Share

Godaan Kekasih anakku

Penulis: Aqilazahra
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-31 09:06:28

Revan menurunkan masker yang semula menutupi wajahnya, lalu berbalik menatap lurus ke arah Irisha. Tatapannya dingin, tapi ada sesuatu yang bergetar samar di balik ketegasannya.

“Sedang apa kau di sana?” suaranya datar, penuh tekanan. “Mengintip pasien dan mengganggu ketenangan mereka?”

Irisha mendengus, menegakkan bahunya. “Ya, aku sedang memergoki dua orang yang melakukan perbuatan mesum di dalam sana, Dokter.”

Alis Revan naik sedikit. “Mana buktinya?” tantangnya, nada suaranya tajam, seolah sedang menguji keberanian Irisha.

“Tentu aku punya,” sahut Irisha, tersenyum miring. “Tapi hati-hati, Dokter … kalau aku benar, bersiaplah menikahiku malam ini juga.”

Ia menyalakan ponselnya dengan penuh percaya diri, namun layar tiba-tiba padam, hitam total.

“Ah, sial!” gerutunya, menekan-nekan tombol dengan panik. “Kenapa mati sekarang sih!?”

Revan memandangi tingkahnya dengan tatapan yang sulit dibaca, lalu mengembuskan napas panjang. “Sudah,” katanya pelan. “Kau tak perlu menunjukkan apa pun. Reino sudah menjelaskan semuanya padaku. Katanya kau hanya cemburu karena dia terlalu sering menemani Vania, adik tirinya itu.”

Irisha menatapnya tak percaya. “Om percaya begitu aja?” suaranya meninggi, matanya bergetar menahan emosi.

“Tentu,” jawab Revan. “Dia anak kandung saya. Saya tahu siapa Reino, dan saya tahu bagaimana dia berpikir.”

Irisha mengerutkan kening, menatap Revan dengan tatapan tajam yang penuh tantangan. “Cih … aku malah nggak yakin kalau dia benar-benar anak kandung Om.”

Revan menegang. “Kau bilang apa?”

Irisha tersenyum sinis, melangkah mendekat hingga jarak mereka hanya sejengkal. “Aku bilang, mungkin Om cuma dibohongi selama ini oleh mantan istrimu itu. Lihat saja sikap Reino , terlalu jahat, sering menjelek-jelekan kamu dibelakang, dan satu lagi apa dia benar-benar mirip dengan wajamu?”

“Kau!” bentak Revan, suaranya pecah di antara amarah dan keterkejutan.

Namun, Irisha tak bergeming. Ia menatap balik dengan mata yang berkilat tajam. “Tenang, Dokter. Aku hanya bicara kemungkinan. Tapi kalau aku benar … berarti bukan cuma mantan istrimu yang berbohong, Reino juga berbohong, kan?”

Revan menatapnya lama, matanya menelusuri wajah Irisha seperti sedang mencari maksud tersembunyi dari perkataan itu. Tatapan mereka saling bertaut lama, seakan udara di antara keduanya seolah berhenti bergerak.

Irisha tiba-tiba merasa gugup, tapi ia berusaha menutupinya dengan senyum tipis yang penuh keberanian.

“Mana ponselmu, Om?” tanyanya pelan, suaranya terdengar lebih lembut dari sebelumnya. “Setelah ponselku diperbaiki, aku akan kirimkan rekaman video tadi. Sebagai bukti … dan pengingat kalau anakmu itu seorang pria brengsek.”

Revan diam beberapa detik, seperti menimbang sesuatu, lalu perlahan merogoh saku jasnya. Ia menyerahkan ponselnya tanpa banyak bicara, tatapannya tetap menancap pada Irisha.

“Apa yang kau mau lakukan?” tanyanya hati-hati.

Irisha tidak menjawab. Jemarinya cepat mengetik di layar, bibirnya melengkung nakal saat mengirim sebuah pesan ke nomornya sendiri bahkan menamai nomornya dengan ‘Calon Istriku.”

“Nomor calon suamimu,” tulisnya, lalu meletakkan ponsel itu kembali ke tangan Revan.

Revan menatap layar, membaca tulisan singkat itu, serta nama Irisha, keningnya berkerut, antara tak percaya dan … entah kenapa, ada sedikit senyum samar yang menahan di ujung bibirnya.

Irisha memperhatikan reaksinya, lalu dengan iseng ia mengambil ponsel itu kembali. “Nih, biar lengkap,” katanya, membuka kamera depan.

Ia memiringkan kepala sedikit, lalu klik — memotret dirinya dengan latar Revan di belakang, tampak setengah bingung.

“Nah, sudah!” ujarnya riang, menyerahkan ponsel itu kembali. “Supaya nanti kalau lupa wajah calon istrimu, bisa kau lihat-lihat dulu sebelum tidur.”

Revan hanya menatapnya, tak tahu harus tertawa atau marah. “Kau ini … benar-benar aneh,” ucapnya pelan, tapi nada suaranya sudah tak setegang tadi.

Irisha tersenyum puas, lalu berbalik meninggalkan ruangan. Namun, sebelum pintu benar-benar tertutup, ia menoleh sedikit, bibirnya menampilkan senyum tipis seperti tantangan.

“Sampai jumpa lagi, Om,” ujarnya dengan nada manja dan kerlingan nakal yang membuat Revan terdiam di tempat.

Begitu langkahnya menghilang di balik pintu, Revan menghela napas panjang. Bahunya tegang, matanya memejam sesaat.

“Reino … Reino,” gumamnya lirih. “Kamu sebenarnya nemu di mana wanita seperti itu?”

Ia mengusap wajahnya kasar, mencoba menenangkan diri. Ada sesuatu di dalam tatapan Irisha tadi, bukan sekadar keberanian, tapi juga bahaya yang terasa memancing jiwanya yang sudah bertahun-tahun hidup sendiri.

Revan melangkah keluar dari ruangan kosong itu, masih dengan perasaan gelisah yang sulit dijelaskan. Namun, langkahnya terhenti mendadak saat pintu kamar Vania di depan sana terbuka lebar.

“Papah?” suara Reino terdengar kaget.

Revan menatap putranya, napas Reino sedikit tersengal, rambutnya berantakan, dan keringat dingin membasahi keningnya. Tapi yang paling menarik perhatian Revan adalah jejak merah samar di leher anaknya.

“Pah, sedang apa di sini?” tanya Reino gugup.

Alis Revan mengerut, rahangnya sedikit menegang. “Apa yang baru saja kamu lakukan di dalam, Reino?” suaranya datar, tapi nada dinginnya membuat udara seolah membeku.

Reino menelan ludah, matanya bergerak gelisah. “Papah … aku lagi jagain Vania, dia habis operasi usus buntu.”

“Kau yakin?” tanya Revan tajam. Ia melangkah mendekat, menatap lurus pada wajah Reino yang mulai memucat.

Di balik punggung Reino, Vania tampak duduk di tepi ran-jang, wajahnya panik dan tangan gemetar dan buru-buru menarik selimut menutupi tubuhnya yang masih polos.

Tatapan Revan kali ini berpindah cepat dari anaknya ke Vania, lalu kembali lagi ke Reino. Dalam sekejap, semua potongan kecurigaan Irisha berputar di kepalanya, menyusun mozaik yang mulai tampak berwujud.

Senyum getir muncul di sudut bibirnya. “Ya sudah, papah lanjut tugas lagi,” ucapnya datar, sebelum berbalik meninggalkan mereka.

Reino menahan napas. Baru setelah langkah Revan menghilang di ujung koridor, ia membuang napas panjang.

“Huhhh ... hampir aja ketahuan,” gumamnya seraya mengusap wajahnya sendiri.

Ia menoleh ke arah Vania dengan pandangan tajam penuh kekesalan. “Lihat, kan? Seandainya kamu nggak mancing-mancing aku tadi, hal ini nggak bakal kejadian. Kita bisa aja ketahuan barusan!”

Vania menunduk, wajahnya masih memerah, tapi nada suaranya lembut, memohon. “Mas, aku cuma kangen dipeluk sama kamu”

Reino mendengus, setengah marah setengah bingung. “Ya sudah, lain kali kita harus hati-hati, jangan sampai papahku tahu soal hubungan kita.”

Vania menatapnya khawatir. “Iya. Tapi, papahmu tadi nggak curiga kan?”

Reino menegakkan bahu, mencoba menenangkan diri. “Enggak, santai aja. Papah nggak akan mikir sejauh itu.”

Namun, tanpa mereka tahu, di balik dinding kamar, seseorang tengah bersandar sambil menahan tawa pelan.

Irisha, dengan senyum puas di bibirnya.

“Bagus,” bisiknya pelan. “Sekarang tinggal tunggu waktu sampai semuanya hancur, Reino. Jika aku bisa kau khianati, mengapa aku tidak bisa membalasmu?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kau Khianati Aku, Kunikahi Ayahmu    Pelan-pelan

    Irisha sudah lebih dulu mencium bibirnya, membuat tubuh Revan menegang. Efek obat membuatnya tak mampu melawan, hanya bisa memejam dan merasakan bagaimana ciuman itu menuntut lebih. “Kau hanya diam?” gerutu Irisha di sela napasnya yang terengah. “Aku bahkan belum berpengalaman. Jangan buat aku bekerja sendirian.” Revan membuka mata perlahan, napasnya naik-turun tak teratur. “Dasar payah,” ledek Irisha sambil mendorong dada Revan dengan jari telunjuknya. Senyuman miring muncul di bibir Revan, tantangan itu justru membakar sisanya yang masih sadar. Dalam satu gerakan cepat, ia membalikkan tubuh Irisha hingga gadis itu terperanjat. “Om—pelan! Kau gila!” pekiknya, tapi wajahnya memerah antara kaget dan tak percaya. “Kau yang memulainya,” ucap Revan rendah, parau, dan berbahaya. “Sekarang … biarkan aku yang mengakhirinya.” Irisha yang tadi begitu berani menantang, kini berubah total, matanya melembut, tubuhnya mengecil seperti seekor anak kucing yang ketakutan namun te

  • Kau Khianati Aku, Kunikahi Ayahmu    Mari kita saling mengobati

    Revan spontan merapatkan celananya, ekspresi terkejutnya begitu jelas sampai Irisha menahan tawa. Melihat wajah pria itu yang memerah, ia akhirnya tak sanggup dan tertawa gemas, bahunya sampai bergetar. “Om, kamu kenapa sih?” ujarnya sambil mendekat, suaranya turun satu oktaf lebih menggoda. “Aku kan istri Om. Masa sama istri sendiri malu?” Revan mengembuskan napas panjang, ketiga kalinya sejak tadi. “Risha, sebaiknya kamu ke kamar sekarang.” “Enggak mau,” sahutnya cepat, mendongak menantang. “Risha!” tegur Revan lebih keras. “Aku lagi masak makan malam,” ucap Irisha, tiba-tiba berubah ceria. “Mau aku buatin?” “Tidak perlu,” jawabnya tegas, berusaha memulihkan kewibawaannya yang tercabik sejak sentuhan tadi. “Ya sudah …” Irisha mengangkat alis, menahan tawa nakalnya. “Aku masak dulu ya? Nanti malam kita lanjutin lagi.” Ia menyipitkan mata, menggoda setengah mati sebelum berbalik menuju dapur. Revan hanya bisa memejamkan mata, menahan frustasi yang menumpuk karena sikap istriny

  • Kau Khianati Aku, Kunikahi Ayahmu    Godaan IRisha

    Reino menatap layar ponselnya sesaat setelah sambungan terputus, lalu menghembuskan napas pelan, namun senyum dingin tetap terukir di wajahnya.“Kau terlalu ikut campur dengan urusanku, Revan?” gumamnya pelan, “Kalau bukan karena hartamu dan nama besar yang menempel di belakangku, sudah lama aku menyingkirkanmu dari dunia ini.”Nada suaranya tak lagi terdengar seperti seorang anak yang berbicara tentang ayahnya, melainkan seperti musuh yang berbicara tentang target berikutnya, bahkan sisa rasa hormat di matanya telah lenyap.Setelah mengatakan itu, Reino berbalik menuju ruang rawat Vania. Senyum manipulatif kembali muncul di wajahnya saat tangannya memutar gagang pintu.“Sekarang, saatnya memastikan Vania tetap berada dipelukanku,” ucapnya pelan, sebelum menghilang ke dalam ruangan.Sementara itu, di kediaman Revan, suasana terasa begitu sunyi. Hanya terdengar bunyi jarum jam yang berdetak pelan di ruang tamu.Di lantai atas, Irisha berguling malas di tempat tidur, sampai perutnya tib

  • Kau Khianati Aku, Kunikahi Ayahmu    Menikahi Irisha

    Reino tampak gugup, tangannya gemetar saat membuka map yang dibawa ayahnya. Ia berusaha terlihat tenang, pura-pura membalikkan lembar demi lembar berkas seolah mencari sesuatu yang penting. Namun, Revan sudah kehilangan kesabaran. “Reino!” bentaknya keras. Tubuh Reino menegang, pandangannya terangkat perlahan menatap ayahnya. “P–pah, maksudnya apa?” tanyanya bergetar, mencoba terdengar polos. Revan melangkah maju, wajahnya mendekat hingga hanya berjarak sejengkal. “Jangan pura-pura bodoh! Gara-gara ulahmu itu, ibunya Irisha mati!” Nada suaranya tajam, membuat udara di balkon seakan ikut menegang. Reino terdiam sesaat, matanya membulat kaget. “Papah … Papah menuduh aku yang membunuhnya?” “Ya!” jawab Revan meninggi. “Kalau bukan karena kamu membiarkan ibunya Risha tanpa pengobatan, ini semua nggak akan terjadi! Enam bulan, Reino! Enam bulan pasien itu dibiarkan begitu saja tanpa tindakan!” Reino menghela napas berat, kemudian menatap ayahnya dengan ekspresi getir. “Ayolah,

  • Kau Khianati Aku, Kunikahi Ayahmu    Teka-teki

    Malam itu, perut Irisha mulai keroncongan, tapi gengsinya terlalu tinggi untuk sekadar keluar kamar.“Sialan, kenapa Om Revan nggak manggil-manggil aku sih?” gerutunya kesal, sambil menatap pintu kamar yang tetap diam.Ia akhirnya melangkah ke balkon, membiarkan angin malam menyapa wajahnya. Lampu kota berkelip lembut, menambah sunyi yang tiba-tiba terasa menelusup. “Bu … Ibu lagi ngapain di atas sana? Ibu lihat Risha, nggak?” ucapnya lirih. “Risha kangen sama Ibu.”Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga. Seandainya saja Reino tidak menunda pengobatan ibunya mungkin ibunya saat ini masih ada, dan Risha tidak akan terjebak dalam pernikahan kejam ini, menikahi ayah dari kekasihnya sendiri.“Bu, setelah semua ini selesai … setelah dendam kita terbalaskan, Risha janji, Risha bakal pergi ke kampung. Kota ini … terlalu kejam buat kita.”Hingga pukul sepuluh malam, Irisha masih betah di balkon. Angin malam meniup lembut rambutnya, sementara pikirannya melayang entah ke mana

  • Kau Khianati Aku, Kunikahi Ayahmu    Tak ada lagi gugup, dan degup

    Revan mengepalkan tangan. Rasa muak menyesak di dadanya. Ia memilih pergi sebelum emosinya benar-benar meledak. Pintu kamar tertutup dengan suara blam, yang membuat udara seketika hening. Irisha menegakkan tubuhnya, menahan napas sesaat sebelum akhirnya mengembuskannya perlahan. “Huh … dasar pria keras kepala,” gumamnya. “Apa benar yang Reino bilang dulu, kalau ayahnya itu pengecut? Dan ibunya selingkuh karena muak hidup dengan pria seperti dia?” Suara lembutnya terdengar getir. Ingatannya melayang pada ucapan Reino di masa lalu, ucapan yang dulu sempat ia abaikan, tapi kini mulai terasa masuk akal. “Ya,” bisiknya lagi. “Aku harus cari tahu semuanya. Mungkin saja benar ... kalau Om Revan bukan ayah kandung Reino.” Setelah menenangkan diri, Irisha mulai membereskan pakaiannya dan beranjak ke kamar mandi. Tapi baru beberapa langkah masuk, matanya membulat tak percaya. “Ini … kamar mandi?” ujarnya terperangah. “Atau kamar hotel bintang tujuh?” Segalanya tampak begitu me

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status