Beranda / Romansa / Pelakor itu Adikku / Bab 88. Kehilangan

Share

Bab 88. Kehilangan

Penulis: Rina Novita
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-21 11:55:04

“Alma … Alma, jangan pergi, tolong …." Suara Arhan serak, nyaris tak terdengar saat ia mengejar langkah Alma menuju kamar. Matanya memerah, napasnya tersengal, dan tubuhnya gemetar menahan amarah dan ketakutan yang bercampur jadi satu.

“Alma, dengar dulu. Aku minta maaf. Sekali ini saja, tolong dengarkan aku,” ucap Arhan lagi, kini berdiri tepat di depan pintu kamar yang nyaris tertutup.

Namun Alma tak menghentikan langkah. Ia berjalan menuju lemari pakaiannya, menarik satu koper besar dari bawah ranjang, dan mulai memasukkan baju-bajunya satu per satu dengan gerakan tenang. Dingin. Tidak tergesa, tapi jelas bahwa ia tak berniat membatalkan niatnya.

“Al, aku mohon …,” Arhan mendekat, suaranya pecah. “Aku bersalah. Aku bodoh. Tapi aku masih cinta kamu. Jangan pergi … tolong jangan ….”

Alma menoleh sebentar, tatapannya tajam menusuk. “Kalau kamu cinta aku, kamu nggak akan tidur sama Nadine.”

Arhan terdiam. Tertampar. Alma juga sudah tidak lagi memanggilnya dengan sebutan 'Mas'.

Fe
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Nancy
KARMA menanti mu Arhan dan Nadine. lanjut ceritanya..
goodnovel comment avatar
Dyah Wiryastini
Siap siap hancur si Arhan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Pelakor itu Adikku   Bab 118. Jabatan Rahasia Felix

    “Alma? Maksud Papa, apa?” Felix mengerutkan kening. Suaranya pelan.William menyandarkan tubuhnya, menghela napas dalam. Ia melepas kaca mata bacanya, meletakkannya di atas meja, lalu menatap mata putranya tajam. “Papa tahu kamu kaget,” katanya tenang. “Tapi dengarkan dulu baik-baik.”Felix diam, tubuhnya sedikit menegang. Nama Alma disebut di tengah percakapan serius tentang rumah sakit keluarga, tentu bukan tanpa alasan.“Papa sudah lama memperhatikan sepak terjang Alma di RS Annisa,” lanjut William. “Perempuan itu … cerdas, tegas, dan berdedikasi. Tak banyak dokter muda yang punya kepemimpinan seperti dia. Dan yang lebih penting, dia tidak hanya bekerja dengan otak, tapi juga dengan hati.”Felix tetap diam. Hanya rahangnya yang mengeras.William bangkit dari kursi, berjalan pelan ke arah jendela besar yang menghadap taman belakang. Cahaya lampu dari taman menyentuh sebagian wajahnya, membuat garis usia di pelipisnya semakin kentara.“Papa tahu bagaimana dunia rumah sakit saat ini.

  • Pelakor itu Adikku   Bab 117. Permintaan William

    Setelah selesai acara makan malam, sebagian keluarga berbincang di ruang tengah yang sangat luas. Diskusi tentang bisnis, informasi medis dan akademis terdengar dari pembicaraan mereka. Felix berjalan keluar ke teras samping rumah besar itu. Langkahnya mantap, meski sorot matanya masih menyimpan amarah. Di sisi teras yang menghadap taman belakang, Leonard berdiri dengan segelas anggur di tangannya, memandangi kerlip lampu taman tanpa ekspresi. Felix menghentikan langkahnya beberapa meter dari sang sepupu. “Aku pikir seorang direktur utama harus bisa profesional. Tidak mencampuri urusan pribadi dan pekerjaan,” ucapnya dingin. Leonard tak langsung menoleh. Ia mengangkat gelasnya, menyesap anggur perlahan, lalu tersenyum kecil. “Aku tahu maksudmu,” katanya akhirnya, lalu berbalik, menatap Felix dengan tatapan tenang dan seringai di wajahnya. “Kamu keberatan aku sekarang dekat dengan Alma, kan?” Felix diam. Rahangnya mengeras. “Meski Alma belum resmi bercerai, tapi kita sama-sama tah

  • Pelakor itu Adikku   Bab 116. Memperebutkan Wanita yang Sama

    Langit sudah mulai gelap ketika Felix memarkir mobilnya di pelataran rumah keluarga Mahesa. Bangunan besar berarsitektur klasik modern itu berdiri megah di tengah taman yang luas. Lampu-lampu eksterior menyorot fasad batu putihnya, memberi kesan mewah dan kokoh. Di sepanjang jalan masuk, deretan mobil mahal berjajar rapi, menandakan siapa saja tamu undangan yang hadir malam itu.Felix turun dari mobil dengan langkah cepat. Dua pelayan langsung menghampirinya dan membungkuk hormat."Selamat malam, Tuan Felix. Silakan masuk, semuanya sudah menunggu di ruang makan," ujar salah satu pelayan sambil membukakan pintu utama.Felix mengangguk, merapikan rambutnya sekilas, lalu masuk. Ia melewati lorong panjang yang dihiasi lukisan-lukisan klasik dan foto-foto keluarga besar Mahesa. Bau bunga segar bercampur rempah-rempah dari dapur menyambutnya.Begitu membuka pintu ruang makan, ruangan besar dengan meja panjang yang penuh dengan hidangan mewah langsung menyambut matanya. Di meja itu sudah dud

  • Pelakor itu Adikku   Bab 115. Apartemen Baru

    Akhir pekan itu, unit apartemen milik Septiana tampak sibuk. Di dalam, Alma tengah mengemasi barang-barangnya ke dalam koper besar. Suara koper yang diseret dan kardus yang ditutup lakban sesekali terdengar, berpadu dengan musik instrumental lembut dari speaker kecil di meja sudut. Septiana muncul dari balik pintu dapur dengan dua gelas teh hangat di tangan. Ia menyodorkan satu gelas pada Alma. "Minum dulu, jangan buru-buru pergi. Kayak dikejar debt kolektor aja!" canda Septiana. Alma tertawa kecil, menerimanya. "Makasih, Na. Aku beneran terima kasih sudah dibiarkan menumpang di sini sekian lama." "Aduh, nggak usah formal banget. Aku udah anggap kamu saudara. Kapan pun kamu bisa tinggal di sini lagi. Lagian, aku sebenarnya belum rela kamu pindah, Ma,” katanya pelan. Alma menoleh dan tersenyum. “Aku juga berat, Na. Tapi kayaknya aku harus mulai belajar hidup sendiri lagi.” "Ya, aku ngerti. Kamu perlu ruang untuk sendiri. Dan ... kalau Felix yang carikan apartemen, aku sedikit leb

  • Pelakor itu Adikku   Bab 114. Manipulatif

    Ferika menatap Nadine tajam sebelum memutar gagang pintu kamar mandi. "Klek ..." Terkunci. Alis Ferika mengerut. “Kenapa dikunci?” nadanya curiga. “Pasti ada orang di dalam!” Nadine cepat menahan napas. Ia berdiri di depan pintu, mencoba tetap tenang. “Itu rusak, Tante. Dari tadi memang nggak bisa dibuka. Sudah kulaporkan ke penjaga kos juga, cuma belum dibetulin.” Ferika menepis tangan Nadine dan mencoba lagi. “Jangan bohong! Ini jelas dikunci dari dalam! Aku tahu bedanya pintu rusak dan pintu dikunci!” Belum sempat Nadine membalas, suara langkah cepat terdengar dari arah tangga. Seorang pria berbadan tegap dengan seragam biru tua muncul, membawa handy talky di tangan. “Permisi, permisi ...," katanya sambil menghampiri. “Ada apa ini, Bu? Tadi kami dengar keributan dari lantai bawah.” Nadine langsung menyambut pria itu, wajahnya dibuat lelah dan kesal. “Pak, maaf. Ini tamu saya memaksa masuk kamar mandi. Saya sudah bilang, pintunya rusak. Tapi beliau maksa banget, sampai tuduh

  • Pelakor itu Adikku   Bab 113.. Kecurigaan

    Tok! Tok! Tok! Suara ketukan keras dari balik pintu kamar membuat Nadine terkesiap. Ia yang sedang tertawa sambil bersandar di dada Rafael di atas ranjang, langsung duduk tegak. "Apa itu tadi?" tanya Rafael sambil meraih ponsel yang tadi nyaris jatuh dari tangan. Nadine mengerutkan dahi, bangkit dari ranjang, dan mengintip dari lubang kecil di pintu. Saat melihat siapa yang berdiri di luar, wajahnya seketika pucat. “Sialan …” bisiknya panik. Rafael mendekat. “Kenapa? Siapa?” Nadine menoleh cepat. “Itu … itu ibunya dr. Arhan!” Rafael langsung panik. “Apa?! Gimana bisa—” “Diam dulu!” Nadine menahan napasnya. “Masuk ke kamar mandi, sekarang! Jangan keluar sampai aku bilang!” "Loh, kenapa aku harus sembunyi? Bukannya bagus kalau dia tahu hubungan kita? Jadi, gosip itu ..." tanya Rafael bingung. "Nanti aku jelasin. Sekarang nggak ada waktu. Cepat sembunyi!" sanggah Nadine cepat Tanpa bertanya lagi Rafael segera melesat ke kamar mandi. Nadine pun cepat-cepat menyembunyikan gelas

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status