Home / Rumah Tangga / Kau Peras Peluhku Demi Madu / 6. Kenyataan Semakin Pahit

Share

6. Kenyataan Semakin Pahit

Author: Shaveera
last update Last Updated: 2023-06-07 12:04:45

Usapan dan bisikan lembut diutarakan oleh suamiku. Gelenyar aneh muncul direlung hati, sedikit kecewa tetapi apalah dayaku. Aku hanya seorang istri yang suaranya sangat sulit di dengar oleh kaum adam, terutama suami. Jadi apa yang dikatakan oleh suami harus dituruti dan jangan membantah. Istri penurut jaminan surga. Selalu itu yang terucap dari lisannya Yahya, suamiku.

Waktu terus berputar, adan luhur pun terdengar. Aku beranjak dari kursi dan melangkah meninggalkan suamiku yang masih terdiam di posisinya. Aku bersikap acuh dan dingin, kubiarkan dia seperti itu tanpa memintanya berdiri. Entah, hatiku masih terasa sakit dan perih. Segera ku ambil wudlu dan bersiap menghadap sang khalik.

Di atas sajadah, kuadukan semua kisah sedihku hari itu. Aku begitu tersiksa, disaat hamil tua harus mendengar suami sendiri bertutur ingin poligami. Namun, hal itu sudah dia lakukan selama tiga bulan. Selama itu pula akulah yang selalu bekerja di warung ayam bakar kami. Si Yahya hanya memantau saja dan menghitung hasil jualan, selain itu tidak ada.

"Apakah sesakit ini perselingkuhan itu? Beri jalan yang terbaik untuk hidup kami, Ya Robb!" pintaku lirih pada sang pencipta.

Setelah semua rasa yang menyesak kuungkap melalui doa dan lantunan ayat suci Al Quran, barulah jiwaku merasa sedikit temang. Aku pun berjalan keluar menuju ke warung untuk bergantian dengan karyawan yang ingin istirahat sejenak sekedar melakukan kewajiban salat luhur. Andi pun ijin untuk pergi le masjid dekat rumah, di sanalah dia melakukan ibadahnya.

"Bu, tadi Pak Yahya ambil uang hasil jualan hari ini sebesar dua ratus ribu rupiah, sekarang saya istirahat buat salat luhur dulu," ujar Andi.

"Iya, silahkan, Ndi. Biarkan saja," balasku.

Kulihat Andi pun berjalan menuju arah ke masjid. Aku kembali berkutat dengan pekerjaan bakar membakar ayam. Kebetulan ada pesanan buat jam satu siang, maka segera aku bakar ayam dua ekor. Pembeli minta dipotong, sepuluh menit semua sudah selesai hanya tinggal nunggu pembeli datang.

30 menit sudah aku mempersiapkan pesanan ayam bakar dan kulihat Andi sudah pulang dari waktu istirahatnya. Aku pun duduk santai di depan warung sabil bermain ponsel, sesekali ada chat masuk di aplikasi hijau. Chat yang masuk kebanyakan para pelanggan yang memesan ayam bakar. Aku pun memberitahukan pada Andi agar menulis pesanan mereka.

"Wah, sepertinya ini rezeki adik bayi dech, Bu. Terbukti penjualan hari ini begitu lancar," ujar Andi padaku dengan nada sumringah.

"Alhamdulillah, semoga seperti ini terus hingga lahiran, Ndi," ucapku lirih.

"Aamiin," balas Andi dengan senyumnya yang tulus padaku.

Aku pun juga membalas senyumnya. Sungguh hari yang sangat melelahkan bagiku. Hampir setiap hari bekerja di warungku sendiri bersama Andi, sedangkan Prasetyo sudah mengundurkan diri. Hanya pada ponakanku saja aku bahu membahu melayani pembeli. Sedangkan suamiku, hampir setiap waktu berada di luar rumah.

Berbagai tujuan dia kemukakan sebagai alasannya, terkadang dia meminta ijin untuk ke pondokan menghadiri tausiah seorang ulama terkenal sampai dia pulang pagi. Namun, terkadang suamiku itu tidak pamit langsung saja mengambil uang sesuka dia. Sedangkan aku yang di rumah selalu dikontrol pengeluaran setiap harinya. Sungguh rasa sesak itu terkadang sering menyapa tanpa permisi.

Seperti hari ini, disaat aku merasakan betapa sakitnya menunggu masa lahiran. Perut terasa mules dan penuh, seakan ingin buang hajat tetapi tidak segera. Bolak balik keluar masuk kamar mandi masih terasa mules perutku. Setiap aku merasa tidak nyaman, pandanganku selalu tertuju pada jarum jam. Bagaimanapun aku harus bisa menahan diri agar bisa bersama suami saat lahiran nanti. Akan tetapi ternyata semua inginku tidak bisa terpenuhi.

"Bu, darahnya sudah keluar, apakah perlu saya antar ke rumah sakit?" tanya Andi penuh kekhawatiran akan darah yang mengalir perlahan dari pangkal pahaku yanh sudah merembes hingga merubah warna gamisku.

Aku pun menunduk dan benar apa yang dikatakan oleh Andi. Darah hitam kental mengalir perlahan menuju ke mata kaki, aku termangu sejenak melihat alirah itu hingga suara dering telepon membuatku sadar. Rupanya ada pembeli yang memesan ayam bakar satu jam kedepan sebanyak lima ekor. Desah napas lega tanpa sadar lolos dari bibirku.

"Bagaimana ini, Bu?" tanya Andi

### Shaveera ###

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   168. Sebuah Keputusan Yang Sakit

    Aku pun memanggil Zahra dan Abdul setelah menurunkan semua barang bawaan Adam. Kedua anakku pun segera keluar dari rumah."Umi ingin membesuk abah kalian, siapa yang akan ikut dan tinggal di rumah?" tanyaku."Aku ikut saja, Umi. Biar Halimah di rumah bersama Arkan, kau bagaimana Abdul?" kata Adam."Aku ikut, mungkin Zahra saja yang tetap tinggal di rumah menemani Kak Halimah. Iya 'kan Zahra?" tanya Abdul yang memandangku lalu berganti pada Zahra.Putriku itu mengangguk tetapi mukanya cemberut, ada sebersit rasa kecewa. Namun, aku mencoba memberinya pengertian. Agar dia mau tinggal di rumah, akhirnya gadis kecilku pun setuju.Setelah kata sepakat tercapai, kami bertiga segera masuk ke dalam mobil. Sopir pun melajukan kendaraannya menuju ke Rumah Sakit Bayangkara. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah sakit itu. Keadaan jalanan yang sepi bagai kita mati membuat lalu lintas Surabaya begitu lengang.Kuinjakkan kakiku dengan napas berat, kuatur ulang pola napasku dan hatiku. Mampuka

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   167. Memberi Kabar

    Aku terdiam cukup lama, mencari jalan keluar untuk masalah ini. Akhirnya kucoba hubungi Adam untuk menyelesaikan masalah ini. Mengingat ini berita sangat penting akhirnya kupaksakan hatiku. Panggilang terhubung tetapi belum diangkat. Hingga panggilan yang kedua barulah diangkat, kudengar suara wanita yang lembut."Assalamualaikum, Umi! Ada apa dini hati seperti ini hubungi mas Adam?" kata Halimah."Waalaikumsalam, Halimah. Ini abah baru saja mengalami kecelakaan bersama istri sirinya, saat ini sudah ditangani oleh polisi dan masuk ke RS. Polda. Sedangkan pesanan ayam bakar untuk esok setelah salat idul fitri ada 150 ayam, tolong Umi!" paparku tanpa ku tutupi.Hening, aku masih menunggu reaksi lanjutan dari seberang. Aku masih diam, tetapi kudengar langkah mendekat dan duduk di sampingku."Biar Abdul yang lihat kondisi abah, Umi. Berhubung ini sudah menjelang dini hari, sebaiknya Umi pejamkan mata agar esok terasa sedikit segar!" pinta Abdul."Benar apa yang dikatakan oleh Abdul, Umi.

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   166. Kabar Duka

    Aku pun hanya tersenyum di balik cadar untuk melepas kepergian suamiku. Sebenarnya sudah hal biasa dia pergi tinggalkan aku sendiri dalam memberesi semua pekerjaan, tetapi malam ini ada yang berbeda. Sebuah rasa was was menelusup di relung hati, Abdul pun yang juga ada di dekatku hanya berdiri mematung menatap kepergian abahnya."Apakah ini tidak apa, Umi?" tanya Abdul."Semoga saja tidak, Abdul. Kita bereskan ini lebih dulu, lalu segera istirahat agar esok menjelang subuh bisa bakar ayam dalam keadaan fit!" kataku sambil mulai memberesi barang.Abdul pun segera melakukan apa yang aku perintahkan dengan rapi. Semua lantai teras dibersihkan dan langsung dia pel. Hal ini kami lakukan dengan bekerja sama, bahkan kali ini Zahra juga ikut turun. Putriku itu membantu membereskan semua wadah baskom yang sudah aku cuci. Cukup lama waktu yang kami gunakan untuk membersihkan teras, hingga pukul delapan malam semua baru selesai. Aku menutup warung lebih dulu tetapi masih berada di dalam. Kulih

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   165. Tiga Hari Akhir Puasa

    Sesaat Bulan pun sampai dari belanjanya, kemudian kutatap manik mata wanita itu. Bulan menjadi salah tingkah, dia merasa bingung mengartikan tatapanku padanya. Lalu wanita muda itu mengalihkan pandangannya ke Sambuel sambil mengangkat dagunya. Samuel kulihat menggedikkan bahu."Apa yang sedang kalian sembunyikan?" tanyaku sambil menatap keduanya bergantian.Bulan menggelengkan kepala tanda dia tidak mengerti apa yang aku tanyakan, sedangkan Samuel hanya senyum simpul membuatku semakin geram dan penasaran. "Bisa kau jelaskan alasan kamu masuk pagi, Sam?" tanyaku lebih detail lagi.Samuel menarik napas panjang, lalu dihempas perlahan. Setelahnya dia menatap sepeda motor pengantar ayam gembung. Pak Roni sendiri yang antar ayam gembung itu. Ini kesempatanku untuk bertanya berapa suamiku mengorder ayam hari ini."Bu Arini ini ayamnya masih separo ya, sisanya nanti sekitar jam sepuluhan!" kata Roni."Sebentar to, Pak. Memangnya suamiku pesan berapa?" tanyaku."100 ekor ayam, untuk tiga har

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   164. Salah Paham

    "Apakah Umi sudah lupa? Atau kasih ijin dalam diam?" cerca Yahya padaku.Jujur aku diam bukan karena lupa atau apapun itu, sungguh suamiku itu mahkluk adam yang tidak peka. Siapa dia meminta ijin wanita lain masuk ke dalam rumah pribadiku. Rumah warisan dari orang tuaku, sedangkan dia di sini numpang. Meskipun uang untuk ganti warisan para saudaraku yang lain merupakan hasil kerja ayam bakar tetapi itu tetap hal aku yang terbanyak.Aku hanya bisa mendesah kesal, tetapi untuk terucap rasanya enggan. Lebih baik diam saja daripada nanti lisanku mengeluarkan kata berbobot yang diijabah Allah malaah lebih parah. Seperti kara para orang tua dulu, jika istri atau ibu yang teraniaya mengucapkan kata balas dendam bisa langsung terjadi. Mengingat nasehat itu membuatku menjaga lisanku baik suara maupun batin. Aku tidak mau berucap yang bisa menjadi doa dan berakibat fatal. Apalagi ini menyangkut nasib anak-anak ke depan."Umi, kok diam. Jawab dong!" pinta Yahya dengan nada lembut."Tidak aku ja

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   163. Penjelasan

    Aku dan Zahra melangkah tanpa memedulikan panggilan suamiku. Zahra pun terlihat lebih memilih aku dari abahnya, dia kulihat langsung meraih ponselnya. Entah siapa yang akan dia hubungi, aku hanya menunggu duduk di sebelahnya. Bibir Zahra tersenyum kala panggilannya tersambung."Asslaamualaikum, Kak Abdul! Aku mau curhat ini, dengerin yaa!" sapa Zahra sekalian dia meminta pada kakaknya itu. Aku tersenyum.Lalu Zahra mulai menceritakan semua kejadian yang baru saja dialaminya di teras rumah tadi. Aku yang mendengar hanya geleng kepala, sungguh putriku itu meluapkan emosinya pada kakak tirinya. "Dia abah kamu lho, Kak. Mana ada seorang abah kok kek gitu, bawa anak dari wanita lain yang bahkan bukan darah dagingnya. Pokoknya aku tidak mau tahu, nanti Kak Abdul harus ikut merawat umiku. Enak saja!" Begitu keluh Zahra pada kakaknya, "Dan tanggung jawab padaku juga lho, janji!" lanjutnya memastikan apa yang diucapkan oleh Abdul.Aku hanya tersenyum saat Zahra menutup panggilannya itu. Lalu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status