Setelah resepsi yang sederhana namun indah itu, Martin benar-benar menjalankan janjinya, membuktikan pada Ghea. Bahwa ia meratukan Ghea—dalam arti sebenar-benarnya.Setiap pagi, sebelum berangkat kerja, Martin selalu menyiapkan sarapan untuk Ghea. Kadang, ia bangun lebih pagi hanya untuk membuatkan teh hangat, menyiapkan baju, atau sekadar mengecup kening istrinya sambil berbisik, “Ratuku, hari ini kamu nggak boleh capek, ya.”Ghea awalnya sering merasa tak enak, bahkan canggung. Tapi seiring waktu, perhatian Martin menjadi sesuatu yang ia syukuri setiap hari. Ghea yang dulu terbiasa menyendiri dan mandiri, kini terbiasa dimanja.Saat Ghea mengalami migrain akibat kecapekan mengurus galeri seni barunya, Martin tak marah sedikit pun. Ia langsung mengambil alih semua pekerjaan rumah, memijat kepala Ghea, membelikan makanan favoritnya, bahkan membacakan buku untuk menenangkan hati istrinya.“Kak Martin…” gumam Ghea suatu malam, sambil menyandarkan kepala di dada suaminya, “Aku nggak pern
"Daddy. Cepet bangun dong! Aku nggak mau kita sampai telat ke nikahannya Ghea sama Martin," ujar Alea pada suaminya yang masih rebahan di atas ranjang, bergelut di dalam selimut.Sedangkan Alea, saat ini sedang memoles wajahnya di depan cermin. Ia ingin melihat pernikahan Ghea dan Martin. Ya, hari ini mereka berdua akan menikah. Setelah cukup lama berkabung atas kepergian Arkan, mantan kekasihnya, Ghea akhirnya mau menerima Martin kembali. Membuka hatinya untuk Martin yang mau berusaha mendapatkan hatinya.Nyatanya, usaha itu akhirnya membuahkan hasil. Ghea bisa menerimanya kembali, setelah 3 tahun menyendiri. Martin juga bisa membuktikan kepada Ghea, kalau ia pantas mendapatkan maaf dan cinta dari wanita itu. Bahwa ia memang sudah berubah dan hari ini adalah waktunya, Ghea dan Martin akan menikah."Daddy, kalau kamu tidak mau bangun. Aku mau pergi sama cowok lain aja!" seru Alea mengancam suaminya yang masih diam saja dan tak merespon ucapannya. Bibirnya memonyong ke depan, menunjukk
Ghea menggeleng cepat. “Jangan, Mas… jangan bilang hal-hal kayak gitu. Aku gak butuh siapa-siapa selain kamu. Aku cinta kamu…”Arkan menarik napas pelan, tubuhnya gemetar menahan sakit luar biasa. Namun bibirnya tetap memaksakan senyum. “Tapi kamu butuh seseorang yang bisa nemenin kamu sampai tua. Yang bisa berjalan di sebelah kamu, bukan yang hanya bisa tinggal di hati kamu.”Martin berdiri terpaku, tubuhnya kaku di ambang pintu. Ia mendengar setiap kata Arkan. Hatinya bergetar, tapi dia belum mengerti arah pembicaraan itu sampai akhirnya Arkan memanggil namanya.“Martin… ke sini…”Martin melangkah perlahan, seperti dibawa angin. Ia tidak bisa berkata apa pun. Luka Arkan terlalu mengerikan, namun senyumnya terlalu damai untuk ukuran orang yang sedang sekarat.“Aku tahu kamu masih sayang Ghea. Meskipun kamu pernah salah… Tapi kamu pria yang kuat. Aku titip Ghea ke kamu…”Martin membelalak mendengar ucapan Arkan yang begitu lirih d an memohon itu seakan kata-katanya adalah yang terakhi
Maya menangis tersedu-sedu, hingga membuat Alea dan Ghea bingung. "Ma, ada apa? Mas Arkan kenapa?" tanya Ghea khawatir. Dadanya tiba-tiba panas, saat bibir Maya yang terisak itu menyebut nama Arkan."Arkan ...mobil yang membawa Arkan,saat dalam perjalanan ke sini ...mengalami kecelakaan."Ghea tersentak kaget, ia berdiri dari tempat duduknya. Dadanya sesak, matanya berkaca-kaca, hatinya tidak percaya dengan semua ini. Kepalanya menggeleng-geleng berulang kali.Alea juga terkejut mendengar kabar tidak menyenangkan itu. Namun, ia tidak berkomentar selain wajahnya yang memperlihatkan rasa prihatin."Nggak. Mama pasti bohong. Belum lama Mas Arkan bilang, dia bakal datang. Dia akan datang!" seru Ghea dengan tangan gemetar."Ghea, tenangkan diri kamu, ya?" Akhirnya Alea bicara. Bermaksud menenangkan Ghea.Akan tetapi, Ghea melangkah pergi dari ruang rias. Ia berlari dengan memakai gaun pengantinnya dan melihat beberapa tamu undangan yang sudah hadir di sana. Bahkan pria yang akan menikahkan
Hari pernikahan Ghea dan Arkan pun tiba. Ghea tampak cantik mengenakan gaun putih ala sabrina dengan mahkota kecil menghiasi rambutnya yang disanggul. Ia sangat cantik, berbeda dengan pernikahan pertamanya yang tidak sebahagia ini. Pernikahan karena kecelakaan.Saat ia sedang bercermin, ia malah terbayang wajah Martin semalam. Ya, semalam mantan suaminya itu datang menemuinya."Mau apa lagi kamu ke sini, Kak?" tanya Ghea dengan tidak ramah seperti sebelumnya. Hingga ia pun terkejut melihat wajah pria itu yang memerah dan bibirnya yang tersenyum seperti orang linglung.Jalannya sempoyongan, ia mendekati mantan istrinya itu."Selamat malam mantan istri.""Kamu ...kamu mabuk, Kak?" tanya Ghea saat ia menghirup aroma alkohol yang menyengat dari tubuh Martin."Aku gak mabuk. Aku baik-baik aja kok. Hehe. Aku ke sini, karena aku mau ngucapin selamat untuk pernikahan kamu. Besok mungkin aku gak bisa hadir, tapi aku udah siapkan hadiah untuk kamu dan calon suamimu," tutur Martin seraya menatap
Sore menjelang malam, Ghea akhirnya mulai sadar. Kelopak matanya bergerak perlahan, dan ia mendengar suara mesin monitor berdetak pelan. Aroma antiseptik memenuhi hidungnya, dan lampu di langit-langit ruangan terlihat menyilaukan.“Ghea?” suara itu lembut dan penuh harap. Arkan langsung mendekat.Ghea mengerjap pelan, melihat sosok Arkan yang wajahnya dipenuhi kekhawatiran. “Mas…” suaranya lirih.“Syukurlah… kamu sadar,” ucap Arkan dengan suara yang hampir pecah. Ia langsung memeluknya lembut, takut menyentuh area yang terluka.“Lula… dia baik-baik aja, kan?” tanya Ghea pelan.Arkan tersenyum haru. “Kamu bahkan masih mikirin dia dalam keadaan begini.” Bisa-bisanya Ghea memikirkan adiknya yang selama ini bersikap tidak baik padanya.Ghea memaksakan senyum. “Aku nggak papa, Mas. Yang penting… dia selamat.”Di luar ruangan, Lula mengintip dari balik kaca. Air matanya kembali mengalir. Tapi kali ini bukan karena takut atau sedih, melainkan karena sebuah rasa yang baru mulai tumbuh di hati