Share

5. Kenyataan

Author: Shaveera
last update Last Updated: 2023-06-04 20:11:50

Dua malam sudah suamiku tidak pulang kerumah. Sejak hari jumat selepas ashar dia pamit keluar hingga senin pagi selepas subuh dia pulang. Saat yang pas untuk aku membuka warungku. Usia kandunganku menginjak sembilan bulan, masa yang rawan untuk bekerja berat. Namun, aku selalu berusaha semangat melalui semua aktifitasku. Entah apa yang ada dalam pikiran Yahya, suamiku itu.

"Assalamualaikum, Umi!" ucapan salam aku dengar dari depan warung, suara khas milik suamiku.

Aku pun bangkit dari posisi dudukku yang sedang membungkus sambal bakal jual ayam bakar satu hari ini. Kulihat suamiku sedang memarkirkan sepeda motor buntut hasil warisan uang pensiun ayahku yang terakhir. Sepeda itu sangat bermanfaat untukku. Terapi sejak aku usaha warung ayam bakar ini motor buntut itu dipakai oleh suamiku.

"Waalaikumsalam, Abi. Kok baru pulang setelah tiga hari, apakah semua urusan sudah selesai termasuk si Bungsu yang katanya masuk rumah sakit?" tanyaku sambil menatapnya sedikit sinis.

"Tidak baik jika suami baru pulang sudah disambut seperti itu, Umi. Lebih baik lagi jika suami pulang itu segera dihidangkan minuman hangat dan sepiring cemilan, Umi!" decih Yahya lirih.

Aku hanya tersenyum masam, kemudian segera aku rebuskan air untuk buatkan dia segelas kopi hangat. Beberapa saat kopi itu pun jadi dan segera kuhidangkan tidak lupa lengkungan yang sengaja kubuat sedikit melebar. Yahya pun membalas dengan senyuman yang lebih lebar.

"Terima kasih, Umi. Ini yang aku suka," balasnya saat aku selesai menaruh kopi itu di atas meja.

Aku segera berlalu untuk kembali ke dalam warung, masih banyak pekerjaan yang belum aku selesaikan sebelum dua karyawanku datang. Setelah sambel siap dan jarum jam menunjukkan angka tujuh barulah aku bengkit dari dudukku. Kutunggu dengan sabar setiap pembeli yang datang ke warungku.

Hari terus berjalan hingga siang menyapa. Jualan hari ini terasa sepi, biasanya aku bisa menjual sepuluh sampai dua puluh lima kotak ayam goreng. Namun, akhir-akhir ini penjualan setiap hari menurun. Entah karena apa, aku pun juga tidak mengerti.

"Umi, jika aku poligami bagaimana?" tanya Yahya dengan nada lirih sambil memandang ku penuh harap.

"Bukankah sudah kamu lakukan, bahkan tidur dan membangun rumah janda itu?" tanyaku dengan sedikit bernada tinggi.

"Umi!" ucap Yahya dengan penuh penekanan.

Aku berlalu begitu saja meninggalkan suamiku, kujaga masalah keluargaku agar tidak diketahui oleh ponakanku. Sungguh tega pria itu, dia yang memintaku ternyata hanya memanfaatkan aku untuk membantu perekonomian keluarganya. Tuhan, beri aku kesabaran.

Sungguh hatiku terasa sakit bagai tertusuk pisau belati. Lisan suamiku ternyata lebih tajam daripada belati itu sendiri. Apalah dayaku sebagai istri yang harus nurut akan semua ucapan suami. Surga istri ada pada ridho suami, maka jagalah lisanmu jika kamu inginkan surga itu. Sepintas ingatanku memutar kata beberapa alim ulama di setiap kajiannya. Napasku berangsur rendah seiring turunnya emosiku.

"Maafkan aku, Bi. Mungkin ini sudah jalannya, tetapi janganlah seperti ini juga. Aku hanya inginkan keadilan yang benar-benar adil!" ucapku dengan nada rendah dan menunduk.

"Berapa lama Abi menikahi janda itu?" tanyaku.

"Sudah tiga bulan, seiring usaha ayam bakar Umi berkembang," jawab Yahya sambil berjalan ke arahku mengikis jarak diantara kami.

Aku diam, pandanganku kualihkan ke warung melihat kesibukan Andi yang sedang melayani pembeli. Prasetyo beberapa hari ini tidak masuk, jadi semua pekerjaan di kerjakan oleh Andi sendiri. Aku sudah cukup lelah membantu menyiapkan bahan jual di pagi hari, jadi jika Andi sudah datang maka aku pun masuk ke dalam rumah. Apalagi sejak usia kandunganku menginjak sembilan bulan.

"Umi!" lirih Yahya tepat di sampingku.

Kemudian kurasakan telapak tangan Yahya meraih jemariku lalu dibawanya dalam dekapan. Aku tetap pada arah pandangku. Desah napas berat aku dengar dari samping telinga kanan, mungkin lelakiku itu sedang menetralkan suasana hatinya. Aku harus bagaimana menghadapi sikap suami seperti itu. Sungguh rasanya ingin kuputar kembali waktu saat awal khitbah dulu.

"Usia kandungan kamu sudah berapa bulan, Umi?" tanya Yahya.

"Sembilan bulan, ada apa?" jawabku ketus.

"Kira-kira kapan Umi lahirannya?" tanya Yahya padaku sambil mengusap lembut punggung tanganku.

Aku masih diam, mencoba menelaah arti pertanyaannya. Sungguh aku tidak mengerti bagaimana bisa dia yang tanam benih tetapi dia juga yang melupakannya. Kuusap perutku yang membuncit, lirih kulantunkan bacaan sholawat nabi. Tiba-tiba suamiku beranjak dari duduknya, aku mengira dia akan pergi menjauh dari aku.

Tetapi apa yang aku perkirakan ternyata salah, suamiku itu rupanya duduk jongkok di depanku tepat pada perutku yang buncit. Perlahan diciumnya perutku di sekitar tali pusat. Kemudian diusap perlahan dengan menggunakan kedua tapak tangannya. Lamat-lamat kudengar bisikan lirih keluar dari bibirnya.

"Adik yang di sana, sehat selalu ya! Jagain umi dan bila ingin keluar untuk melihat abi dan umi tunggu saat abi di rumah ya, Sayang. Kasihan umi jika sendiri di rumah," bisiknya lalu mencium perutku cukup lama.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   168. Sebuah Keputusan Yang Sakit

    Aku pun memanggil Zahra dan Abdul setelah menurunkan semua barang bawaan Adam. Kedua anakku pun segera keluar dari rumah."Umi ingin membesuk abah kalian, siapa yang akan ikut dan tinggal di rumah?" tanyaku."Aku ikut saja, Umi. Biar Halimah di rumah bersama Arkan, kau bagaimana Abdul?" kata Adam."Aku ikut, mungkin Zahra saja yang tetap tinggal di rumah menemani Kak Halimah. Iya 'kan Zahra?" tanya Abdul yang memandangku lalu berganti pada Zahra.Putriku itu mengangguk tetapi mukanya cemberut, ada sebersit rasa kecewa. Namun, aku mencoba memberinya pengertian. Agar dia mau tinggal di rumah, akhirnya gadis kecilku pun setuju.Setelah kata sepakat tercapai, kami bertiga segera masuk ke dalam mobil. Sopir pun melajukan kendaraannya menuju ke Rumah Sakit Bayangkara. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah sakit itu. Keadaan jalanan yang sepi bagai kita mati membuat lalu lintas Surabaya begitu lengang.Kuinjakkan kakiku dengan napas berat, kuatur ulang pola napasku dan hatiku. Mampuka

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   167. Memberi Kabar

    Aku terdiam cukup lama, mencari jalan keluar untuk masalah ini. Akhirnya kucoba hubungi Adam untuk menyelesaikan masalah ini. Mengingat ini berita sangat penting akhirnya kupaksakan hatiku. Panggilang terhubung tetapi belum diangkat. Hingga panggilan yang kedua barulah diangkat, kudengar suara wanita yang lembut."Assalamualaikum, Umi! Ada apa dini hati seperti ini hubungi mas Adam?" kata Halimah."Waalaikumsalam, Halimah. Ini abah baru saja mengalami kecelakaan bersama istri sirinya, saat ini sudah ditangani oleh polisi dan masuk ke RS. Polda. Sedangkan pesanan ayam bakar untuk esok setelah salat idul fitri ada 150 ayam, tolong Umi!" paparku tanpa ku tutupi.Hening, aku masih menunggu reaksi lanjutan dari seberang. Aku masih diam, tetapi kudengar langkah mendekat dan duduk di sampingku."Biar Abdul yang lihat kondisi abah, Umi. Berhubung ini sudah menjelang dini hari, sebaiknya Umi pejamkan mata agar esok terasa sedikit segar!" pinta Abdul."Benar apa yang dikatakan oleh Abdul, Umi.

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   166. Kabar Duka

    Aku pun hanya tersenyum di balik cadar untuk melepas kepergian suamiku. Sebenarnya sudah hal biasa dia pergi tinggalkan aku sendiri dalam memberesi semua pekerjaan, tetapi malam ini ada yang berbeda. Sebuah rasa was was menelusup di relung hati, Abdul pun yang juga ada di dekatku hanya berdiri mematung menatap kepergian abahnya."Apakah ini tidak apa, Umi?" tanya Abdul."Semoga saja tidak, Abdul. Kita bereskan ini lebih dulu, lalu segera istirahat agar esok menjelang subuh bisa bakar ayam dalam keadaan fit!" kataku sambil mulai memberesi barang.Abdul pun segera melakukan apa yang aku perintahkan dengan rapi. Semua lantai teras dibersihkan dan langsung dia pel. Hal ini kami lakukan dengan bekerja sama, bahkan kali ini Zahra juga ikut turun. Putriku itu membantu membereskan semua wadah baskom yang sudah aku cuci. Cukup lama waktu yang kami gunakan untuk membersihkan teras, hingga pukul delapan malam semua baru selesai. Aku menutup warung lebih dulu tetapi masih berada di dalam. Kulih

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   165. Tiga Hari Akhir Puasa

    Sesaat Bulan pun sampai dari belanjanya, kemudian kutatap manik mata wanita itu. Bulan menjadi salah tingkah, dia merasa bingung mengartikan tatapanku padanya. Lalu wanita muda itu mengalihkan pandangannya ke Sambuel sambil mengangkat dagunya. Samuel kulihat menggedikkan bahu."Apa yang sedang kalian sembunyikan?" tanyaku sambil menatap keduanya bergantian.Bulan menggelengkan kepala tanda dia tidak mengerti apa yang aku tanyakan, sedangkan Samuel hanya senyum simpul membuatku semakin geram dan penasaran. "Bisa kau jelaskan alasan kamu masuk pagi, Sam?" tanyaku lebih detail lagi.Samuel menarik napas panjang, lalu dihempas perlahan. Setelahnya dia menatap sepeda motor pengantar ayam gembung. Pak Roni sendiri yang antar ayam gembung itu. Ini kesempatanku untuk bertanya berapa suamiku mengorder ayam hari ini."Bu Arini ini ayamnya masih separo ya, sisanya nanti sekitar jam sepuluhan!" kata Roni."Sebentar to, Pak. Memangnya suamiku pesan berapa?" tanyaku."100 ekor ayam, untuk tiga har

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   164. Salah Paham

    "Apakah Umi sudah lupa? Atau kasih ijin dalam diam?" cerca Yahya padaku.Jujur aku diam bukan karena lupa atau apapun itu, sungguh suamiku itu mahkluk adam yang tidak peka. Siapa dia meminta ijin wanita lain masuk ke dalam rumah pribadiku. Rumah warisan dari orang tuaku, sedangkan dia di sini numpang. Meskipun uang untuk ganti warisan para saudaraku yang lain merupakan hasil kerja ayam bakar tetapi itu tetap hal aku yang terbanyak.Aku hanya bisa mendesah kesal, tetapi untuk terucap rasanya enggan. Lebih baik diam saja daripada nanti lisanku mengeluarkan kata berbobot yang diijabah Allah malaah lebih parah. Seperti kara para orang tua dulu, jika istri atau ibu yang teraniaya mengucapkan kata balas dendam bisa langsung terjadi. Mengingat nasehat itu membuatku menjaga lisanku baik suara maupun batin. Aku tidak mau berucap yang bisa menjadi doa dan berakibat fatal. Apalagi ini menyangkut nasib anak-anak ke depan."Umi, kok diam. Jawab dong!" pinta Yahya dengan nada lembut."Tidak aku ja

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   163. Penjelasan

    Aku dan Zahra melangkah tanpa memedulikan panggilan suamiku. Zahra pun terlihat lebih memilih aku dari abahnya, dia kulihat langsung meraih ponselnya. Entah siapa yang akan dia hubungi, aku hanya menunggu duduk di sebelahnya. Bibir Zahra tersenyum kala panggilannya tersambung."Asslaamualaikum, Kak Abdul! Aku mau curhat ini, dengerin yaa!" sapa Zahra sekalian dia meminta pada kakaknya itu. Aku tersenyum.Lalu Zahra mulai menceritakan semua kejadian yang baru saja dialaminya di teras rumah tadi. Aku yang mendengar hanya geleng kepala, sungguh putriku itu meluapkan emosinya pada kakak tirinya. "Dia abah kamu lho, Kak. Mana ada seorang abah kok kek gitu, bawa anak dari wanita lain yang bahkan bukan darah dagingnya. Pokoknya aku tidak mau tahu, nanti Kak Abdul harus ikut merawat umiku. Enak saja!" Begitu keluh Zahra pada kakaknya, "Dan tanggung jawab padaku juga lho, janji!" lanjutnya memastikan apa yang diucapkan oleh Abdul.Aku hanya tersenyum saat Zahra menutup panggilannya itu. Lalu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status