Share

Misteri Kematian

Hidup mu adalah rangkaian pilihan yang kau ambil.

* * *

Senja mulai turun tiga perempat bumi. Wira dan Aiza kembali ke kantor, merapikan tas mereka sebelum pulang. Beberapa guru masih di dalam merapikan tugas siswa, sementara yang lain menyapa mereka berdua.

Si pria berkuncir ijin pamit duluan, Senin nanti dia harus mengajarkan alat musik seruling pada anak-anak. Niat hati membeli peralatan musik ke toko langganannya. Aiza tak percaya seorang Wira, bisa menunda malam Minggunya hanya untuk membeli beberapa seruling. Firasatnya mengatakan ada yang tidak beres dengan lelaki itu, sepulang mereka membahas mengenai Taklif tadi. Tanpa perdebatan panjang, Aiza mempersilahkan lelaki itu melanjutkan perjalannya menggunakan motor vintage sport, keluaran Yamaha model XSR-155.

Aiza menyusulnya di belakang dengan motor matik berwarna silver. Keluaran pabrik yang sama, Yamaha FreeGo S Version. Seorang gadis SMA tersenyum ke arahnya, Aiza melambaikan tangan--memakai helm, membonceng gadis itu menuju sebuah alamat yang dibisikan padanya.

Matahari terik di musim panas, membawa alir angin beraroma tanah kering. Nampaknya langit memang sedang bersemangat membantu mereka, untuk menemukan sebuah alamat yang sejak tiga puluh menit mereka cari. Sebuah bangunan rumah sederhana, bertipe minimalis, dengan cat dasar berwarna abu-abu. Aiza menepikan motor di halaman rumah itu, melepas helm yang melindungi kepalanya dari sengatan matahari ke ubun-ubun.

Kemeja warna maroon sedikit basah, keringat bercucuran di punggung tegapnya. Sambil menyeka keringat, ia mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Namun nampaknya tak ada seorangpun, ia menunggu sekitar 5 menit. Mobil Avanza hitam muncul dari arah pintu pagar, bertinggi satu meteran--terparkir di halaman rumah. Seorang pemuda kisaran usia 23 tahun. Dengan kemeja hitam polos setelan jeans, sepatu sport berwarna senada hitam, turun dari dalam mobil dengan ekspresi bertanya.

Mereka saling menyapa dan memperkenalkan diri, sebelum akhirnya pemuda bernama Jenggala mempersilahkannya masuk. Mereka duduk di ruang tamu, tak terlalu besar namun nyaman. Sebelumnya Aiza melirik ke dalam dan seisi ruangan, warna abu-abu dan cream mendominasi. Beberapa warna putih hanya di sudut-sudut kecil, memberi warna sedikit penerang agar tak terlalu kelam.

"Maaf jika mengganggu waktu istirahatnya." Aiza basa-basi duduk berhadapan, dengan pemuda berwajah tirus namun sorot matanya nampak kosong. Kantung mata hitam nampak jelas terlihat, sepertinya ia tak tidur beberapa hari.

"Ah tidak Pak, saya hanya tidak tau apa yang membawa anda kemari." Jawabnya ramah, menggulung baju lengan panjang agar sedikit sejuk. 

"Hm, sebelumnya saya perkenalkan diri kembali. Nama saya Aiza, guru Biologi untuk olimpiade di SMA Santa Maria. Salah satu murid kami bernama Gea Meriska, adalah anggota olimpiade. Namun dua minggu ini saya tidak menerima kabar darinya, dari pihak keluarganya bilang, anak itu mengikuti camp olimpiade untuk acara bimbingan belajar bersama teman-teman satu kelas. Kebetulan keluarga Gea memberikan alamat anda. Jadi, boleh saya tau apa yang terjadi?" Sorot mata pemuda itu berubah, kali ini lebih tajam dan kelam.

Gerak-gerik nampak tak suka dengan pertanyaan Aiza, namun seulas senyuman di bibir pucat menjawab. "Gadis itu memang sudah bermasalah, lagi-lagi dia berbohong dengan dalih bimbingan belajar. Hah.. lebih baik anda abaikan saja dia." Aiza melirik ke samping kanan pemuda tinggi, dengan postur tubuh kurus itu. Wajah Gea berubah mengerikan, gadis itu bercucuran darah dari tengkorak kepala kirinya yang pecah. Aura tubuhnya menjadi terasa panas, Aiza menghela napas agar tetap tenang.

"Apa benar Gea berbohong? Saya rasa tidak, karena.. satu minggu ini dia mengganggu untuk dipertemukan dengan kau Jenggala." Ucapan Aiza membuat pemuda itu terbelalak, menyunggingkan sudut bibirnya.

"Lu gila!" Jenggala nampak histeris. Sementara Gea makin terlihat buruk.

"Bertobatlah."

"Lu gila!" Pemuda itu berdiri dari kursi, Aiza menatapnya intens pada posisi awalnya.

"Apa.. aku harus menunjukkannya pada mu?"

"L-Lu! Apa yang lu rencanain dengan kebohongan begitu, hah!?"

"Kebenaran." 

"Kebenaran?! Ga ada kebenaran, semua bohong!"

"Semakin kau menyangkal, dia akan semakin membuat hidupmu tidak tenang."

"Lu pasti bersengkongkol' kan! Jawab lu bangsat! Gua bunuh lu!" Jenggala mengambil bingkai foto, yang terbuat dari aluminium bersudut tajam. Niat hati memukul Aiza dengan benda itu, hingga ia tak sadarkan diri atau mati.

"Mau sampai mana kau berbuat jahat!" Nada suara Aiza berubah, ia berdiri menghentikan Jenggala. Pergelangan tangannya dicekal, pupil Aiza membesar, sorot mata tajam penuh amarah. "Kau mengambil semua yang aku miliki, kau memperkosaku! Kau membunuhku! Kau telah membunuhku!!" Teriak Aiza, tidak' mungkin tubuh lelaki itu telah diambil alih Gea.

"L-Lu.. si-siapa lu!?"

"Gadis bodoh yang mencintai cowo berhati busuk! Kau harus membayar semuanya, kau harus membayar semuaaa...aaAAA! AGH hah, hah, hah!" Kedua tangan Aiza berada di leher Jenggala, ia nyaris mencekik leher pemuda itu jika saja kesadarannya tak lekas ia kembalikan. "Ka-kau.. harus mengakui semuanya. Jika tidak, dia akan datang setiap hari dalam mimpi dan hidupmu. Bayarlah semua kesalahan mu, jika tidak. Mungkin lain kali, bukan aku yang akan datang menghentikan kemarahannya."

Aiza merasa pusing dan lemas, meninggalkan Jenggala dan pergi menuju motor matiknya. Mata coklat itu mampu melihat, sosok Gea yang menatap marah pada Jenggala. Hanya sampai disinikah ia mampu menghentikan Gea?[]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status