnya, lalu tersenyum menatap cermin besar di kamarnya. “Hari pertama … jadi tunangannya Felix,” gumamnya pelan, seolah ingin meyakinkan diri sendiri bahwa semua yang terjadi semalam bukan mimpi. Suara ketukan pintu terdengar. “Non Alma, sarapan sudah disiapkan,” kata Bu Sarti dari luar. “Baik, Bu. Aku segera turun,” jawab Alma. Ia bangkit, merapikan rambut, lalu mengenakan blouse sederhana berwarna pastel dan celana kain hitam. Tidak ada aksesoris berlebihan, tidak ada riasan tebal. Meski kini semua orang tahu ia calon menantu keluarga Mahesa, Alma tetap ingin tampil seperti dirinya yang dulu, sederhana. Di meja makan, aroma nasi goreng hangat dan teh manis menyambut. Bu Sarti tersenyum, matanya masih berbinar haru sejak acara semalam. “Non keliha

  • Pelakor itu Adikku   Bab 186. Hari Bahagia

    Senja mulai turun perlahan di langit Jakarta ketika mobil-mobil mewah memasuki halaman hotel berbintang lima milik keluarga Mahesa. Gedung megah dengan lampu-lampu kristal yang menggantung di lobi seakan menyambut para tamu undangan dengan cahaya keemasan. Malam itu, hotel tersebut berubah menjadi saksi peristiwa besar, pertunangan Felix Alexander Mahesa dengan Alma Azzahra Kusuma. Sejak sore, Alma sudah tiba di rumah kediaman keluarga Mahesa yang letaknya tidak jauh dari rumahnya sendiri. Ia datang bersama beberapa kerabat yang turut mendampingi. Dari sana, rombongan bergerak bersama menuju hotel tempat acara berlangsung. Di kamar khusus yang disediakan untuk pengantin wanita, Alma sedang dirias. Rambutnya ditata anggun dalam sanggul modern yang dihiasi dengan bunga melati segar dan aksesori mutiara. Gaun kebaya modern berwarna putih gading melekat indah di tubuhnya, dipadukan dengan kain batik motif parang klasik bernuansa emas yang menjuntai anggun. Wajahnya dipulas dengan make-

  • Pelakor itu Adikku   Bab 185. Maaf yang tulus

    Kebahagiaan yang memenuhi dada Alma sejak menerima undangan pertunangannya dengan Felix semalam masih ia rasakan. Senyumnya masih sering terbit tanpa ia sadari, seakan hari-hari kelam yang ia lalui perlahan digantikan cahaya baru. Namun di sela rasa syukurnya, ada bayangan yang terus menghantui pikirannya, Nadine. Sehari sebelum pertunangan, Alma menepati niatnya untuk membesuk adiknya itu. Hati kecilnya mengatakan, apa pun yang sudah dilakukan Nadine, hubungan darah mereka tidak bisa diputus begitu saja. Walau rasa sakit akibat pengkhianatan Nadine masih membekas, Alma ingin memastikan adiknya tidak benar-benar sendirian. Ia berangkat ditemani seorang pria berjas abu-abu, pengacara Nadine, yang kini mengurus kasusnya. Di dalam mobil menuju penjara, Alma mendengarkan penjelasan dengan wajah serius. “Sidang terakhir sudah diputuskan, Bu Alma. Nadine divonis lima belas tahun penjara karena terbukti bersalah dalam kasus pembunuhan yang kemarin,” ujar pengacara itu dengan nada berat.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status