"Yang, Mas mau bicara."
Aku menoleh ke asal suara yang baru saja masuk ke dalam kamar. Memasang senyum palsu saat laki-laki yang bergelar suami tersebut datang menghampiri. Pintu kamar ditutupnya rapat dan dikunci dari dalam. Sepertinya ini pembicaraan serius. Tentu saja setelah hampir setengah jam laki-laki itu masih di ruang dapur, sedang diinterogasi ibunya. Entah apa yang dibicarakan mereka, aku tak tertarik untuk menguping. Biarkan saja. Lebih baik aku ke kamar meredakan gejolak emosi yang hampir membuncah tak tertahankan lagi."Bicara saja. Bebas kok," balasku terdengar santai dan yang segera ambil posisi duduk setelah dari rebahan."Mas minta maaf. Mas terpaksa menikah lagi. Ibu yang paksa Mas, Han." Mas Akbar tiba-tiba merosot ke bawah dan memohon dalam posisi berlutut di depanku, mengakui kesalahannya. Kedua tangannya berada di atas pahaku.Aku menengadahkan kepala ke atas tak ingin melihat mimik wajah bersalahnya. Bukan takut luluh, tapi untuk menahan emosi yang tertahan di hati sejak di ruang makan tadi. Aku tak ingin marah-marah apalagi bersikap barbar seperti kebanyakan wanita lainnya setelah tahu kebusukan suaminya. Aku ingin terlihat elegan, tampak tegar setelah tahu rahasia mereka."Ya sudah. Mau bagaimana lagi. Sudah terjadi bukan?"Nada bicara kutekan kuat agar tidak terdengar bergetar. Setengah jam cukup bagiku juga menata hati yang sempat hancur akan kecurangan mereka. Aku wanita, punya hati yang rapuh, apalagi soal cinta."Kamu tidak marah?" Dengan bodohnya pertanyaan itu dilontarkannya. Satu tanganku mengepal kuat di belakang tubuh. Aneh, siapa yang tidak marah mendengar suami menikah lagi. Hanya orang tak punya hati yang bisa mengatakan ia baik-baik saja saat tahu suaminya menikah lagi diam-diam di belakangnya."Untuk apa? Apa dengan marah, Mas bakal menceraikan Nita?" Aku menantangnya. Meski yakin itu tidak akan terjadi.Mas Akbar gelagapan. Ia segera berdiri dengan wajah salah tingkah."M–mana mu …mungkin Han, Nita sedang mengandung anak mas. Tidak boleh Mas menceraikan wanita yang sedang hamil."Alasan!"Kapan Mas menikahinya?" Aku mengabaikan jawabannya karena bagiku itu tak penting. Kulemparkan pertanyaan baru yang sebenarnya tak niat juga bertanya karena hanya ingin tahu saja sampai dimana kejujurannya. Tanpa bertanya pun, aku sudah tahu jawabannya kapan dan dimana dia menikahi wanita tersebut. Semua berawal dari pesan nomor yang tak dikenal mengirimkan beberapa foto pernikahan Mas Akbar dan Nita ke ponselku. Entah siapa orang tersebut. Aku juga tidak tahu apakah harus berterima kasih atau harus waspada padanya karena memberitahukan pengkhianatan suamiku. Kalau niat membantu bisa saja jujur padaku siapa jati dirinya agar aku bisa benar-benar berterima kasih padanya karena telah mengungkapkan semuanya. Namun tidak, niatnya hanya sebatas hal tersebut dan nomornya sudah tidak aktif ketika kucoba menghubungi balik.Dari sana juga banyak fakta terungkap. Dimana ada andil ibu mertua yang merestui hubungan keduanya tanpa memikirkan bagaimana perasaan menantu yang telah banyak berkorban untuknya, tetap setia di samping anaknya. Aku yang senantiasa mendoakan keduanya agar selalu dalam lindungan Tuhan. Bahkan aku masih berpikir positif sejak mereka pergi ke luar kota dengan alasan menjenguk keluarga yang sakit dan aku tak diajak karena harus menjaga rumah dan adik ipar yang harus diperhatikan karena menolak ikut."Ehm, baru."Aku mendelik mendengarnya. Jawaban aman. Tak jelas!"Sejak dua bulan lalu," jawabnya kemudian lebih memperjelas. Mungkin sadar kutatap tajam barusan."Dan wanita itu hamil. Hebat juga kamu, Mas. Secepat itu membuahi wanita tersebut. Sedang denganku, tak bisa." Sengaja aku memujinya. Mungkin tepatnya menyindir.Mas Rayyan kembali menggenggam tanganku. "Mas tetap cinta sama kamu, Han. Apa pun itu. Percayalah. Mas akan bersikap adil."Adil?Keadilan untuk siapa? Sejak awal saja bertindak seperti pencuri. Diam-diam menikah lagi. Namun kalimat itu cuma terendap di dasar hati. Lagi malas untuk mendebat. Hatiku sudah capek, tak perlu raga ikutan juga."Bukankah kemarin kamu nggak enak badan dan pusing. Sekarang, juga kan? Masih sama. Makanya tidak bisa masak seperti biasanya. Apa jangan-jangan itu karena hamil? Sudah diperiksa? Testpack-nya sudah digunakan?" Mas Akbar antusias bertanya. Seolah masih mengharapkan anak dariku."Negatif. Jadi Mas tidak perlu berharap lagi. Lagi pula Mas akan segera punya anak dari wanita tersebut." Kutarik dengan kuat tanganku agar terlepas dari genggamannya. Lebih baik jujur saja daripada berpura-pura hamil seperti rencana yang ingin kulakukan."N–negatif?" Tampak kaget sebentar. "Ya, nggak papa, Han, kita coba lagi. Pasti nanti berhasil. Jangan putus asa dulu.""Apa Mas? Putus asa? Bukankah Mas yang telah putus asa hingga memutuskan menikahi wanita lain? Perkataan itu harusnya untuk Mas. Jadi jangan bicara sok bijak kepadaku, Mas. Hadapi saja kenyataannya sekarang ini. Aku tak kan pernah punya anak dari Mas."Padahal bibir ingin sekali bilang kalau dia itu mandul, tidak mungkin punya anak. Namun ini bukan saatnya. Aku akan buka di waktu yang tepat. Dimana akan membuat penyesalan seumur hidupnya karena telah mengkhianatiku."Bukan begitu, maksud Mas."Aku menghentikannya bicara dengan mengangkat telapak tanganku ke depan wajahnya. "Cukup, Mas. Tidak perlu menjelaskan apa pun ke Hani. Mas sudah jelaskan ke mereka bukan apa konsekuensi dari melanggar perjanjian pra nikah kita?"Kualihkan ke hal lebih penting. Tak perlu menenangkanku atas pernikahan keduanya. Aku masih kuat untuk menerima kenyataan ini.Mas Akbar terdiam. Mulutnya tiba-tiba terkatup rapat saat kutanyakan hal tersebut."Apa keputusan Mas?" Kudesak paksa Mas Akbar. Memang disengaja. Biar dia makin bingung menentukan pilihan."Han. Mana surat perjanjian kita?"Keningku mengernyit. "Buat apa Mas menanyakannya? Ada kok. Aman.""Hm, sepertinya Mas dulu salah ambil keputusan. Ada poin yang seharusnya diubah."Diubah? Enak saja!"Diubah? Kenapa?" gegas aku bertanya. Padahal dari awal kami berdua membuatnya sudah sepakat dan tidak ada masalah dengan isi perjanjian tersebut. Kini, setelah dia yang melanggar, baru menyesal."Itu lebih merugikan Mas. Sedang kamu sendiri tidak menanggung kerugian materil apa pun kalau perjanjian itu kamu langgar."Aku tersenyum kecut mendengarnya. Sekarang dia membandingkan. Sekarang saja dibilang rugi, padahal dia sendiri yang setuju saat hal tersebut kutawarkan. Bahkan dengan jumawanya dia bilang tidak akan pernah selingkuh atau menduakanku. Jadi isi perjanjian ini bukan momok menakutkan baginya. Lalu sekarang setelah semua terjadi dan dia melanggarnya, baru merasa rugi. Bukankah surat perjanjian tersebut dibuat agar masing-masing dari kita menjaga jangan sampai hal tersebut terjadi. Kalau terjadi ya harus tanggung sendiri akibatnya."Maaf Mas. Setelah terjadi baru Mas merasa rugi dan aku tidak? Mas lupa dulu Mas dengan bangganya yakin tidak akan menduakanku, jadi poin dalam surat perjanjian kita Mas sepakati dengan kesadaran Mas sendiri. Bukan aku yang maksa. Lagi pula aku keberatan kalau harus diubah. Jadi aku tidak setuju."Mas Akbar meraup wajahnya kasar tanpa menyahutku lagi. Tampak sekali dia frustasi saat ini. Entah tekanan apa yang diberikan ibu dan istri barunya sekarang sampai dia minta aku mengubah isi perjanjian kami."Jadi apa keputusan Mas? Ceraikan dia atau bercerai denganku dan harta Mas termasuk rumah ini jadi milikku?"“Bagaimana, persiapan sudah sampai mana?” Bu Rosa bertanya saat Hanifah baru saja mendaratkan badannya ke sofa ruang tengah. Ia mampir sebentar ke rumah orangtua angkatnya ini demi menunjukkan perhatiannya pada orang yang telah berperan besar mengubah nasibnya tersebut. Sesibuk apa pun bakal menyempatkan hadir ke rumah ini. “Hm, sudah hampir beres Bu, sudah delapan puluh persen dan berjalan lancar. Sisanya ngepas baju pengantin bersama Mas Alfian,” jawab Hanifah tak jadi merebahkan punggungnya ke bahu sofa, mencoba bersikap sopan karena diajak bicara. Sebenarnya badannya terasa remuk sebab seminggu belakangan ini Hanifah sibuk kerja demi hari pernikahannya berjalan lancar. Ia tak mau konsentrasinya jadi terganggu. Makanya menuntaskan pekerjaan kantor secepatnya, sisanya biar dihandle sama asisten dan karyawan kepercayaannya. Bu Rosa tersenyum. “Syukurlah. Tidak ada kendala berarti kan?” tanya wanita berumur setengah abad itu dengan tatapan serius, memastikan. Hanifah menggeleng le
“Bu.” Akbar merangsek duduk di hadapan ibunya yang terbaring lemah di atas tempat tidur. Sejak tahu kebenaran tentang menantunya, Bu Nilam jatuh sakit. Tekanan darahnya naik, disertai demam tinggi. Akbar sudah memaksa ibunya untuk pergi berobat ke dokter, tapi Bu Nilam menolak. Ia merasa takkan ada perubahan berarti andai dirawat di sana, ini soal hati, bukan raga. Ia sakit hati. Tak menyangka bakal dicurangi menantu yang disayanginya hingga rela mengorbankan menantu pertama. Bu Nilam memutuskan tetap berada di rumah. Minta Surti saja yang merawatnya dan minum obat racikan apotek. Pasti juga sembuh, pikir Bu Nilam. “Bu, makan dulu.” Akbar mengangkat piring dan siap untuk menyuapi ibunya makan. Surti memberitahu kalau ibunya tak mau makan meski sudah dipaksa asisten rumah tangganya tersebut. Makanya terpaksa Akbar turun tangan sendiri. Kalau tidak begini keadaan ibunya akan tetap sama. Bu Nilam menggeleng. Menolak suapan Akbar yang mengayun ke mulutnya. Gerakan tangan Akbar tertahan
“Mas, kumohon. Jangan usir kami. Kasihan Kesya, dia masih kecil butuh sosok ayah, kalau–”“Tapi aku bukan ayahnya. Silakan bawa dia ke ayah kandungnya, aku yakin orang itu masih hidup bukan? Kenapa jadi membebaniku dengan dosa laki-laki lain, dosa kalian berdua tepatnya. Cih! Aku tak sudi!” sela Akbar kasar memotong ucapan Nita. Hatinya sudah mati untuk bersimpati. Kesalahan Nita dan keluarganya sudah fatal. Kesabarannya sudah diambang batas. Tega-teganya kedua ibu-anak tersebut membodohi ia dan ibunya. Bahkan karena menikahi Nita, Akbar tega menceraikan Hanifah yang menurutnya adalah istri terbaik selama hidupnya. Sekarang nasi sudah menjadi bubur, semua takkan bisa dikembalikan seperti semula. Hanifah pergi, dan Nita terpaksa diusir. Nita tak dapat menjawab, ia kehabisan kata. Sindiran Akbar benar. Kenapa malah laki-laki tersebut yang menanggung dosa ayah biologisnya Kesya, dosanya juga. Tak mungkin Kesya hadir tanpa kontribusi kedua orang berlawanan jenis tersebut. Nita menatap
“Bagaimana? Ada kabar apa?” Hanifah bertanya saat Beni minta bertemu. Katanya ada informasi penting dan harus tatap muka. Mereka sekarang berada di sebuah kafe dekat kantor Hanifah. Meskipun bingung, Hanifah menurut saja, mungkin ia kira memang ada yang harus diobrolkan secara tatap muka. selama ini komunikasi mereka lebih sering lewat sambungan telepon. “Maaf, Bu, minta bertemu. Mungkin ini laporan terakhir yang bisa saya sampaikan."Jawaban Beni berhasil membuat kening Hanifah berkerut. Dia bingung kenapa Beni mengatakan hal seperti itu, apa mau mengundurkan diri dari tugas rahasia ini? Apa semua sudah selesai? Perasaan Hanifah, semua baru setengah berjalan, bahkan terkesan baru saja dimulai. Apa jangan-jangan semua rencana mereka telah ketahuan oleh Akbar atau orang lain dan? Tapi ….Hanifah belum sempat bertanya, Beni sudah bersuara. “Sepertinya tugas saya sudah selesai, Bu. Dari kabar yang saya dengar, Nita, ibu, dan anaknya diusir dari rumah oleh Pak Akbar. Dari kabar yang saya
Beberapa hari sudah hubungan Akbar dan Nita sangat dingin. Akbar malas mengajak bicara Nita, sedang Nita takut-takut untuk memulai pembicaraan ke Akbar. Sejak melakukan tes DNA, keduanya seperti memutuskan irit bicara dan hanya sekedarnya. Terutama Akbar dan ibunya. Begitupun hubungan Bu Nilam dan Yusni. Keduanya seolah menabuh genderang perang tapi secara diam-diam dan hanya lewat tatapan mata yang sengit. Rumah Bu Nilam dan Akbar layaknya medan perang tapi dalam mode gencatan senjata. “Gimana, Bu? Mas Akbar masih mendiamkan Nita sampai sekarang ini. Bahkan cuma menengok Kesya tanpa ingin menggendongnya apalagi menciumnya seperti biasa. Suamiku itu makin menjauh seolah yakin Kesya bukan anaknya. Ia juga tak peduli dengan apa yang sudah Nita lakukan. Semua terasa sia-sia. Apa Mas Akbar sudah merasakan hal tersebut ya? Aaakh! Nita bingung. Nita pasrah, Bu.” Nita mengeluh melihat sikap Akbar padanya. Padahal Nita sudah mulai berubah. Sikapnya lebih lembut dari sebelumnya. Ia tidak lagi
“Dok, tunggu. Boleh tidak kita bicara dulu empat mata? Cuma sebentar, cuma berdua.” Baru saja seorang perawat ingin meraih Kesya dari gendongan Nita, dengan cepat ditepisnya seraya memalingkan badan ke arah berlawanan. Ia juga mengatakan hal yang membuat dokter dan perawat yang ada di dalam ruangan ini mengernyit heran. “Ada apa ya, Bu?” Dokter Iraguna tampak hati-hati bertanya. Ia merasa ada kerisauan dari wajah yang ditampakkan wanita yang berdiri di hadapannya. Kecemasan yang berlebihan. “Ada yang bisa dibantu? Kalau untuk Kesya, aman Bu, kami profesional,” imbuh Dokter menenangkan. “Hmm … bukan, bukan itu, tapi ….” Nita menatap seorang perawat di dalam ruangan tersebut seolah memberi kode pada Dokter kalau perawat itu harus pergi. Ia hanya ingin bicara berdua, cuma berdua saja bersama dokter. Kalau ibunya tidak bisa bertindak, Nita terpaksa yang turun tangan. Hanya ini harapannya. Dr. Iraguna mengisyaratkan lewat tatapannya kalau perawat bernama Bening tersebut harus pergi. P