Home / Romansa / Kau Menikah, Aku Mengikhlaskan / Bab 4 Kalau Tak Bisa Menepati, Kenapa Harus Berjanji

Share

Bab 4 Kalau Tak Bisa Menepati, Kenapa Harus Berjanji

Author: Jovita Tantono
“Adeline, ini uang mas kawin yang Nenek kumpulkan untukmu. Kamu dan Felix akhirnya menikah juga, ambillah uang ini untuk membeli perlengkapan!”

Nenek menggenggam tangan Adeline, meletakkannya ke dalam telapak tangan Felix, lalu menyelipkan kartu itu ke tangan mereka yang saling bertaut.

Air mata Adeline jatuh bercucuran, ia bahkan tak berani menatap mata Neneknya.

Berita pernikahan Felix sudah tersebar luas, Neneknya pasti juga sudah melihatnya. Tapi karena pikun, beliau menganggap mempelai wanita itu sudah pasti dirinya.

“Felix, kamu harus janji pada Nenek untuk memperlakukan Adeline dengan baik,” Nenek menggenggam tangan Felix erat, dan memohon.

“Nenek tenang saja, seumur hidup ini aku akan memperlakukan Adeline dengan baik. Kami pernah bersumpah sehidup semati, seumur hidup tidak akan saling meninggalkan,” kata-kata Felix itu menusuk hati Adeline, rasanya seperti ditusuk jarum.

Empat tahun lalu, saat mengikuti perjalanan dinas bersama Felix, dia mengajaknya ke Gunung Merbabu. Di depan Batu Tiga Kehidupan, mereka berdoa untuk ikatan dalam tiga kehidupan. Felix mengatakan bahwa dia tidak hanya menginginkan dirinya di kehidupan sekarang, tetapi juga di kehidupan mendatang, sehidup semati selamanya.

Namun kini, di kehidupan sekarang saja mereka sudah tak bisa.

Ternyata, sumpah itu memang diciptakan untuk dilanggar, janji hanya dibuat untuk dikhianati.

“Adeline, Felix, saat hari pernikahan kalian nanti, kalian harus datang menjemputku. Nenek ingin melihat pernikahan kalian dengan mata kepala sendiri,” pesan Nenek.

“Nenek, saat itu kami pasti akan menjemputmu. Kami bahkan akan bersujud di hadapanmu,” ucap Felix. Di depan Nenek, dia bukan lagi seorang CEO tinggi dan dingin yang tak tersentuh. Tidak ada kesombongan, tidak ada keangkuhan. Dia hanyalah pacar Adeline.

Keluar dari sanatorium, hati Adeline terasa seperti dipenuhi busa spons, terasa menyesakkan. Air matanya hampir tumpah. “Felix, kalau kamu tak bisa menepati, kenapa kamu harus berjanji?”

Kalau tak bisa menikahinya, kenapa kamu harus mengatakan akan menikahinya?

Kalau pada hari pernikahan tidak mungkin menjemput Nenek, kenapa kamu berjanji?

Felix menunduk, menatap pesan dari Valencia di ponselnya. Saat jemarinya mengetik balasan, dia juga menanggapi Adeline, “Sebentar lagi dia juga akan lupa. Janji itu hanya untuk menyenangkan hatinya dulu.”

Ternyata, semua kata-kata yang ia ucapkan di depan Nenek hanyalah kebohongan untuk menyenangkan hatinya.

Termasuk kata “cinta” itu, janji untuk memperlakukannya baik sepanjang hidup, janji untuk tidak meninggalkannya, semuanya bohong.

“Valencia sudah buatkan makan malam dan akan mengantar ke rumah. Aku pulang dulu, kamu naik taksi saja nanti,” ucap Felix sambil mengangkat ponselnya ke arah Adeline, memperlihatkan isi pesannya tanpa sedikit pun berusaha menutupi.

Dia sangat terbuka, tapi dia lupa bahwa Adeline adalah wanitanya. Dia mencintainya. Dengan memperlihatkan kemesraannya dengan wanita lain di hadapan dirinya, itu sama saja dengan menusuk hatinya dengan pisau.

“Hmm.” Adeline hanya mengucapkan satu kata.

Karena jika ia mengucapkan satu kata lebih banyak, air matanya akan jatuh bersamaan.

Hati mungkin sudah mati, tapi rasa sakitnya masih ada. Sakit yang menembus tulang, hingga membakar organ dalam.

Tiga bulan terakhir ini, Adeline telah merasakan betapa sakitnya patah hati di dunia ini. Ia hanya ingin tahu, tujuh hari lagi saat Felix melihat berita dia akan menikah, apa Felix juga akan merasakan rasa sakit ini?

Felix pun pergi. Mobil dan dirinya lenyap dalam gelapnya malam yang tak berujung.

Katanya mencintai, tapi dia malah meninggalkannya di malam yang sunyi dan dingin ini...

Adeline bukan wanita bucin. Dia tahu, cinta Felix padanya telah berakhir sejak Valencia kembali.

Tapi dia masih rela bersikap manis padanya. Mungkin karena dia masih berguna bagi Felix.

Minggu lalu, dia sendiri mendengar dengan jelas Felix berbicara dengan temannya, “Kalau bukan karena Valencia bersikeras ingin dia yang mengurus pernikahan, aku sudah lama menyuruh dia pergi.”

Dia mempertahankannya hanya demi menyenangkan calon istrinya.

Kartu di tangan Adeline terasa menusuk ke telapak tangannya. Ia menoleh, menatap lampu kamar nenek, bayangan tubuh bungkuk itu masih tampak samar di balik cahaya.

Dia adalah seorang yatim piatu. Ibunya meninggal tak lama setelah melahirkannya, dan Nenek-lah yang membawanya pulang dan membesarkannya. Nenek adalah satu-satunya keluarga yang dia miliki di dunia ini.

Dua tahun lalu, Nenek didiagnosis kanker lambung stadium akhir. Bisa bertahan hidup hingga sekarang saja sudah merupakan keajaiban.

Nenek hanya ingin melihatnya menikah, ingin melihatnya bahagia. Dia tidak boleh mengecewakan Nenek.

Ia pun mengeluarkan ponsel, membuka pesan yang disemat di paling atas, dan mengetik sebuah pesan [Kamu bersedia menikah denganku?]
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kau Menikah, Aku Mengikhlaskan   Bab 100 Katanya Aku Sudah Tidur dengan Banyak Pria

    Di belakang Adeline adalah meja hidangan penutup. Ia tak sempat menghindar dan memang tak bisa sembarangan bergerak. Kalau sampai menabrak meja itu, harga dirinya bisa jatuh.Tubuh Valencia menimpanya secara langsung. Bahkan dia sempat berteriak kecil, membuat semua mata di ruangan langsung beralih menatap ke arah mereka.Meski tubuhnya menimpa Adeline, kekuatan Valencia sebenarnya tidak besar. Adeline langsung sadar, ini adalah trik terakhirnya setelah cara halus maupun kasar gagal. Sekarang mulai main licik. “Valencia, kamu benar-benar tak tahu malu.”“Tak ada pilihan, siapa suruh kamu tidak kerja sama?” meski dihina, wajah Valencia masih penuh kepuasan.Adeline mendorongnya, “Seperti plester murahan.”“Ada apa ini?” suara Stella terdengar lebih dulu saat ia datang menghampiri.Belum sempat Adeline menjawab, Valencia sudah lebih dulu berdiri sambil memijat pelipis, “Maaf, Nyonya Brown. Tadi aku tiba-tiba merasa pusing, untung saja Nyonya Muda Brown sempat menolongku.”Penjelasan Vale

  • Kau Menikah, Aku Mengikhlaskan   Bab 99 Silakan, Nyonya Galvin

    Valencia tak berani, juga tak bisa.Tujuannya datang ke sini hari ini, ia sangat paham. Hanya saja Adeline benar-benar membuatnya emosi, hingga hilang kendali sesaat.Valencia diam-diam mengatur napasnya. Wajah yang tadi dipenuhi amarah kini diganti dengan senyum palsu, “Nyonya Brown, jangan salah paham. Aku hanya ingin sedikit lebih akrab, supaya orang lain tak melihat kita saling berseteru.”Ucapannya menyentuh titik yang tepat. Meski para nyonya dan sosialita di acara ini tampak ramah dan penuh senyum di depan mereka, siapa tahu apa yang dibicarakan di belakang. Mereka pasti sibuk mengarang cerita tak senonoh tentang dua wanita yang pernah berhubungan dengan pria yang sama.Bagaimanapun juga, dua wanita yang pernah terlibat dengan satu pria akan cukup bagi mereka untuk membayangkan seribu satu kisah liar tanpa batas.Valencia memberi dirinya sendiri jalan keluar yang sopan, namun Adeline tak memberinya muka sama sekali. Ia hanya menanggapi dengan senyum sinis, “Nyonya Galvin, aku pa

  • Kau Menikah, Aku Mengikhlaskan   Bab 98 Karena Aku Bisa Menenggelamkan Cahayamu

    Mengikuti arah pandangan Stella, Adeline melihat sosok yang dikenalnya, Valencia.Ucapan Stella barusan membuat Adeline tersenyum geli, hatinya pun terasa hangat.Kebanyakan ibu mertua pasti menyimpan keberatan terhadap masa lalu menantu mereka, terlebih jika berkaitan dengan wanita lain dari hubungan suaminya. Tapi Stella tidak seperti itu. Ia bahkan mengingatkan Adeline agar berhati-hati terhadap mantan kekasih suaminya.Stella menarik lengan Adeline sedikit dan berbisik pelan, “Perempuan itu begitu datang langsung sibuk cari perhatian.”Wajah Stella penuh dengan rasa tak suka yang tak ditutupi sedikit pun.“Mama, aku tahu kok. Tenang saja,” Adeline merespons santai sambil mengedipkan mata genit.“Kalau ada yang berani macam-macam sama kamu, langsung datang ke Mama. Mama akan membelamu,” ucap Stella mantap. Panggilannya yang terus-menerus menyebut “Mama” itu, secara tak terduga, mengisi kekosongan yang sejak lama ada dalam hati Adeline.“Pergilah, makanannya di sini cukup enak hari i

  • Kau Menikah, Aku Mengikhlaskan   Bab 97 Ditimpa Keberuntungan

    “Edric, akhir-akhir ini cukup uang nggak?”Besoknya di pagi hari, saat Edric baru bertemu Leo, ia langsung dilempar pertanyaan seperti itu.Edric sempat melongo, belum sempat merespons, Leo sudah menyusul dengan ucapan, “Mulai bulan ini, gajimu naik dua kali lipat. Tambahan liburan sepuluh hari dengan gaji penuh di akhir tahun.”Apa?Edric merasa seperti sedang berhalusinasi. Apa yang sudah dia lakukan sampai tiba-tiba ditimpa keberuntungan sebesar ini?“Kenapa? Masih kurang puas?” suara datar Leo bikin Edric langsung siuman.“Terima kasih, Tuan Leo,” Edric buru-buru mengucapkan terima kasih meski masih bingung tak karuan. Dalam hatinya bertanya-tanya, sebenarnya apa yang membuatnya dapat bonus segila ini?“Bukan ke aku, tapi terima kasihnya ke Nyonya,” Leo menjelaskan sambil lalu.Namun hingga akhir hari, Edric tetap tidak menemukan jawaban. Ia yakin dirinya nggak merasa pernah melakukan sesuatu yang berarti untuk Nyonya. Tapi kalau bos sudah bilang, ya catat saja dalam hati.Akhir pe

  • Kau Menikah, Aku Mengikhlaskan   Bab 96 Semoga Kau Bisa Sepenuh Hati

    Keluarga Brown.Unit besar yang ada tepat di seberang apartemennya.Dan sekarang, sebuah rumah bergaya taman pribadi.Apakah Leo ingin mengurungnya dengan rumah-rumah ini?“Leo, kamu sepertinya lupa kalau pernikahan kita hanya untuk tiga bulan, dan sekarang bahkan kurang dari tiga bulan lagi,” ujar Adeline mengingatkan.Leo yang masih setengah mengantuk hanya menjawab dengan malas, “Bukankah masih dua bulan dan dua belas hari?”Dia bahkan mengingat tanggalnya lebih jelas daripada dirinya.“Kalau kamu tahu, kenapa repot-repot melakukan semua ini?” Rumah ini, mulai dari taman kecil hingga interiornya, semuanya dibangun sesuai seleranya.Leo bahkan tahu ukuran pakaiannya dengan tepat, jadi Adeline tidak heran dia bisa menebak apa yang disukainya.Apa yang dia sukai belum tentu disukai orang lain. Ketika mereka berpisah nanti, rumah ini jelas akan berpindah tangan. Pada saat itu, dia harus merenovasi ulang, dan itu jelas merepotkan.Tapi yang membuat Adeline cemas adalah sikap Leo. Ia teru

  • Kau Menikah, Aku Mengikhlaskan   Bab 95 Nyonya Brown, Pinggangku

    “Temani aku keliling sebentar!”Dengan satu kalimat itu, Leo sukses menyeret Adeline keluar dari Sanatorium hingga sampai di gerbang depan.Mobil mencolok dan penuh gaya yang sempat dipuji oleh Brilliant masih terparkir di sana dengan sikap arogan. Leo melingkarkan lengannya di pinggang Adeline, melirik mobil itu lalu melirik Adeline, “Aku bilang kan, mobil ini cocok sama kamu, tapi rasanya masih kurang sedikit. Untuk sekarang, kita pakai ini dulu. Nanti kita pilih yang lebih bagus lagi.”Jadi... mobil ini hadiah darinya?Adeline sempat tertegun. Ia tak menyangka. Mobilnya yang lama sebenarnya masih bisa dipakai setelah diperbaiki, tidak perlu beli yang baru.Tapi mobil ini sudah ada di depan matanya, menolak pun hanya akan membuang energi. Lagi pula, barang-barang dari Keluarga Brown sudah terlalu banyak ia terima. Pada akhirnya toh semua tak akan ia ambil. Jadi satu tambahan ini pun tak ada bedanya.Begitu seseorang mulai berpikir lebih ringan, banyak hal pun jadi lebih sederhana dan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status