Share

5. Kenyataan

Dua malam sudah suamiku tidak pulang kerumah. Sejak hari jumat selepas ashar dia pamit keluar hingga senin pagi selepas subuh dia pulang. Saat yang pas untuk aku membuka warungku. Usia kandunganku menginjak sembilan bulan, masa yang rawan untuk bekerja berat. Namun, aku selalu berusaha semangat melalui semua aktifitasku. Entah apa yang ada dalam pikiran Yahya, suamiku itu.

"Assalamualaikum, Umi!" ucapan salam aku dengar dari depan warung, suara khas milik suamiku.

Aku pun bangkit dari posisi dudukku yang sedang membungkus sambal bakal jual ayam bakar satu hari ini. Kulihat suamiku sedang memarkirkan sepeda motor buntut hasil warisan uang pensiun ayahku yang terakhir. Sepeda itu sangat bermanfaat untukku. Terapi sejak aku usaha warung ayam bakar ini motor buntut itu dipakai oleh suamiku.

"Waalaikumsalam, Abi. Kok baru pulang setelah tiga hari, apakah semua urusan sudah selesai termasuk si Bungsu yang katanya masuk rumah sakit?" tanyaku sambil menatapnya sedikit sinis.

"Tidak baik jika suami baru pulang sudah disambut seperti itu, Umi. Lebih baik lagi jika suami pulang itu segera dihidangkan minuman hangat dan sepiring cemilan, Umi!" decih Yahya lirih.

Aku hanya tersenyum masam, kemudian segera aku rebuskan air untuk buatkan dia segelas kopi hangat. Beberapa saat kopi itu pun jadi dan segera kuhidangkan tidak lupa lengkungan yang sengaja kubuat sedikit melebar. Yahya pun membalas dengan senyuman yang lebih lebar.

"Terima kasih, Umi. Ini yang aku suka," balasnya saat aku selesai menaruh kopi itu di atas meja.

Aku segera berlalu untuk kembali ke dalam warung, masih banyak pekerjaan yang belum aku selesaikan sebelum dua karyawanku datang. Setelah sambel siap dan jarum jam menunjukkan angka tujuh barulah aku bengkit dari dudukku. Kutunggu dengan sabar setiap pembeli yang datang ke warungku.

Hari terus berjalan hingga siang menyapa. Jualan hari ini terasa sepi, biasanya aku bisa menjual sepuluh sampai dua puluh lima kotak ayam goreng. Namun, akhir-akhir ini penjualan setiap hari menurun. Entah karena apa, aku pun juga tidak mengerti.

"Umi, jika aku poligami bagaimana?" tanya Yahya dengan nada lirih sambil memandang ku penuh harap.

"Bukankah sudah kamu lakukan, bahkan tidur dan membangun rumah janda itu?" tanyaku dengan sedikit bernada tinggi.

"Umi!" ucap Yahya dengan penuh penekanan.

Aku berlalu begitu saja meninggalkan suamiku, kujaga masalah keluargaku agar tidak diketahui oleh ponakanku. Sungguh tega pria itu, dia yang memintaku ternyata hanya memanfaatkan aku untuk membantu perekonomian keluarganya. Tuhan, beri aku kesabaran.

Sungguh hatiku terasa sakit bagai tertusuk pisau belati. Lisan suamiku ternyata lebih tajam daripada belati itu sendiri. Apalah dayaku sebagai istri yang harus nurut akan semua ucapan suami. Surga istri ada pada ridho suami, maka jagalah lisanmu jika kamu inginkan surga itu. Sepintas ingatanku memutar kata beberapa alim ulama di setiap kajiannya. Napasku berangsur rendah seiring turunnya emosiku.

"Maafkan aku, Bi. Mungkin ini sudah jalannya, tetapi janganlah seperti ini juga. Aku hanya inginkan keadilan yang benar-benar adil!" ucapku dengan nada rendah dan menunduk.

"Berapa lama Abi menikahi janda itu?" tanyaku.

"Sudah tiga bulan, seiring usaha ayam bakar Umi berkembang," jawab Yahya sambil berjalan ke arahku mengikis jarak diantara kami.

Aku diam, pandanganku kualihkan ke warung melihat kesibukan Andi yang sedang melayani pembeli. Prasetyo beberapa hari ini tidak masuk, jadi semua pekerjaan di kerjakan oleh Andi sendiri. Aku sudah cukup lelah membantu menyiapkan bahan jual di pagi hari, jadi jika Andi sudah datang maka aku pun masuk ke dalam rumah. Apalagi sejak usia kandunganku menginjak sembilan bulan.

"Umi!" lirih Yahya tepat di sampingku.

Kemudian kurasakan telapak tangan Yahya meraih jemariku lalu dibawanya dalam dekapan. Aku tetap pada arah pandangku. Desah napas berat aku dengar dari samping telinga kanan, mungkin lelakiku itu sedang menetralkan suasana hatinya. Aku harus bagaimana menghadapi sikap suami seperti itu. Sungguh rasanya ingin kuputar kembali waktu saat awal khitbah dulu.

"Usia kandungan kamu sudah berapa bulan, Umi?" tanya Yahya.

"Sembilan bulan, ada apa?" jawabku ketus.

"Kira-kira kapan Umi lahirannya?" tanya Yahya padaku sambil mengusap lembut punggung tanganku.

Aku masih diam, mencoba menelaah arti pertanyaannya. Sungguh aku tidak mengerti bagaimana bisa dia yang tanam benih tetapi dia juga yang melupakannya. Kuusap perutku yang membuncit, lirih kulantunkan bacaan sholawat nabi. Tiba-tiba suamiku beranjak dari duduknya, aku mengira dia akan pergi menjauh dari aku.

Tetapi apa yang aku perkirakan ternyata salah, suamiku itu rupanya duduk jongkok di depanku tepat pada perutku yang buncit. Perlahan diciumnya perutku di sekitar tali pusat. Kemudian diusap perlahan dengan menggunakan kedua tapak tangannya. Lamat-lamat kudengar bisikan lirih keluar dari bibirnya.

"Adik yang di sana, sehat selalu ya! Jagain umi dan bila ingin keluar untuk melihat abi dan umi tunggu saat abi di rumah ya, Sayang. Kasihan umi jika sendiri di rumah," bisiknya lalu mencium perutku cukup lama.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status