MasukIrisha melangkah lega, seolah beban di dadanya baru saja terangkat. Ia kembali menuju ruangan ibunya dengan senyum puas mengembang di wajah.
Siapa lagi kalau bukan dirinya, dalang di balik kekacauan kecil itu. Ia yang sengaja memancing Reino keluar ruangan, membuat Revan datang di waktu yang paling tepat, dan menyalakan bara curiga di hati pria itu. Sementara itu, di ruangannya, Revan duduk terpaku di kursinya. Jemarinya mengetuk meja tanpa sadar, matanya kosong menatap berkas di depannya. Namun, pikirannya jauh melayang. Kata-kata Irisha terngiang kembali di kepalanya. “Aku tak yakin kalau dia benar-benar anak kandung, Om.” Ia mengembuskan napas panjang, mencoba menepis kegelisahan yang mulai menggerogoti dadanya. “Tidak mungkin,” gumamnya lirih. “Reino adalah anak kandungku. Anak yang kubesarkan dengan tanganku sendiri … mana mungkin Dita mengkhianati aku.” Namun, semakin ia mencoba meyakinkan diri, semakin kuat bayangan masa lalu menyeruak. Kenangan tentang Dita, wanita lembut yang dulu dicintainya, kini terasa pahit. Ia tahu betul alasan perpisahan mereka karena dirinya. Karena Revan terlalu sibuk di rumah sakit, terlalu sering meninggalkan Dita sendirian. Hingga akhirnya, jarak yang mereka biarkan tumbuh itu menjelma menjadi jurang. Dan dari jurang itulah, lahir rumor perselingkuhan yang dulu ia abaikan, tapi kini mulai terdengar begitu nyata di telinganya. Revan meremas kepalanya dengan kedua tangan. “Tidak … tidak mungkin Dita melakukan itu,” bisiknya, tapi suaranya seperti seseorang yang sedang mencoba meyakinkan dirinya sendiri, bukan kebenaran yang sebenarnya. Revan menggeram pelan, rahangnya mengeras menahan emosi. Setiap kali wajah Irisha terlintas di benaknya, rasa muak itu semakin membesar. “Ya, anakku tak pantas menikah dengan Irisha!” desisnya tajam, hampir seperti meludahkan racun. Ia mengingat kembali keberanian gadis itu, menatapnya tanpa takut, bahkan berani mencium bibirnya. Bibirnya sendiri. “Kurang ajar!” Tangannya mengepal di atas meja. “Kalau dia berani melakukannya padaku, siapa tahu di luar sana dia melakukan hal yang lebih gila lagi.” Dadanya naik-turun cepat. Ia tahu dirinya seorang dokter, orang yang seharusnya rasional. Tapi kali ini, pikirannya dikuasai rasa jijik dan kemarahan. Ia tak mau lagi melihat wajah gadis itu, apalagi mengizinkannya berada di bawah atap rumah sakit yang ia pimpin. Dan ia tahu, selama ini Reino, anaknya lah yang membiayai ibunya Irisha. Dengan langkah lebar, Revan berdiri, lalu meraih gagang telepon di atas meja. Suaranya berat dan dingin saat memerintah, “Usir pasien bernama Ibu Larasati dan anaknya dari rumah sakit ini. Sekarang juga.” Telepon di tangannya bergeming beberapa detik, hanya terdengar napas Revan yang memburu. Dan di sudut matanya, ada bayangan sesal kecil yang tak mau ia akui karena pasien yang hendak diusir itu adalah ibu dari gadis yang baru saja membuat dunianya porak-poranda. Suara gaduh dari luar membuat Irisha terdiam di dalam toilet. Suara langkah tergesa, benturan roda kursi, dan seruan suster di luar membuat dadanya berdebar tak karuan. “Kenapa ramai sekali di luar?” gumamnya pelan, merasakan firasat buruk yang menekan dada. Ia buru-buru membuka pintu. Dan saat pandangannya menangkap beberapa petugas tengah memindahkan tubuh ibunya ke atas kursi roda, lututnya seketika lemas. “K-kalian mau bawa ke mana ibuku?” serunya panik, melangkah cepat menghampiri. Salah satu suster menunduk, wajahnya tampak gugup. “Maaf, Nona Irisha, ini perintah langsung dari atasan rumah sakit ini. Pasien Ibu Larasati akan dipindahkan—” “Dipindahkan ke mana?!” potong Irisha tajam, matanya melebar tak percaya. “Ibuku masih koma! Kalian nggak bisa seenaknya memindahkan beliau!” Namun, dua petugas keamanan sudah lebih dulu menahan bahunya. “Mohon kerja samanya, Nona. Kami hanya menjalankan perintah.” “Ibu!” jerit Irisha sambil mencoba meraih tangan ibunya yang lemah. “Tunggu, ibuku jangan dibawa! Ibu masih butuh perawatan, kalian dengar nggak!?” Tapi suara protesnya hanya bergema di lorong panjang rumah sakit itu, tenggelam oleh deru roda kursi yang semakin menjauh. “Ibu!” teriak Irisha lagi sambil berlari. Ia memaksa menembus barisan petugas yang mendorong ibunya, tubuhnya hampir terseret ke lantai, tapi ia tak peduli. Tangannya terulur cepat, memeluk tubuh ibunya yang masih duduk lemah. “Aku mohon, jangan bawa ibuku pergi! Kalau kalian usir beliau, itu sama saja membunuhnya!” Petugas keamanan mencoba menarik Irisha, namun gadis itu berteriak histeris. “Lepaskan aku! Aku anaknya! Kalian nggak punya hak memindahkan pasien tanpa persetujuan keluarga!” Lorong rumah sakit seketika riuh. Beberapa pasien lain bahkan menoleh. Namun, Irisha tidak peduli lagi pada tatapan siapa pun. Ia memeluk tubuh ibunya erat, suaranya serak memohon, “Bu … bertahan ya, Risha nggak akan biarin siapa pun sakiti Ibu.” Salah satu suster menunduk ragu. “Nona Irisha, kami—kami hanya menjalankan perintah dari pemilik rumah sakit ini, jadi silakan keluar dan cari rumah sakit lain.” Mendengar nama itu, Irisha mendongak cepat. Matanya berair tapi sorotnya penuh amarah. Ia tahu, pemilik rumah sakit ini adalah Reino dan ayahnya. “Reino?” gumamnya getir. “Kau benar-benar kejam, Ren? Apa salah ibuku?” Pintu ruang perawatan yang berjarak beberapa meter perlahan terbuka. Dari sana, Revan berdiri diam, menatap pemandangan itu tanpa ekspresi. Tatapan mereka bertemu tajam, menegangkan, seolah udara di sekitar membeku sesaat. Irisha menatap lurus ke arahnya. “Oh, jadi Anda yang mengusir ibuku? Apa anak kesayangan Anda yang memintanya?” Revan menahan napas. Wajahnya tampak dingin dan kaku, namun jemarinya yang tersembunyi di saku celana menggenggam begitu kuat hingga buku jarinya memutih. Ada sesuatu yang bergolak di dalam dadanya, antara rasa bersalah yang ingin menjerit dan harga diri yang menahannya tetap tegar. “Semua biaya pengobatan Ibu Larasati bukan tanggung jawab anak saya lagi,” ucapnya datar, tanpa rasa bersalah. “Kau dan ibumu bisa cari rumah sakit lain.” “Rumah sakit lain?” Irisha menatapnya tak percaya. Air matanya jatuh satu per satu, tapi suaranya tetap tegas. “Biarkan ibuku di sini, aku akan membayarnya … berapa pun biayanya!” Revan menggeleng pelan. “Pergilah. Rumah sakit ini tidak menerima kalian lagi.” Hening sesaat. Lalu senyum getir muncul di bibir Irisha, getir sekaligus menantang. “Saya pikir, Anda seorang dokter yang bijak,” katanya lirih, namun tajam. “Tapi ternyata saya salah besar. Anda dan anak Anda itu sama saja … sama-sama kejam. Bedanya, Anda lebih pandai menyembunyikan kebusukan di balik jas putih Anda.” Revan tertegun sesaat, ada semburat rasa perih di matanya namun ia tetap diam. Irisha menghapus air matanya dengan punggung tangan, menegakkan bahu, lalu perlahan mendorong kursi roda ibunya keluar dari ruangan. Setiap langkah terasa berat, tapi ia tidak menoleh lagi. Sementara di belakang sana, Revan berdiri mematung di depan pintu. Kepalan tangannya semakin keras, nadinya berdenyut di pelipis. Ia menatap punggung Irisha yang menjauh, dan dalam hati kecil yang tak mau ia akui, ada sesuatu yang retak dalam dirinya. Seolah sisi kemanusiaannya baru saja lenyap bersama langkah gadis itu. “Apa yang kau lakukan, Revan?” batinnya mengumpat.Irisha sudah lebih dulu mencium bibirnya, membuat tubuh Revan menegang. Efek obat membuatnya tak mampu melawan, hanya bisa memejam dan merasakan bagaimana ciuman itu menuntut lebih. “Kau hanya diam?” gerutu Irisha di sela napasnya yang terengah. “Aku bahkan belum berpengalaman. Jangan buat aku bekerja sendirian.” Revan membuka mata perlahan, napasnya naik-turun tak teratur. “Dasar payah,” ledek Irisha sambil mendorong dada Revan dengan jari telunjuknya. Senyuman miring muncul di bibir Revan, tantangan itu justru membakar sisanya yang masih sadar. Dalam satu gerakan cepat, ia membalikkan tubuh Irisha hingga gadis itu terperanjat. “Om—pelan! Kau gila!” pekiknya, tapi wajahnya memerah antara kaget dan tak percaya. “Kau yang memulainya,” ucap Revan rendah, parau, dan berbahaya. “Sekarang … biarkan aku yang mengakhirinya.” Irisha yang tadi begitu berani menantang, kini berubah total, matanya melembut, tubuhnya mengecil seperti seekor anak kucing yang ketakutan namun te
Revan spontan merapatkan celananya, ekspresi terkejutnya begitu jelas sampai Irisha menahan tawa. Melihat wajah pria itu yang memerah, ia akhirnya tak sanggup dan tertawa gemas, bahunya sampai bergetar. “Om, kamu kenapa sih?” ujarnya sambil mendekat, suaranya turun satu oktaf lebih menggoda. “Aku kan istri Om. Masa sama istri sendiri malu?” Revan mengembuskan napas panjang, ketiga kalinya sejak tadi. “Risha, sebaiknya kamu ke kamar sekarang.” “Enggak mau,” sahutnya cepat, mendongak menantang. “Risha!” tegur Revan lebih keras. “Aku lagi masak makan malam,” ucap Irisha, tiba-tiba berubah ceria. “Mau aku buatin?” “Tidak perlu,” jawabnya tegas, berusaha memulihkan kewibawaannya yang tercabik sejak sentuhan tadi. “Ya sudah …” Irisha mengangkat alis, menahan tawa nakalnya. “Aku masak dulu ya? Nanti malam kita lanjutin lagi.” Ia menyipitkan mata, menggoda setengah mati sebelum berbalik menuju dapur. Revan hanya bisa memejamkan mata, menahan frustasi yang menumpuk karena sikap istriny
Reino menatap layar ponselnya sesaat setelah sambungan terputus, lalu menghembuskan napas pelan, namun senyum dingin tetap terukir di wajahnya.“Kau terlalu ikut campur dengan urusanku, Revan?” gumamnya pelan, “Kalau bukan karena hartamu dan nama besar yang menempel di belakangku, sudah lama aku menyingkirkanmu dari dunia ini.”Nada suaranya tak lagi terdengar seperti seorang anak yang berbicara tentang ayahnya, melainkan seperti musuh yang berbicara tentang target berikutnya, bahkan sisa rasa hormat di matanya telah lenyap.Setelah mengatakan itu, Reino berbalik menuju ruang rawat Vania. Senyum manipulatif kembali muncul di wajahnya saat tangannya memutar gagang pintu.“Sekarang, saatnya memastikan Vania tetap berada dipelukanku,” ucapnya pelan, sebelum menghilang ke dalam ruangan.Sementara itu, di kediaman Revan, suasana terasa begitu sunyi. Hanya terdengar bunyi jarum jam yang berdetak pelan di ruang tamu.Di lantai atas, Irisha berguling malas di tempat tidur, sampai perutnya tib
Reino tampak gugup, tangannya gemetar saat membuka map yang dibawa ayahnya. Ia berusaha terlihat tenang, pura-pura membalikkan lembar demi lembar berkas seolah mencari sesuatu yang penting. Namun, Revan sudah kehilangan kesabaran. “Reino!” bentaknya keras. Tubuh Reino menegang, pandangannya terangkat perlahan menatap ayahnya. “P–pah, maksudnya apa?” tanyanya bergetar, mencoba terdengar polos. Revan melangkah maju, wajahnya mendekat hingga hanya berjarak sejengkal. “Jangan pura-pura bodoh! Gara-gara ulahmu itu, ibunya Irisha mati!” Nada suaranya tajam, membuat udara di balkon seakan ikut menegang. Reino terdiam sesaat, matanya membulat kaget. “Papah … Papah menuduh aku yang membunuhnya?” “Ya!” jawab Revan meninggi. “Kalau bukan karena kamu membiarkan ibunya Risha tanpa pengobatan, ini semua nggak akan terjadi! Enam bulan, Reino! Enam bulan pasien itu dibiarkan begitu saja tanpa tindakan!” Reino menghela napas berat, kemudian menatap ayahnya dengan ekspresi getir. “Ayolah,
Malam itu, perut Irisha mulai keroncongan, tapi gengsinya terlalu tinggi untuk sekadar keluar kamar.“Sialan, kenapa Om Revan nggak manggil-manggil aku sih?” gerutunya kesal, sambil menatap pintu kamar yang tetap diam.Ia akhirnya melangkah ke balkon, membiarkan angin malam menyapa wajahnya. Lampu kota berkelip lembut, menambah sunyi yang tiba-tiba terasa menelusup. “Bu … Ibu lagi ngapain di atas sana? Ibu lihat Risha, nggak?” ucapnya lirih. “Risha kangen sama Ibu.”Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga. Seandainya saja Reino tidak menunda pengobatan ibunya mungkin ibunya saat ini masih ada, dan Risha tidak akan terjebak dalam pernikahan kejam ini, menikahi ayah dari kekasihnya sendiri.“Bu, setelah semua ini selesai … setelah dendam kita terbalaskan, Risha janji, Risha bakal pergi ke kampung. Kota ini … terlalu kejam buat kita.”Hingga pukul sepuluh malam, Irisha masih betah di balkon. Angin malam meniup lembut rambutnya, sementara pikirannya melayang entah ke mana
Revan mengepalkan tangan. Rasa muak menyesak di dadanya. Ia memilih pergi sebelum emosinya benar-benar meledak. Pintu kamar tertutup dengan suara blam, yang membuat udara seketika hening. Irisha menegakkan tubuhnya, menahan napas sesaat sebelum akhirnya mengembuskannya perlahan. “Huh … dasar pria keras kepala,” gumamnya. “Apa benar yang Reino bilang dulu, kalau ayahnya itu pengecut? Dan ibunya selingkuh karena muak hidup dengan pria seperti dia?” Suara lembutnya terdengar getir. Ingatannya melayang pada ucapan Reino di masa lalu, ucapan yang dulu sempat ia abaikan, tapi kini mulai terasa masuk akal. “Ya,” bisiknya lagi. “Aku harus cari tahu semuanya. Mungkin saja benar ... kalau Om Revan bukan ayah kandung Reino.” Setelah menenangkan diri, Irisha mulai membereskan pakaiannya dan beranjak ke kamar mandi. Tapi baru beberapa langkah masuk, matanya membulat tak percaya. “Ini … kamar mandi?” ujarnya terperangah. “Atau kamar hotel bintang tujuh?” Segalanya tampak begitu me







