Hari Minggu mereka berlanjut dengan penuh keceriaan. Setelah menonton film romantis, Alea dan Juno mengajak Aldrich jalan-jalan sore ke taman kecil di sekitar komplek. Cuaca begitu bersahabat, langit cerah, angin sejuk, dan aroma bunga kamboja dari taman tetangga ikut menyempurnakan suasana.Aldrich digendong Juno sambil sesekali berceloteh kecil, mencoba mengoceh dengan bahasa bayinya yang belum bisa dimengerti siapa pun kecuali mungkin oleh Alea. Ia tertawa saat Juno menggelitik perutnya, lalu menatap ibunya dengan mata bundar yang bening dan polos.“Anak kita kelihatan bahagia ya, Mas,” gumam Alea sambil mengusap kepala Aldrich.“Banget. Dia punya ibu secantik kamu, mana mungkin nggak bahagia. Dia gak boleh sedih." Alea tersipu, lalu memukul pelan dada Juno. “Gombal terus.”Mereka duduk di bangku taman, menikmati langit sore yang berwarna jingga. Sesekali pasangan lain lewat sambil membawa anak juga. Beberapa menyapa, beberapa hanya tersenyum.“Mas,” kata Alea pelan, “Hari-hari ka
Beberapa jam kemudian.Alea terbaring dengan tubuh lelah, namun senyuman manis tak henti-hentinya menghiasi wajahnya. Rambutnya berantakan, wajahnya sedikit kemerahan. Ia menoleh pelan ke arah Juno yang juga terbaring di sampingnya, masih memeluk tubuhnya dengan erat, seolah tak ingin melepaskannya sedetik pun.Juno menyibak beberapa helai rambut Alea yang menutupi wajahnya, lalu mengecup lembut kening sang istri.“Terima kasih untuk malam ini, Sayang,” bisiknya lirih. “Kamu tahu? Aku benar-benar merasa seperti pria paling beruntung di dunia.”Alea menatap suaminya dengan mata berbinar. “Terima kasih juga, Mas… udah mau... menerima aku kembali, dan… mencintaiku tanpa syarat.”Mereka kembali saling berpelukan dalam keheningan malam yang hangat.***Keesokan paginya, sinar matahari menerobos tirai jendela kamar mereka. Juno sudah lebih dulu bangun. Ia mengenakan celana training dan kaus oblong, lalu dengan cekatan masuk ke dapur dan mulai memasak. Tangannya lincah menyiapkan roti pangga
"Mas, kenapa diam aja? Mau nggak?" tanya Alea kepada suaminya yang berdiri mematung di ambang pintu kamar. Menyaksikan dirinya dalam penampilan yang menantang. Bisa ia pastikan kalau suaminya itu tergoda.Juno masih berdiri di sana dengan kedua mata tak berkedip, ia terpana melihat istrinya yang sangat-sangat cantik. Lingerie berwarna hitam, yang menunjukkan lekuk tubuhnya, sangat kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Rambutnya yang berwarna kecoklatan, membuat Juno selalu tergila-gila.Setelah lahiran, wajah dan penampilan Alea, tidak seperti ibu-ibu lain yang mungkin kesulitan mengurus diri. Melainkan seperti anak muda yang terlahir kembali. Cantiknya berkali-kali lipat, terutama di mata Juno.'Shit. Melihatnya seperti ini saja, aku sudah tegang. Matilah aku' Juno mengumpat dalam hati. Bagian bawahnya menegang, hanya dengan melihat istrinya."Mas. Sini?" Goda Alea seraya mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum nakal.Benar, wanita ini menggodanya. Jelas dari gerak-geriknya it
Sementara itu, di rumah Giska dan Adrian, pagi dimulai dengan keributan kecil namun manis.“Sayang, popok Marcel habis di kamar,” teriak Adrian dari kamar bayi.Giska yang sedang menyiapkan bubur di dapur membalas, “Cek laci bawah, kayaknya masih ada satu!”Tak lama kemudian, suara tawa Giska terdengar ketika Adrian datang membawa popok dan wajah belepotan bedak bayi.“Kamu diapain sama anak kita?” Giska terkikik melihat suaminya.“Marcel kayaknya lagi iseng,” jawab Adrian sambil membersihkan wajahnya. “Baru punya tangan aja udah suka jahil.”Mereka tertawa bersama. Pagi mereka mungkin tidak glamor seperti di villa, tapi dipenuhi cinta dan kekacauan manis khas rumah tangga baru.Saat akhirnya duduk sarapan berdua, Giska memandang suaminya lekat-lekat. “Kamu pernah ngebayangin kita sampai di titik ini gak, Mas?”Adrian tersenyum. “Enggak. Tapi kalau waktu bisa mundur, aku tetep akan milih kamu.”Giska menggenggam tangannya. “Aku juga.”***Di sebuah kafe kecil dekat taman kota, Martin
Martin berdiri dari duduknya di tangga belakang, menatap Ghea sekali lagi sebelum berkata lirih, “Kalau kamu butuh seseorang buat nganter pulang malam ini, aku bisa—”“Ghea.”Sebuah suara maskulin memotong kalimat Martin.Martin menoleh cepat, lalu menghela napas pelan saat melihat Arkan berdiri tak jauh dari mereka. Pria itu tampak rapi seperti biasa, mengenakan sweater abu dan celana gelap, wajahnya tenang tapi matanya langsung fokus ke Ghea.Ghea pun berdiri pelan. “Mas Arkan?”Arkan tersenyum kecil, lalu berjalan mendekat. “Aku datang jemput kamu. Aku tahu kamu pasti capek setelah acara panjang.”Ghea terlihat sejenak canggung, lalu mengangguk. “Iya… makasih udah datang.”Martin menatap keduanya. Ia tidak buta, tatapan Arkan kepada Ghea bukan sekadar teman. Ada perhatian yang nyata, dan Ghea pun tidak menolak, malah tampak nyaman. Dalam sekejap, Martin sadar dirinya sudah terlambat.Ia tersenyum kaku, memalingkan wajah. “Ghea, aku pamit, ya. Jaga dirimu.”Ghea menatap Martin, ragu
Martin menatap wajah Ghea yang kaget. Ekspresi gadis itu berubah drastis—tak lagi keras, tapi bingung, ragu, seolah tak siap mendengar pengakuan itu.“Kamu jangan asal bicara,” ucap Ghea pelan. “Kamu itu mantan suami aku. Mantan, Kak! Kita nggak punya hubungan apa-apa lagi, ngerti nggak?”“Tapi aku masih punya perasaan,” kata Martin mantap. “Aku salah, Ghea. Salah besar waktu mengabaikan kamu, waktu aku sedang salah jalan. Kalau aja kamu mau kasih aku kesempatan, mungkin kita masih bisa bersama." Ghea memejamkan mata sejenak. “Jangan bikin aku ingat masa lalu, Kak. Aku udah berusaha mati-matian buat bangkit, terus kamu datang dan ngomong gitu, enak banget, ya?”"Kamu minta kesempatan? Kamu lupa, kamu udah bunuh anak kamu sendiri, Kak." Martin menunduk, ia tidak pernah lupa itu. Ia yang membuat Ghea keguguran dulu. “Aku tahu aku enggak punya hak apa-apa sekarang. Tapi hari ini… ngelihat kamu di sini, jadi bagian dari keluarga, jadi lebih dewasa, lebih kuat… aku sadar. Kamu yang sehar