Share

6. Kenyataan Semakin Pahit

Usapan dan bisikan lembut diutarakan oleh suamiku. Gelenyar aneh muncul direlung hati, sedikit kecewa tetapi apalah dayaku. Aku hanya seorang istri yang suaranya sangat sulit di dengar oleh kaum adam, terutama suami. Jadi apa yang dikatakan oleh suami harus dituruti dan jangan membantah. Istri penurut jaminan surga. Selalu itu yang terucap dari lisannya Yahya, suamiku.

Waktu terus berputar, adan luhur pun terdengar. Aku beranjak dari kursi dan melangkah meninggalkan suamiku yang masih terdiam di posisinya. Aku bersikap acuh dan dingin, kubiarkan dia seperti itu tanpa memintanya berdiri. Entah, hatiku masih terasa sakit dan perih. Segera ku ambil wudlu dan bersiap menghadap sang khalik.

Di atas sajadah, kuadukan semua kisah sedihku hari itu. Aku begitu tersiksa, disaat hamil tua harus mendengar suami sendiri bertutur ingin poligami. Namun, hal itu sudah dia lakukan selama tiga bulan. Selama itu pula akulah yang selalu bekerja di warung ayam bakar kami. Si Yahya hanya memantau saja dan menghitung hasil jualan, selain itu tidak ada.

"Apakah sesakit ini perselingkuhan itu? Beri jalan yang terbaik untuk hidup kami, Ya Robb!" pintaku lirih pada sang pencipta.

Setelah semua rasa yang menyesak kuungkap melalui doa dan lantunan ayat suci Al Quran, barulah jiwaku merasa sedikit temang. Aku pun berjalan keluar menuju ke warung untuk bergantian dengan karyawan yang ingin istirahat sejenak sekedar melakukan kewajiban salat luhur. Andi pun ijin untuk pergi le masjid dekat rumah, di sanalah dia melakukan ibadahnya.

"Bu, tadi Pak Yahya ambil uang hasil jualan hari ini sebesar dua ratus ribu rupiah, sekarang saya istirahat buat salat luhur dulu," ujar Andi.

"Iya, silahkan, Ndi. Biarkan saja," balasku.

Kulihat Andi pun berjalan menuju arah ke masjid. Aku kembali berkutat dengan pekerjaan bakar membakar ayam. Kebetulan ada pesanan buat jam satu siang, maka segera aku bakar ayam dua ekor. Pembeli minta dipotong, sepuluh menit semua sudah selesai hanya tinggal nunggu pembeli datang.

30 menit sudah aku mempersiapkan pesanan ayam bakar dan kulihat Andi sudah pulang dari waktu istirahatnya. Aku pun duduk santai di depan warung sabil bermain ponsel, sesekali ada chat masuk di aplikasi hijau. Chat yang masuk kebanyakan para pelanggan yang memesan ayam bakar. Aku pun memberitahukan pada Andi agar menulis pesanan mereka.

"Wah, sepertinya ini rezeki adik bayi dech, Bu. Terbukti penjualan hari ini begitu lancar," ujar Andi padaku dengan nada sumringah.

"Alhamdulillah, semoga seperti ini terus hingga lahiran, Ndi," ucapku lirih.

"Aamiin," balas Andi dengan senyumnya yang tulus padaku.

Aku pun juga membalas senyumnya. Sungguh hari yang sangat melelahkan bagiku. Hampir setiap hari bekerja di warungku sendiri bersama Andi, sedangkan Prasetyo sudah mengundurkan diri. Hanya pada ponakanku saja aku bahu membahu melayani pembeli. Sedangkan suamiku, hampir setiap waktu berada di luar rumah.

Berbagai tujuan dia kemukakan sebagai alasannya, terkadang dia meminta ijin untuk ke pondokan menghadiri tausiah seorang ulama terkenal sampai dia pulang pagi. Namun, terkadang suamiku itu tidak pamit langsung saja mengambil uang sesuka dia. Sedangkan aku yang di rumah selalu dikontrol pengeluaran setiap harinya. Sungguh rasa sesak itu terkadang sering menyapa tanpa permisi.

Seperti hari ini, disaat aku merasakan betapa sakitnya menunggu masa lahiran. Perut terasa mules dan penuh, seakan ingin buang hajat tetapi tidak segera. Bolak balik keluar masuk kamar mandi masih terasa mules perutku. Setiap aku merasa tidak nyaman, pandanganku selalu tertuju pada jarum jam. Bagaimanapun aku harus bisa menahan diri agar bisa bersama suami saat lahiran nanti. Akan tetapi ternyata semua inginku tidak bisa terpenuhi.

"Bu, darahnya sudah keluar, apakah perlu saya antar ke rumah sakit?" tanya Andi penuh kekhawatiran akan darah yang mengalir perlahan dari pangkal pahaku yanh sudah merembes hingga merubah warna gamisku.

Aku pun menunduk dan benar apa yang dikatakan oleh Andi. Darah hitam kental mengalir perlahan menuju ke mata kaki, aku termangu sejenak melihat alirah itu hingga suara dering telepon membuatku sadar. Rupanya ada pembeli yang memesan ayam bakar satu jam kedepan sebanyak lima ekor. Desah napas lega tanpa sadar lolos dari bibirku.

"Bagaimana ini, Bu?" tanya Andi

### Shaveera ###

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status