MasukHujan turun perlahan, menetes di antara rambut dan wajah Irisha yang sudah basah. Tangannya gemetar saat mendorong kursi roda ibunya menjauh dari halaman rumah sakit, tempat yang baru saja menolak mereka tanpa belas kasihan.
“Ibu …” suaranya serak, tertelan derasnya hujan. “Kita sudah keluar dari rumah sakit ini, gak apa-apa ya? Risha janji bakal cariin rumah sakit lain.” Namun, tubuh sang ibu tetap diam, matanya terpejam, wajahnya pucat dan dingin. Irisha menggigit bibir, menahan tangis yang sudah menggenang. Ia menoleh kanan-kiri, mencari tempat berteduh, sampai akhirnya menemukan sebuah toko tua yang sudah tutup di pinggir jalan. Dengan susah payah ia mendorong kursi roda ke bawah atap toko itu. “Bu … maaf ya, Risha nggak bisa jaga Ibu dengan baik…” Ia berlutut di hadapan ibunya, menggenggam tangan yang mulai kaku itu dan menempelkannya ke pipinya. Hujan semakin deras, tapi Irisha tak peduli. Air mata bercampur air hujan, mengalir tanpa henti di wajahnya. “Ibu, tolong … jangan tinggalkan Risha sendirian. Bertahan ya, Bu?” Suaranya pecah, menggigil di antara udara dingin dan keputusasaan. Ia memeluk tubuh ibunya erat, berharap hangat tubuhnya bisa menular, berharap kehidupan masih tersisa di sana. Namun, hanya hening yang menjawab. Dan di tengah hujan yang mengguyur, Irisha sadar, dunia ini terlalu kejam untuknya. “Bu … kenapa orang-orang jahat sama kita, Bu?” suara Irisha bergetar, tenggelam dalam suara hujan yang semakin deras. Ia memeluk tubuh ibunya erat. “Ibu tahu kan, Reino … pria yang ibu anggap baik itu, dia jahat, Bu. Jahat banget sama Risha …” Suaranya makin serak. “Dan ayahnya—ayahnya lebih jahat lagi. Dia yang ngusir kita dari rumah sakit, Bu. Padahal Ibu lagi butuh pertolongan.” Ia menarik napas tersengal, lalu menunduk, meletakkan kepala di pangkuan ibunya. “Risha harus gimana, Bu? Tolong bilang ke Risha …” Namun, sebelum sempat menenangkan diri, tubuh sang ibu tiba-tiba terguncang hebat mengalami kejang. “Ibu?” panggil Irisha kaget. “Bu! Ada apa, Bu!?” Tubuh ibunya semakin kejang, wajahnya pucat, matanya sedikit terbuka tapi pandangannya kosong. “Ibu!” teriak Irisha panik, mengguncang bahu wanita itu. “Bu, bertahan, ya? Risha mohon, jangan tinggalin Risha!” Ia segera berdiri, berlari ke tengah jalan yang tergenang air, tanpa memedulikan mobil yang melaju dari kedua arah. “Tolooong! Ada yang bisa bantu! Tolong ibu saya!!” Mobil pertama hampir menabraknya, klakson meraung panjang. Tapi Irisha tak bergeming, ia terus berlari ke arah kendaraan lain sambil melambaikan tangan, suaranya parau karena tangis dan hujan. “Ibu saya sekarat! Tolong berhenti!” Namun, tak satu pun berhenti. Hanya lampu-lampu mobil yang lewat cepat, membiarkan gadis muda itu berdiri sendirian di tengah hujan, berjuang antara harapan dan kehilangan. Irisha menatap ibunya yang masih kejang di kursi roda, tubuhnya menggigil hebat, busa keluar dari sudut bibir, dan matanya melotot menahan sakit. Ia pun kembali menghampiri sang ibu. “Ibu?! Bu, tolong jangan begini ...!” teriaknya histeris, tangannya gemetar memegangi bahu sang ibu yang semakin lemas. Dalam kepanikan, Irisha kembali berlari ke tengah jalan yang masih diguyur hujan. Mobil-mobil di jalan seakan menghilang begitu saja. “Tuhan, aku mohon bantulah aku!” jeritnya berulang-ulang. Sampai akhirnya— ia melihat mobil meluncur dari kejauhan dengan cepat, dan ia pun berlari ke arahnya. Brak! Tubuh Irisha terpental keras ke aspal. Mobil yang menabraknya berhenti mendadak, ban berdecit. Sakit menjalar di seluruh tubuhnya, tapi Irisha tak sempat mengaduh. Ia langsung bangkit dengan darah mengucur dari dahinya, menyeret langkahnya menuju mobil itu. Ia mengetuk kaca jendela dengan tangan gemetar. “Tuan ... tolong, ibu saya ... dia—” Kaca mobil perlahan turun. Dari dalam, suara berat dan dingin terdengar. “Brengsek! Apa kau sudah bosan hidup!” bentak pria itu, wajahnya masam. Irisha menatap lekat, napasnya tercekat. Dunia seolah berhenti berputar saat ia menyadari siapa pria itu. “Om Re ... Revan...,” bisiknya tak percaya. Tatapan Revan membulat, matanya tak lepas dari wajah gadis itu yang penuh luka dan darah. “Risha ...?” Irisha menunduk pelan, langkah kakinya mundur perlahan, harapan terakhirnya runtuh seketika. Ia menoleh ke arah ibunya dan menyerah. “Maafkan Risha, Bu ...,” bisiknya getir, sebelum lututnya goyah dan tubuhnya jatuh di sisi jalan, di bawah guyuran hujan yang semakin deras. Revan sempat menatap tubuh Irisha yang tergeletak di bawah hujan. Ada jeda ragu di hatinya, namun genggaman tangannya di setir semakin kuat. Ia mendengus pelan, memilih untuk tak terlibat. “Bukan urusanku,” gumamnya, mencoba meyakinkan diri. Ia menyalakan mobil, hendak tancap gas meninggalkan tempat itu. Tapi di kaca spion, pandangannya tertahan saat melihat Irisha yang perlahan berdiri, terpincang-pincang kembali ke arah ibunya yang sudah tak bergerak di kursi roda. Langkah gadis itu lambat, lemah, tapi penuh tekad. Hujan mengguyur tubuhnya tanpa ampun, membasahi rambut dan dahinya yang penuh darah. Revan tak sadar tangannya berhenti di tuas persneling. Ada sesuatu di wajah Irisha yang membuat dadanya mengeras, bukan sekadar kesedihan, tapi keikhlasan yang dalam. Irisha berlutut di depan ibunya, memeluk tubuh yang mulai dingin itu dengan lembut. “Bu ...” suaranya parau, tenggelam dalam suara hujan. “Kalau Ibu mau pergi ... Risha sudah ikhlas. Pulanglah dengan tenang, ya, Bu? Tunggu Risha di atas sana ....” Ia mengecup tangan ibunya yang dingin, memeluk tubuh itu erat seakan ingin menahan kepergian yang tak bisa dicegah. Hujan turun makin deras. Petir sesekali menyambar, menerangi wajah Irisha yang pucat dan pasrah. Revan menatapnya dari balik kaca. Ada perasaan asing yang merayap dalam dadanya, campuran antara logika kemanusiaannya, rasa iba, dan entah apa lagi. Ia menunduk, menggenggam kuat kemudi mobilnya. Namun, suara tangis lirih dari Irisha yang memanggil ibunya dalam kepasrahan memecah pertahanannya. “Sial?!” pekiknya, ia membuka pintu mobil dan setengah berlari ke arah mereka berdua.Irisha sudah lebih dulu mencium bibirnya, membuat tubuh Revan menegang. Efek obat membuatnya tak mampu melawan, hanya bisa memejam dan merasakan bagaimana ciuman itu menuntut lebih. “Kau hanya diam?” gerutu Irisha di sela napasnya yang terengah. “Aku bahkan belum berpengalaman. Jangan buat aku bekerja sendirian.” Revan membuka mata perlahan, napasnya naik-turun tak teratur. “Dasar payah,” ledek Irisha sambil mendorong dada Revan dengan jari telunjuknya. Senyuman miring muncul di bibir Revan, tantangan itu justru membakar sisanya yang masih sadar. Dalam satu gerakan cepat, ia membalikkan tubuh Irisha hingga gadis itu terperanjat. “Om—pelan! Kau gila!” pekiknya, tapi wajahnya memerah antara kaget dan tak percaya. “Kau yang memulainya,” ucap Revan rendah, parau, dan berbahaya. “Sekarang … biarkan aku yang mengakhirinya.” Irisha yang tadi begitu berani menantang, kini berubah total, matanya melembut, tubuhnya mengecil seperti seekor anak kucing yang ketakutan namun te
Revan spontan merapatkan celananya, ekspresi terkejutnya begitu jelas sampai Irisha menahan tawa. Melihat wajah pria itu yang memerah, ia akhirnya tak sanggup dan tertawa gemas, bahunya sampai bergetar. “Om, kamu kenapa sih?” ujarnya sambil mendekat, suaranya turun satu oktaf lebih menggoda. “Aku kan istri Om. Masa sama istri sendiri malu?” Revan mengembuskan napas panjang, ketiga kalinya sejak tadi. “Risha, sebaiknya kamu ke kamar sekarang.” “Enggak mau,” sahutnya cepat, mendongak menantang. “Risha!” tegur Revan lebih keras. “Aku lagi masak makan malam,” ucap Irisha, tiba-tiba berubah ceria. “Mau aku buatin?” “Tidak perlu,” jawabnya tegas, berusaha memulihkan kewibawaannya yang tercabik sejak sentuhan tadi. “Ya sudah …” Irisha mengangkat alis, menahan tawa nakalnya. “Aku masak dulu ya? Nanti malam kita lanjutin lagi.” Ia menyipitkan mata, menggoda setengah mati sebelum berbalik menuju dapur. Revan hanya bisa memejamkan mata, menahan frustasi yang menumpuk karena sikap istriny
Reino menatap layar ponselnya sesaat setelah sambungan terputus, lalu menghembuskan napas pelan, namun senyum dingin tetap terukir di wajahnya.“Kau terlalu ikut campur dengan urusanku, Revan?” gumamnya pelan, “Kalau bukan karena hartamu dan nama besar yang menempel di belakangku, sudah lama aku menyingkirkanmu dari dunia ini.”Nada suaranya tak lagi terdengar seperti seorang anak yang berbicara tentang ayahnya, melainkan seperti musuh yang berbicara tentang target berikutnya, bahkan sisa rasa hormat di matanya telah lenyap.Setelah mengatakan itu, Reino berbalik menuju ruang rawat Vania. Senyum manipulatif kembali muncul di wajahnya saat tangannya memutar gagang pintu.“Sekarang, saatnya memastikan Vania tetap berada dipelukanku,” ucapnya pelan, sebelum menghilang ke dalam ruangan.Sementara itu, di kediaman Revan, suasana terasa begitu sunyi. Hanya terdengar bunyi jarum jam yang berdetak pelan di ruang tamu.Di lantai atas, Irisha berguling malas di tempat tidur, sampai perutnya tib
Reino tampak gugup, tangannya gemetar saat membuka map yang dibawa ayahnya. Ia berusaha terlihat tenang, pura-pura membalikkan lembar demi lembar berkas seolah mencari sesuatu yang penting. Namun, Revan sudah kehilangan kesabaran. “Reino!” bentaknya keras. Tubuh Reino menegang, pandangannya terangkat perlahan menatap ayahnya. “P–pah, maksudnya apa?” tanyanya bergetar, mencoba terdengar polos. Revan melangkah maju, wajahnya mendekat hingga hanya berjarak sejengkal. “Jangan pura-pura bodoh! Gara-gara ulahmu itu, ibunya Irisha mati!” Nada suaranya tajam, membuat udara di balkon seakan ikut menegang. Reino terdiam sesaat, matanya membulat kaget. “Papah … Papah menuduh aku yang membunuhnya?” “Ya!” jawab Revan meninggi. “Kalau bukan karena kamu membiarkan ibunya Risha tanpa pengobatan, ini semua nggak akan terjadi! Enam bulan, Reino! Enam bulan pasien itu dibiarkan begitu saja tanpa tindakan!” Reino menghela napas berat, kemudian menatap ayahnya dengan ekspresi getir. “Ayolah,
Malam itu, perut Irisha mulai keroncongan, tapi gengsinya terlalu tinggi untuk sekadar keluar kamar.“Sialan, kenapa Om Revan nggak manggil-manggil aku sih?” gerutunya kesal, sambil menatap pintu kamar yang tetap diam.Ia akhirnya melangkah ke balkon, membiarkan angin malam menyapa wajahnya. Lampu kota berkelip lembut, menambah sunyi yang tiba-tiba terasa menelusup. “Bu … Ibu lagi ngapain di atas sana? Ibu lihat Risha, nggak?” ucapnya lirih. “Risha kangen sama Ibu.”Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga. Seandainya saja Reino tidak menunda pengobatan ibunya mungkin ibunya saat ini masih ada, dan Risha tidak akan terjebak dalam pernikahan kejam ini, menikahi ayah dari kekasihnya sendiri.“Bu, setelah semua ini selesai … setelah dendam kita terbalaskan, Risha janji, Risha bakal pergi ke kampung. Kota ini … terlalu kejam buat kita.”Hingga pukul sepuluh malam, Irisha masih betah di balkon. Angin malam meniup lembut rambutnya, sementara pikirannya melayang entah ke mana
Revan mengepalkan tangan. Rasa muak menyesak di dadanya. Ia memilih pergi sebelum emosinya benar-benar meledak. Pintu kamar tertutup dengan suara blam, yang membuat udara seketika hening. Irisha menegakkan tubuhnya, menahan napas sesaat sebelum akhirnya mengembuskannya perlahan. “Huh … dasar pria keras kepala,” gumamnya. “Apa benar yang Reino bilang dulu, kalau ayahnya itu pengecut? Dan ibunya selingkuh karena muak hidup dengan pria seperti dia?” Suara lembutnya terdengar getir. Ingatannya melayang pada ucapan Reino di masa lalu, ucapan yang dulu sempat ia abaikan, tapi kini mulai terasa masuk akal. “Ya,” bisiknya lagi. “Aku harus cari tahu semuanya. Mungkin saja benar ... kalau Om Revan bukan ayah kandung Reino.” Setelah menenangkan diri, Irisha mulai membereskan pakaiannya dan beranjak ke kamar mandi. Tapi baru beberapa langkah masuk, matanya membulat tak percaya. “Ini … kamar mandi?” ujarnya terperangah. “Atau kamar hotel bintang tujuh?” Segalanya tampak begitu me







