“Oh, Rick … kau hebat sekali.”
Ivana tercengang manakala ia mendengar suara seorang wanita mendesahkan nama tunangannya dari dalam apartemen. Ivana pun berjalan cepat ke dalam sana, untuk melihat apa yang terjadi. Dalam hati ia berharap bahwa ini tidak seperti apa yang ada dipikirannya. Buru-buru ia membuka pintu apartemen itu.
“K-kalian—"
Sepersekian detik kemudian, Ivana menjatuhkan koper yang ia bawa ke lantai hingga menimbulkan suara berbedam.
Hatinya hancur saat melihat Rick, tunangannya, tengah bergumul dengan seseorang yang sangat ia kenal, yaitu adik tirinya sendiri.
Suara koper jatuh milik Ivana rupanya membuat Rick dan wanita itu terusik, hingga mereka yang semula masih asik saling memuaskan, kini berhenti.
Pria itu membeku menatap sosok Ivana. "Sa-sayang…."
Gadis pemilik mata biru itu tengah menatapnya dengan nyalang dan penuh kabut kecewa. Buru-buru pria itu menutupi tubuhnya dengan kain seadanya yang ada di sana. Panik, Rick berjalan menghampiri Ivana yang masih mematung di tempatnya.
"Sa-sayang aku bisa jelaskan semuanya... ini tidak seperti yang kau—" Rahang Ivana mengeras, lalu ia berkata, "Diam kau! Aku tidak mau dengar penjelasan lagi. Hubungan kita … berakhir saat ini juga!" ucap Ivana tegas.Daripada menghabiskan tenaga, waktu, untuk memukul atau marah lebih lama, Ivana lebih memilih to the poin. Meski hatinya sakit, dan kecewa lantaran pernikahan mereka hanya tinggal 2 minggu lagi, ia cukup peka untuk mengetahui bahwa tunangannya berselingkuh dengan sadar dan menikmati perselingkuhan ini.
"Ta-tapi sayang... aku tidak bisa putus denganmu!" Rick memegang tangan Ivana, wajahnya begitu memelas.
"Kakak, ini semua salah paham!"
Kini, sang wanita yang berbicara. Sambil memunguti pakaiannya di lantai, jalang bernama Julia itu pun membantu Rick untuk klarifikasi.
Sementara Ivana, gadis itu hanya bisa tersenyum getir melihat pria yang ia cintai kini sibuk bekerja sama dengan adik tirinya untuk menutupi kebusukan mereka. Raut wajahnya memang datar, tapi percayalah hatinya teramat sakit.
"Tadinya aku berniat menjadikanmu pelabuhan terakhir di dalam hidupku. Tapi sepertinya, itu tidak akan bisa lagi. Pria sampah sepertimu, lebih cocok untuk wanita jalang seperti dia."
Tanpa bicara apa-apa lagi, Ivana segera pergi dari apartemen itu. Saat itulah, emosi yang sedari tadi ia tahan mulai lepas kendali. Tong sampah bahkan jadi sasaran amarahnya, bersamaan dengan air mata yang meluruh dengan deras.
"Dasar pria sampah! Dua tahunku berakhir sia-sia karena pengkhianatan!" Saat ini, dibanding menangis … kemarahan dan kekecewaan Ivana jauh lebih terasa. "Ivana bodoh! Aku tidak seharusnya menangis!"
Guna menumpahkan semua kekesalan dan sakit hatinya, Ivana nekat pergi ke sebuah kelab malam. Untuk pertama kalinya, ia menginjakkan kaki di tempat itu, dan untuk pertama kalinya juga ia merasakan minuman yang dulu ia hindari karena dianggap merugikan tubuh.
Sendirian, gadis yang tengah hancur itu memilih memasuki sebuah kelab elit di kota Paris.
"Tambah lagi! Cepat!" perintah Ivana kepada seorang bartender ketika botol minumannya sudah habis.Kesadarannya sudah cukup tipis, sebab sedari tadi ia tidak berhenti menenggak minuman tersebut. Dengan minuman ini, ia berharap otaknya bisa dengan mudah menghapus peristiwa menjijikkan yang ia saksikan tadi, peristiwa yang akhirnya membuat hubungan yang telah ia jalin selama 2 tahun dengan pria itu kandas.
"Sudah cukup, Ivana! Kau sudah terlalu banyak minum." Seorang pria mengambil gelas berisi minuman berwana seperti teh itu dari tangan Ivana. Ia juga mengisyaratkan kepada bartender itu untuk tidak mengambil minuman lagi.
"Siapa kau? Beraninya kau mengambil minuman milikku!"
Ivana berang, ia menatap pria yang wajahnya tampak buram baginya itu.
"Aku Papanya Rick, Ivana," jawab lelaki dewasa yang memiliki tubuh tinggi dan wajah tampan itu. Lalu ia duduk di samping Ivana.
Ivana mengerutkan kening, matanya memicing melihat calon ayah mertuanya. Ivana jelas mengenal calon mertuanya itu. Edgar Alexander Denvier.
"Oh, jadi kau adalah ayah si bajingan itu?"
Edgar terheran-heran dengan ucapan Ivana. "Ivana, kau kenapa?"
"Paman, anakmu itu... dia sudah menyakiti hatiku!” Ivana mengeluh. “Dia sudah berselingkuh dariku dengan adik tiriku sendiri. Bukankah dia sangat bajingan?!" Wanita itu lalu menangis dan memegang dadanya yang terasa sesak mengingat pengkhianatan Rick dan Julia.
"Apa? Apa kau serius?"
Ivana mengangguk. "Iya Paman... dia sangat menyebalkan dan—”
Huwek!
Belum sempat gadis itu menyelesaikan kata-katanya, ia sudah memuntahkan cairan pada pakaian lelaki dewasa itu.
"Oh shit!"
Kondisi Ivana yang sudah di luar kendali itu membuat Edgar merasa berkewajiban membawa calon menantunya pulang. Namun, belum juga mobil Edgar membelah jalanan ibu kota, gadis yang tidak berhenti meracau itu kini mulai meraba-raba tubuh Edgar.
"Sial! Ivana sadarlah!" ujar Edgar yang mulai merasakan tanda bahaya pada bagian miliknya yang sudah mengembung di bawah sana.
Akhirnya Edgar yang tidak tahan pun, membawa Ivana ke hotel terdekat, karena jika perjalanan diteruskan … pastinya akan terjadi hal yang tidak-tidak.
Sesampainya di kamar hotel, godaan tangan lentik Ivana membuat Edgar tidak bisa menahan rasa panas yang mengelanyar di dalam tubuhnya.
"Shit Ivana! Kau adalah calon menantuku, mana bisa aku—”
Gadis itu membungkam bibir Edgar dengan ciuman. "Itu ciuman pertamaku. Kau sangat beruntung, Tuan.” Gadis itu kemudian terkekeh sambil terus meraba-raba dada bidang milik Edgar. "Kau punya badan yang bagus, Paman."
Ivana memuji otot perut milik calon ayah mertuanya itu yang masih kencang. Ia menatap otot-otot itu dengan tatapan memuja.
“Ivana, kubilang berhenti, sebelum kau menyesal.”
Tubuh Edgar semakin memanas, ia seperti kucing yang diberi ikan. Sebagai pria dewasa dan normal, reaksinya ini adalah normal. Terlepas dari status Ivana yang merupakan calon menantunya, godaan dari Ivana yang terus menempel pada tubuhnya benar-benar tidak bisa ia tahan lebih lama lagi.
“Kenapa aku harus berhenti, Tuan?” Ivana yang juga telah dikuasai gairah itu semakin berani menyentuh tubuh Edgar. “Aku suka ini, dan rasanya aku tidak ingin berhenti.”
Lama kelamaan, pengendalian Edgar luruh. Terlebih saat Ivana dengan sendirinya melepaskan satu per satu pakaian yang gadis itu kenakan.
Menyusul Ivana, Edgar pun melepaskan semua pakaiannya dan mulai mencumbu gadis itu.
Erangan timbul dari celah bibir Ivana yang begitu menikmati sensasi cumbuan lelaki dewasa itu. Kegiatan mereka berdua mulai memanas dan intim.
Namun, ketika sampai pada bagian intinya, saat itulah Edgar menyadari ada yang salah. "Shit! Kau masih perawan, Ivana?" tanya Edgar seraya melihat wajah Ivana yang saat ini berada di bawah kungkungannya.
Fokusnya tertuju pada setetes noda darah yang tampak jelas di atas seprai berwarna putih. Belum lagi, tubuh Ivana terasa mengejang, kaku saat menerima dirinya.
Raut wajah Edgar menunjukkan rasa bersalah.
Sementara itu, Ivana yang telah dikuasaii gairah juga minuman itu tampak tidak keberatan dengan kegiatan mereka.
"Teruskan Paman! Lebih dalam!" Ivana berseru, sembari mengigit bibir bagian bawahnya yang membuat jakun Edgar naik turun seiring dengan libidonya itu semakin meningkat.
"Aku akan teruskan, tapi aku mohon kau jangan menyesali malam ini. Sebab, setelah ini kau adalah milikku.” Pria itu mengusap lembut wajah cantik Ivana yang mulai berkeringat. “Kau hanya milikku, Edgar Alexander Denvier,” ulangnya lagi di telinga Ivana.
Ivana tersenyum tipis. Tubuhnya serasa melayang, terbuai sentuhan liar Edgar. "Aku tak akan menyesal, Paman," lirihnya dengan serak.
"Katakan yang jelas, kau milik siapa?"
Edgar kembali bergerak. Kali ini semakin intens, membuat Ivana melenguh sembari menggumamkan nama lelaki itu. “Edgar Alexander Denvier.”
Sesaat setelah mencapai titik kepuasan, Edgar tersenyum ke arah wanita yang telah memejamkan matanya lebih dulu dan berkata, “Tenang saja, Ivana. Aku akan bertanggung jawab untukmu."
****Setelah melewati dua hari di Maldives, pagi itu Ivana mengajak Edgar untuk melihat matahari terbit dipantai. Dia sengaja' membangunkan suaminya pagi-pagi buta."Hubby, ayo bangun," bisik Ivana pada suaminya sambil mengecup pipi lelaki itu dengan lembut.Merasakan sentuhan dipipi dan wajahnya, lelaki itu pun membuka matanya perlahan. Dia melihat sang istri sedang tersenyum padanya, bibir wanita itu tampak merah, sepertinya Ivana memakai make up. Bahkan istrinya itu masih memakai pakaian tidur."Sayang? Kau memakai make up? Kau mau kemana sepagi ini, hem?" ucap Edgar seraya bertanya pada istrinya dengan terheran."Ayo, kita akan melihat matahari terbit! Sebelumnya kita melihat matahari terbenam, sekarang giliran kita melihat matahari terbitnya!" seru Ivana dengan senyuman semangat dibibirnya. Edgar balas tersenyum lembut, dia menyentuh pipi istrinya dengan lembut.Seketika senyumannya menghilang saat dia merasakan pipi istrinya terasa dingin."Sweetheart, tubuhmu dingin? Apa kau tid
Selagi para pria berada diluar, Aileen dan Laura berasa didalam ruangan itu untuk mengobrol. Banyak sekali hal yang ingin Laura katakan pada Aileen."Aileen, aku sangat sangat berterima kasih kepadamu. Jika bukan karena kau, Levin, mama Sara dan yang lainnya pasti tidak akan memberiku kesempatan kedua. Terimakasih, karena kau sudah sudi memaafkan semua kesalahanku."Laura mengenggam tangan Aileen, matanya berkaca-kaca penuh haru saat menatap wanita berhati mulia dihadapannya ini. Wanita yang sudi memaafkan semua kesalahannya dan memberikan kesempatan kedua. Dia merasa bersalah, karena selama ini sudah mencelakai Aileen dengan mengambil kebahagiaannya."Aku menyesal, kenapa aku merebut Levin dari-"SsttAileen langsung meletakkan jari telunjuknya pada bibir Laura, dia menggelengkan kepalanya dan meminta Laura untuk tidak melanjutkan perkataannya."Jangan bahas masa lalu kak. Jangan menyesali apa yang sudah terjadi. Mungkin ini adalah takdir Tuhan untuk kita. Takdir kakak bersama Levin
Sekarang semua keluarga Denvier sudah berkumpul di rumah sakit, termasuk Aldrich yang berada di Amerika. Dia terbang secepat mungkin ke Paris, setelah mendengar berita tentang ibunya yang koma.Aileen dan Aldrich sangat sedih begitu mengetahui ibu mereka sakit parah dan sekarang wanita yang melahirkan mereka itu sedang bertaruh nyawa di dalam ruangan tempatnya berada."Kenapa papa tidak memberitahuku dan Aldrich kalau mama sakit? Kenapa Pa?" jerit Aileen dengan berurai air mata, dia terlihat terguncang mendengar ibunya sakit. Edgar sendiri terlihat diam, pria paruh baya itu masih tampak syok. Sejak 2 hari yang lalu istrinya terbaring koma."Ai, jangan salahkan papa. Mama yang meminta papa dan kami untuk merahasiakan ini darimu dan Aldrich. Mama tidak mau kau dan Aldrich kepikiran," ucap Arion jelaskan kepada adiknya untuk tidak menyalahkan Papanya lagi. Karena, yang paling terguncang dengan keadaan ibu mereka adalah ayah mereka.Lihat saja, Edgar
Setelah istrinya disuntikan obat-obatan, tak lama kemudian Ivana langsung tidak sadarkan diri. Denyut jantungnya melemah, ternyata tubuh Ivana tidak merespon dengan baik kemoterapi kedua ini. Dia langsung berikan penolakan dan saat itu juga Ivana berada dalam keadaan kritis. Dia tidak sadarkan diri dan dokter mengatakan kalau dia sedang koma.Edgar menangis meraung-raung, tak percaya dengan fakta ini. Dia bahkan menyesali keputusannya membujuk Ivana kemoterapi kedua."Istriku masih bisa sadar kan, dok? Katakan padaku, sialan!" teriak Edgar kepada dokter Wayne, dengan berurai air mata."Saya tidak yakin, Pak." Wayne menatap Ivana yang tak sadarkan diri diatas ranjang tersebut dengan alat-alat medis yang terpasang ditubuhnya, untuk menopang kehidupannya.Edgar dapat menangkap kepasrahan pada perkataan Wayne, dan dia tidak menerima itu. Edgar langsung menarik jas dokter milik Wayne dengan kasar."Jangan bicara seperti itu. Katakan yang jelas! Kau ini adalah dokter spesialis kanker terbai
Disaat Aileen sedang dalam perjalanan menuju ke London bersama suaminya, Ivana sedang berjuang melawan efek kemoterapi yang luar biasa menyerang anggota tubuhnya. Dia kesakitan, berkeringat, mual, muntah, mudah lelah, rambut rontok, imunitas tubuh menurun drastis.Terkadang Ivana ingin menyerah, tapi dia tidak tega melihat suami, anak sulung dan menantu perempuannya yang berusaha agar dia sembuh. Hari ini Ivana akan melakukan kemoterapi yang kedua, Edgar, Emily dan Arion berharap agar keadaan Ivana segera membaik."Sweetheart, tenanglah...aku ada disini."Ivana tersenyum lembut pada suaminya, dia membalas genggaman tangan suaminya dengan lembut. Wanita yang rambutnya sudah dipotong pendek itu, menatap sang suami dengan sendu."Aku akan baik-baik saja, aku akan kuat demi dirimu dan anak-anak. Tapi jika aku-""Kau akan baik-baik saja. Jangan katakan apapun, sweetheart!" sela Edgar sambil mengecup pipi Ivana dengan penuh kasih sayang. Matanya penuh cahaya pengharapan, dia berharap istrin
Edgar tak henti merutuki dirinya dalam hati, dia sangat menyesal sudah berpikiran yang bukan-bukan terhadap istrinya. Tanpa ia ketahui selama 1 bulan ini, Ivana menyimpan kesedihan dan penderitaannya seorang diri.Dia paham, kenapa Ivana sampai menyembunyikan hal sebesar ini dari semua orang? Itu semua karena sifatnya, yang tidak ingin semua orang menjadi khawatir kepadanya."Pa, aku akan menghubungi Aileen dan Aldrich.""Jangan, A."Suara Ivana terdengar lirih, namun membuat kedua pria itu terkejut mendengarnya. Mereka melihat ke arah wanita yang terbaring diatas ranjang itu. Dia perlahan mulai membuka matanya."Sweetheart, kau sudah siuman?" Edgar mendekati wajah sang istri dengan berlinang air mata. Ivana tahu, pasti Edgar dan Arion seperti ini karena mereka sudah tahu tentangnya.Bibir Ivana mengulum senyuman yang memperlihatkan ketegaran. Hebatnya wanita itu bahkan tidak menangis didepan suami dan putra sulungnya. Dia tidak mau terlihat lemah di depan orang-orang yang dia cintai.
Siapa yang tidak mau dicintai secara ugal-ugalan dan diratukan oleh suaminya sendiri? Ya, itulah yang dirasakan oleh Aileen saat ini. Apa-apa Leon, ini itu Leon, segala keinginannya yang kadang aneh-aneh juga terpenuhi oleh suaminya.Punya suami tampan, kaya, baik, walaupun agak dingin, tapi perhatian adalah berkah terindah dari Tuhan yang Aileen dapatkan. Plus, suaminya memang cinta pertama Aileen dari zaman kanak-kanak."Ayo ganti bajumu. Aku akan mengantarmu ke kampus," kata Leon kepada sang istri sambil membawakan piring cucian ke wastafel untuk dia cuci.Aileen langsung menggelengkan kepalanya. "Eh? Tidak perlu. Aku bisa pergi sendiri. Kata Pak Evan, kau ada rapat penting dan kau haru bersiap. Kalau kau mengantarku, kau akan terlambat!""Tidak ada pergi sendiri Baby. Aku akan mengantarmu dulu sampai ke kampus, lalu pergi ke kantor," sahut Leon sambil menggerakkan tangannya untuk mencuci piring. Dia meletakkan piring cuciannya pada tempatnya j
Perubahan Ivana akhir-akhir ini membuat Edgar curiga dan meminta seseorang untuk menyelidiki Ivana. Istrinya itu tak lagi bersikap mesra padanya, apalagi setiap kali Edgar mengajak Ivana berhubungan intim. Wanita itu selalu menolaknya dengan berbagai alasan. Kini semua kecurigaan Edgar terkuak saat orang suruhannya menyerahkan beberapa foto yang menunjukkan kebersamaan Ivana bersama seorang pria bernama Wayne yang merupakan seorang dokter disebuah rumah sakit."Kenapa kau tega melakukan ini padaku, Ivana? Apa karena aku sudah tua? Jadi aku tidak bisa memuaskanmu lagi?" cecar Edgar murka, setelah dia melempar foto-foto itu ke wajah istrinya.Ivana melihat foto-foto yang menunjukkan kedekatannya dan Wayne di sana, foto-foto tersebut menunjukkan banyak layar rumah sakit. Hatinya berdebar, dia takut kalau suaminya akan tahu apa yang dia lakukan di rumah sakit itu."Aku tidak pernah selingkuh darimu, Hubby.""Persetan dengan semua yang kau katakan! Buktinya sudah ada didepan mata. Kau seri
****Sakit hati Laura diabaikan oleh suaminya seperti itu. Disaat dia sudah menyadari semua kesalahannya dan dia tidak mau berpisah dari Levin, meskipun nanti bayi mereka sudah lahir ke dunia.Dia berusaha untuk kembali meraih kepercayaan Levin kembali, tapi nyatanya tidak mudah. Levin malah semakin menjauh darinya. Lelaki itu hanya perhatian kepadanya saat bersama keluarganya saja. Bicara pun seperlunya."Aku harus meminta maaf pada Aileen dan mengakui semua kesalahanku. Aku belum sempat bertemu dengannya dan meminta maaf. Aku akan mengakui segalanya pada Aileen," gumam Laura sambil mengusap basah disudut matanya."Laura, kau sedang apa di sini nak? Apa kau tidak ikut dengan Levin?" Sara menghampiri menantunya yang sedang berada di dapur seorang diri."Ah.. tidak Ma. Aku lelah, jadi aku di rumah saja."Suara Laura yang terdengar serak itu menimbulkan kecurigaan Sara. Dia merasa Laura sedang menangis, karena Laura bahkan tak berani melihatnya, menunjukkan wajahnya."Laura, kau kenapa