“Maaf, aku terlambat!” Dengan napas memburu, Septiana menerobos masuk ke dalam lift dan berdiri di antara Alma dan Leonard. Tangannya masih mencengkeram tali tas selempangnya, sementara wajahnya sedikit memerah karena terburu-buru. Leonard meliriknya dari ujung kepala hingga kaki dengan ekspresi datar. “Kamu lari dari parkiran, ya? Atau lagi kejar gosip?” “Yang jelas bukan ngejar kamu,” balas Septiana tajam, sambil mengatur napas. “Sebenarnya, aku sempat mikir dua kali sebelum mutusin ikut Alma ke sini.” Alma menahan tawa. Ia sudah terbiasa dengan dinamika antara dua orang ini—Leonard dan Septiana memang seperti anjing dan kucing.. Tidak pernah akur, tapi tak pernah benar-benar bisa saling menjauh. “Sudah mulai drama,” gumam Leonard sembari menekan tombol lantai tujuh.“Kalau kamu ke sini cuma untuk berdebat, mendingan turun aja sekarang,” ucap Leonard tenang tapi tajam. Septiana mencibir. “Tenang aja, aku datang bukan buat kamu. Tapi buat nemenin Alma. Dia itu kerja keras buat
"Kenapa pagi-pagi banget? Ini baru jam enam, loh, Ma!" Septiana masih menguap saat keluar dari kamarnya karena mendengar langkah kaki Alma mondar-mandir di ruang tengah. Pagi-pagi sekali Alma memang sudah bangun dan melangkah keluar dari kamarnya. Wajahnya segar dan cantik dengan riasan natural namun terlihat elegan. Pakaiannya rapi, mengenakan blus warna peach dan celana panjang hitam, lengkap dengan ID RS Annisa di dada. Saat ini tepat pukul 06.00. “Siang nanti aku ada kunjungan ke laboratorium Novomedica,” jawab Alma lugas. “Jadi, aku harus visite pasien kelas tiga pagi ini." Septiana duduk lebih tegak, mata melebar. “Novomedica? Kamu sendirian ke sana?” “Iya. Kenapa? Mau ikut?” Alma menanggapi tanpa ragu. Ia bercermin di kaca waftafel. Merapikan lagi rambut dan blusnya. Septiana memeluk bantal ke dadanya. “Ya, kamu nggak boleh sendirian. Kebetulan aku hari ini off, aku bisa ikut sama kamu.” Alma sekilas tersenyum. “Aku tunggu kamu di rumah sakit sebelum jam makan siang." S
Beberapa detik berlalu. Septiana dan Leonard tidak ada yang bicara. Hening. Leonard memasukkan kedua tangannya di saku celana. Tatapannya tertuju lurus ke arah Septiana yang berdiri di depannya. Wanita itu masih memasang ekspresi penuh curiga. Akhirnya, Leonard buka suara dengan nada tenang namun tajam. “Aku heran,” katanya pelan. “Sepertinya kamu punya masalah pribadi denganku. Kenapa kamu selalu terlihat terganggu setiap kali melihat aku dan Alma dekat? Dan kamu pikir aku nggak tahu soal rencanamu waktu itu? Felix yang tiba-tiba muncul hendak mengantar Alma pulang, itu pasti ulah kamu, kan?” Septiana sempat terkejut. Tapi reaksi berikutnya adalah senyum sinis yang melengkung di bibirnya. “Memangnya kenapa? Kamu mau marah?” tantangnya. Leonard menahan tawa . “Kamu sebar-bar itu rupanya. Dan ... pasti ada alasannya.” “Menurutmu?” Septiana menyipitkan mata. Leonard melangkah satu langkah mendekat. “Sepertinya kamu nggak rela Alma dekat denganku. Itu pasti karena ... kamu suka
Setelah mengucapkan terima kasih pada Felix dan melambaikan tangan di lobby, Alma melangkah masuk ke lift dan menekan tombol lantai sepuluh. Beberapa menit kemudian, pintu unit apartemen terbuka dan aroma lavender khas ruangan Septiana langsung menyambutnya. Septiana yang baru saja selesai cuci muka langsung menoleh dan menyeringai. “Tuh kaaan, jadi senyum-senyum terus,” godanya sambil melipat tangan di dada. Wajah Alma langsung memerah. Pipinya bersemu, dan untuk menutup rasa malunya, ia mengerutkan kening dan berpura-pura kesal. “Ini semua salah kamu, Na! Karena ulahmu, aku jadi nggak enak sama Leonard dan merepotkan Felix.” Septiana duduk di sofa sambil memeluk bantal. “Biarin aja. Aku memang nggak suka kamu terlalu dekat sama Leonard itu. Cukup sebatas kerjaan aja, udah.” “Kenapa sih kamu selalu berprasangka buruk sama dia? Mungkin aja dia memang bersikap seperti itu ke semua orang,” bela Alma, masih dengan nada ringan. Septiana mengangkat bahu. "firasatiku bilang nggak. Da
Mobil yang dikemudikan Felix melaju tenang di jalanan ibukota yang mulai lengang menjelang malam. Di kursi penumpang, Alma sesekali menoleh ke arah jendela, menyaksikan lampu-lampu jalanan yang berkelebat cepat. Suasana di dalam mobil terasa nyaman, tetapi Alma masih bisa merasakan detak jantungnya yang sesekali lebih cepat. Tiba-tiba ponsel Alma berdering. Nama Septiana tertera di layar. “Halo, Na?” sapa Alma, menyambungkan telepon. “Ma! Maaf ya, aku belum sampai apartemen. Aku masih di mall, ini lagi antre di kasir. Access card apartemen kan cuma satu, dan lagi aku bawa. Jadi kamu belum bisa masuk dulu …” Alma memutar tubuhnya sedikit, memegang ponsel lebih erat. “Oh, iya. Nggak apa-apa, Na. Aku tunggu aja di lobby.” “Eh, jangan dong!” sahut Septiana cepat. “Mumpung kamu bareng Felix, jalan-jalan aja dulu! Ke cafe, nonton, atau ke mall. Ngobrol-ngobrol manis kek! Udah lama juga kalian nggak jalan bareng, kan?” Alma memicingkan mata. “Septiana …” desahnya dengan nada menegur. “
“Felix?” ucap Alma pelan, nyaris seperti gumaman. Alma tidak menyangka Felix tiba-tiba saja sudah berdiri di dekatnya. Felix melangkah mendekat, masih dengan ekspresi santainya, lalu menatap Leonard secara profesional namun sedikit tajam. “Alma, aku cari kamu dari tadi. Septiana bilang kamu ada rapat dengan Prof. Mahendra.” Alma yang terkejut mencoba untuk terlihat tenang. Entah kenapa tiba-tiba saja jantungnya berdetak cepat melihat kehadiran Felix. Mungkin ia masih memikirkan ucapan-ucapan Septiana tentang Felix siang tadi. “Oh, iya. Tadi memang ada diskusi singkat soal tim pengawas.” Felix mengangguk, lalu dengan suara tenang tapi mantap, ia berkata, “Aku mau antar kamu pulang. Katanya mobilmu dibawa Septiana.” Alma mengerutkan dahi. Ia menoleh cepat ke arah Leonard, yang terlihat masih berdiri di sebelahnya, memperhatikan mereka berdua dengan mata yang tajam namun tersamarkan oleh senyum. “Oh? Tapi … kok kamu tahu mobilku dibawa Septiana?” tanya Alma, masih heran. Sebelum F