Nadine tertegun sesaat saat melihat sosok wanita yang berdiri di hadapannya. Wajah itu tidak asing. Aura arogannya juga masih sama seperti terakhir kali mereka bertemu. Ferika, ibu Arhan. Tatapan Ferika langsung turun ke arah perut Nadine yang mulai menonjol di balik seragamnya. Sorot matanya tajam, nyaris seperti pisau yang hendak menyayat. Senyum sinis muncul di sudut bibir wanita itu, dingin dan menusuk. “Jawab yang jujur,” desisnya tajam. “Apa kamu jadi menggugurkan kandunganmu?” Mata Nadine membulat. Ia langsung panik. Dengan cepat ia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tak ada yang mendengar. Beberapa langkah lagi dari tempat mereka berdiri, ada pintu masuk ke toilet umum rumah sakit—tempat orang bisa keluar masuk kapan saja. “Tante …” bisik Nadine tergesa, suaranya penuh kecemasan. Matanya gelisah, napasnya naik turun. “Tolong jangan bicarakan ini di sini. Ini rumah sakit, banyak orang. Bukan cuma saya yang akan jadi bahan omongan. Anak Tante juga.” “Kalau kamu nggak mau
Nadine menghampiri meja di pojok café dengan langkah penuh percaya diri. Ia menebar senyum terbaiknya sambil menyapa pria yang duduk sendirian dengan segelas kopi hitam. “Malam, Pak. Boleh duduk?” Nadine menarik kursi sebelum Leonard sempat menjawab. Leonard menoleh pelan, ekspresinya netral namun matanya menyipit, mencoba mengenali wajah yang tiba-tiba menyapanya. “Kamu siapa?” Nadine tersenyum manis, menyilangkan kaki dan menyandarkan punggung dengan gaya santai. “Nama saya Nadine. Dan wanita cantik yang Anda perhatikan sejak tadi itu … adalah kakak saya.” Leonard mengangkat alis. Matanya berpindah sejenak ke arah Alma dan Felix yang masih sibuk membahas sesuatu di meja mereka, lalu kembali menatap Nadine. “Kakakmu?” “Yup,” Nadine mengangguk ringan. “Namanya Alma. Cantik ya? Tapi … saya rasa Kak Alma lebih cocok sama Bapak daripada pria seperti dr. Felix itu.” Leonard mengerutkan kening. “Apa maksudmu?” Nadine mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya diturunkan seolah sedang b
Nadine duduk di kursi taman rumah sakit dengan ponsel di tangan, berselancar di media sosial sembari mencoba mencari tahu satu hal, Di mana biasanya dr.Felix nongkrong? Ia sudah menyerah jika harus mendekati Felix di rumah sakit. Terlalu banyak mata, terlalu banyak batasan. Tapi di luar, ketika suasana lebih santai, siapa tahu ia bisa lebih leluasa menggoda. Setelah mengulik beberapa akun karyawan rumah sakit dan stalking profil alumni kedokteran, akhirnya ia menemukan satu unggahan lama yang menunjukkan Felix sedang duduk di sebuah café rooftop yang cukup hits di tengah kota. Nadine tersenyum miring. Café ini cukup sering dikunjungi para dokter muda kayaknya. Mungkin dia rutin ke sana. Hari itu juga Nadine mencari tahu tentang kebiasaan Felix. Kapan pria itu biasanya pergi ke cafe? Sementara itu, Felix sedang berada di ruangan Alma. Mereka baru saja menuntaskan pembahasan tentang diagnosa pasien rawat inap yang cukup kompleks. Beberapa dokumen masih terbuka di laptop Felix, namu
Nadine termenung sendiri di atas ojek online yang membawanya pulang malam itu. Tangan kanannya masih dibalut perban tipis, padahal hanya lecet kecil karena sempat menyentuh aspal saat ia menjatuhkan diri secara dramatis di depan mobil Felix. Tapi bukan lukanya yang sakit, melainkan harga dirinya. Kenapa sih dia dingin banget?Apa aku kurang cantik? Kurang anggun? Kurang menarik? Nadine menggigit bibir. Matanya menatap kosong dari balik helm milik abang ojek. Ia tidak habis pikir bagaimana bisa Felix menolak pesonanya begitu saja. Padahal ia sudah memainkan semua strategi yang biasanya berhasil, senyuman manis, tatapan sedih, bahkan kisah dramatis tentang Alma. Begitu sampai di kost, Nadine langsung masuk ke kamar dan membanting tasnya ke atas kasur. Ia menatap cermin lama-lama.Aku masih Cantik, kan? Masih oke banget, kok. Harusnya dia terpesona. Malam itu Nadine tidak bisa tidur. Ia menyusun rencana baru. Besok ia harus tampil maksimal. Ia akan tunjukkan pada semua orang bahwa di
Bunyi klakson panjang memecah kesunyian jalan. Mobil hitam itu berhenti mendadak hanya beberapa sentimeter dari tubuh Nadine yang pura-pura ketakutan di tengah jalan. Dengan sigap, pintu mobil terbuka dan Felix melompat keluar. “Nona! Kamu nggak apa-apa?” tanya Felix panik, langsung menunduk mengecek kondisi Nadine yang duduk di pinggir trotoar sambil memegangi pergelangan tangannya. Nadine meringis, tapi dalam hati senyum puasnya hampir meledak. “Tangan aku … sakit,” rintihnya pelan, menundukkan kepala seperti sedang menahan tangis. “Ya ampun … kamu terluka.” Felix langsung berjongkok dan melihat goresan merah di tangan Nadine. “Ayo, saya antar ke klinik terdekat,” ucapnya sambil membantu Nadine berdiri. Sesaat ia tersentak ketika mengenali wajah Nadine. Tapi ia tetap tidak banyak bicara. Nadine pura-pura kesulitan berjalan, sengaja bersandar pada lengan Felix sepanjang perjalanan ke mobil. Dengan hati-hati Felix membantu Nadine duduk di kursi penumpang. Setelah menutup pintu, ia
Langkah Arhan terhenti di tangga ketika ia melihat sosok Rafael menaiki anak tangga. Jantungnya berdetak tak karuan. Wajah Rafael tampak heran, bahkan sedikit curiga. Arhan langsung memalingkan pandangan dan menuruni anak tangga dengan cepat. “Baru pulang, Dok?” sapaan Rafael cukup santai, tapi tajam. “Iy—iyaa, cuma mampir sebentar,” sahut Arhan terbata, tak berani menatap lama. Ia segera berjalan cepat menuruni tangga dan menuju ke mobilnya yang diparkir di ujung gang. Dalam hati, Arhan kalut. "Kalau Rafael cerita ke orang-orang rumah sakit kalau aku datang ke kost Nadine malam-malam, bisa kacau! Bisa makin hancur nama aku!" pikirnya. Ia menyalakan mobilnya, lalu melaju pergi tanpa menoleh ke belakang. Sementara itu, Rafael mengetuk pintu kost Nadine. Tak lama, pintu dibuka, dan muncul sosok Nadine yang sudah mengganti bajunya dengan piyama tipis warna krem, rambutnya disanggul rapi, dan aroma harum dari tubuhnya langsung menyambut Rafael. “Mas Rafael …” Nadine tersenyum lebar,