Share

Kaya Setelah Dibuang
Kaya Setelah Dibuang
Penulis: Maey Angel

pelit

"Mas, Gas habis. Minyak habis, bumbu dapur juga banyak yang habis. Ada sisa uang gajian kemarin nggak? Arin minta ya?" ucap Arin dengan nada sedikit mengiba dan takut.

"Minta? Uang gajian kemarin kan Mas sudah kasih kamu lima ratus ribu. Masa, dua minggu sudah habis?" sentak Bayu.

"Kemarin kan sudah Arin belanjakan keperluan sekolah Agam. Sisa dua ratus ribu, dipinjam ibu seratus. Sisa seratus buat beli kebutuhan dapur sama jajan Agam. Arin sudah nggak ada lagi," ucap Arin sambil meneteskan air matanya. Selalu saja begini, jika Arin meminta tambahan uang dari gaji Bayu yang bekerja sebagai mandor bangunan itu.

"Alah, itu hanya alasan kamu saja. Bulan kemarin Mas kasih empat ratus ribu saja cukup, kenapa sekarang jadi kurang?" sangkal Bayu tak terima.

"Kan bulan kemarin Arin ikut nguli padi di sawah Uma. Jadi ada tambahan untuk makan kita. Lagian, gaji Mas sebagai mandor kan besar. Pelit banget sama istri," ucap Arin membuat Bayu naik pitam.

"Apa kamu bilang? Pelit?" Bayu mengeraskan rahangnya sambil menatap Arin geram.

"Kamu kira, Mas kerja cuma buat dikasih kamu semua? Kamu saja yang jadi istri kurang bersyukur. Banyak di luar sana yang menjadi janda dan harus banting tulang seorang diri demi sesuap nasi. Kamu, sudah dikasih uang tiap bulan. Tidur enak, suami pekerjaan nggak bikin malu. Masih saja kurang bersyukur! Mas buang baru tahu rasa kamu," teriak Bayu tepat di depan Arin. 

Mendengar ucapan Bayu yang mengatakan dirinya kurang bersyukur, membuatnya naik pitam juga. Selama ini ia memendam semua yang dilakukan Bayu padanya. Tapi Arin masih bisa sabar, karena ada sosok Agam yang menjadi alasan Asih masih mau bersama Bayu. 

Agam adalah anak bawaan Bayu yang ia hasilkan dari pernikahan pertamanya dengan mendiang istrinya. Agam dibesarkan Arin dari masih menjadi bayi merah karena istri Bayu meninggal saat melahirkan Agam. Orang tua Bayu meminta Arin untuk menjadi pengasuh Agam dan akhirnya lambat laun Agam terbiasa memanggil Arin ibu dan kedua orangtua Bayu maupun mertua Bayu sepakat menikahkan Arin dengan Bayu.

Pernikahan yang tak didasari cinta ini, membuat Bayu suka semena-mena dengan Arin. Gajinya yang terbilang besar sebagai mandor, ia simpan sendiri tanpa mau memberi lebih pada Arin. Bayu merasa jika Arin diberi terlalu banyak, ia akan melunjak dan meminta lebih.

Terlebih jika mertuanya datang. Orangtua Arin yang berada di ujung desa, kadang sering berkunjung ke rumahnya membuat Bayu risih dengan kedatangan mereka. Bagi Bayu, mereka hanya akan menambah pengeluarannya saja karena harus memberi mereka ongkos pulang. Jika tidak, maka mereka akan di rumahnya berhari-hari. Itu yang membuat Bayu muak dengan semua keluarga Arin. Keluarga dengan ekonomi menengah kebawah, atau bisa dikatakan miskin.

Bayu tak habis pikir, kenapa keluarganya memaksanya menikahi Arin. Baginya, sosok Arin bukanlah wanita sempurna yang enak dipandang mata pria sepertinya.

Badan kurus, rambut ikal dan juga kulit sawo matang atau lebih ke arah gelap ini membuat Bayu sangat enggan menyentuh wanita itu. Hanya saat ia sedang benar-benar merindukan mendiang istrinya, ia akan menyentuh Arin. Itupun, ia meminta Arin untuk memakai KB dan bisa dihitung jari berapa kali ia melakukannya selama enam tahun pernikahannya. Bayu tak ingin Arin hamil disaat dirinya belum mencintai wanita yang berstatus istrinya itu.

Bayu merogoh saku celananya, mengambil uang lembaran warna hijau dan kuning.

"Nih, buat beli minyak atau gas terserah kamu. Kalau tak cukup, pake kayu bakar. Kamu kan nggak ngapa-ngapain di rumah. Jika sisa, kamu tabung."

Bayu pergi begitu saja setelah meletakkan uang itu di atas meja. Arin melirik ke arah uang berjumlah dua puluh lima ribu itu dengan nelangsa.

"Jahat kamu, Mas. Jika saja bukan karena kasihan sama Agam, Arin tak akan betah tinggal dengan lelaki keji sepertimu," batin Arin geram. Pernah waktu itu Arin marah dan berniat pisah, tapi mertuanya mengatakan jika Agam sakit saat ditinggal ia pergi. Akhirnya, Arin kembali lagi dan berniat membesarkan Agam seperti anaknya sendiri.

Arin memasukan uang yang Bayu berikan dan langsung pergi ke warung. Ia membawa teng gas kosong dan akan membeli semuanya, walaupun harus malu karena mengecer.

"Bu Mar, beli gasnya ada?" tanya Arin.

"Coba tengok di depan situ, ada nggak?" sahut Bu Marni pemilik warung komplek.

"Alhamdulilah masih, saya beli satu ya, Bu." Arin mengambilnya lalu membayarnya.

"Bu, minyak seperempat berapa?" tanya Arin.

"Yang kemasan empat ribu, isi 200 ml. Kalau yang curah, sama juga tapi isinya lebih banyak. Mau yang mana?"

"Yang curah saja, ini sisanya boleh beli telor satu? Yang kecil nggak papa deh, buat makan Agam nanti."

"Kurang nggak papa Bu Arin, kayak sama siapa saja," ucap Bu Mar.

"Nggak lah, Bu. Takut kalau kebiasaan nanti, itu aja kalau boleh telurnya. Kalau enggak, juga nggak apa," ucap Arin santun. Arin memang dikenal sebagai wanita yang ramah dan santun. Ia bahkan tak suka menghutang walau dirinya kerap kekurangan. Ia lebih suka memakan seadanya atau mencari tambahan uang dengan bekerja sambilan. Kadang ia menjadi buruh cuci tanpa sepengetahuan Bayu, ia juga melakukan apapun pekerjaan rumah jika ada yang meminta bantuannya.

 Tentu warga sekitar juga tahu, dan tak ada yang berani buka mulut maupun komentar pedas pada Bayu. Karena mereka tahu, hal itu akan berdampak buruk pada Arin dan Agam. Arin juga selalu mengatakan pada yang meminta bantuannya, agar tak mengatakan pekerjaannya pada suaminya.

Karena iba, akhirnya pemilik warung memberiakan telur berukuran kecil pada Arin. Beruntung harga telur sedang turun, jadi tak begitu membuat pemilik warung merugi.

"Terimakasih, Bu Mar. Arin pamit, wassalamualaikum." 

"Waaalikumsalam," jawab Bu Mar sambil melihat Arin yang sudah pergi menjauh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status