"Mas, Gas habis. Minyak habis, bumbu dapur juga banyak yang habis. Ada sisa uang gajian kemarin nggak? Arin minta ya?" ucap Arin dengan nada sedikit mengiba dan takut.
"Minta? Uang gajian kemarin kan Mas sudah kasih kamu lima ratus ribu. Masa, dua minggu sudah habis?" sentak Bayu."Kemarin kan sudah Arin belanjakan keperluan sekolah Agam. Sisa dua ratus ribu, dipinjam ibu seratus. Sisa seratus buat beli kebutuhan dapur sama jajan Agam. Arin sudah nggak ada lagi," ucap Arin sambil meneteskan air matanya. Selalu saja begini, jika Arin meminta tambahan uang dari gaji Bayu yang bekerja sebagai mandor bangunan itu."Alah, itu hanya alasan kamu saja. Bulan kemarin Mas kasih empat ratus ribu saja cukup, kenapa sekarang jadi kurang?" sangkal Bayu tak terima."Kan bulan kemarin Arin ikut nguli padi di sawah Uma. Jadi ada tambahan untuk makan kita. Lagian, gaji Mas sebagai mandor kan besar. Pelit banget sama istri," ucap Arin membuat Bayu naik pitam."Apa kamu bilang? Pelit?" Bayu mengeraskan rahangnya sambil menatap Arin geram."Kamu kira, Mas kerja cuma buat dikasih kamu semua? Kamu saja yang jadi istri kurang bersyukur. Banyak di luar sana yang menjadi janda dan harus banting tulang seorang diri demi sesuap nasi. Kamu, sudah dikasih uang tiap bulan. Tidur enak, suami pekerjaan nggak bikin malu. Masih saja kurang bersyukur! Mas buang baru tahu rasa kamu," teriak Bayu tepat di depan Arin. Mendengar ucapan Bayu yang mengatakan dirinya kurang bersyukur, membuatnya naik pitam juga. Selama ini ia memendam semua yang dilakukan Bayu padanya. Tapi Arin masih bisa sabar, karena ada sosok Agam yang menjadi alasan Asih masih mau bersama Bayu. Agam adalah anak bawaan Bayu yang ia hasilkan dari pernikahan pertamanya dengan mendiang istrinya. Agam dibesarkan Arin dari masih menjadi bayi merah karena istri Bayu meninggal saat melahirkan Agam. Orang tua Bayu meminta Arin untuk menjadi pengasuh Agam dan akhirnya lambat laun Agam terbiasa memanggil Arin ibu dan kedua orangtua Bayu maupun mertua Bayu sepakat menikahkan Arin dengan Bayu.Pernikahan yang tak didasari cinta ini, membuat Bayu suka semena-mena dengan Arin. Gajinya yang terbilang besar sebagai mandor, ia simpan sendiri tanpa mau memberi lebih pada Arin. Bayu merasa jika Arin diberi terlalu banyak, ia akan melunjak dan meminta lebih.Terlebih jika mertuanya datang. Orangtua Arin yang berada di ujung desa, kadang sering berkunjung ke rumahnya membuat Bayu risih dengan kedatangan mereka. Bagi Bayu, mereka hanya akan menambah pengeluarannya saja karena harus memberi mereka ongkos pulang. Jika tidak, maka mereka akan di rumahnya berhari-hari. Itu yang membuat Bayu muak dengan semua keluarga Arin. Keluarga dengan ekonomi menengah kebawah, atau bisa dikatakan miskin.Bayu tak habis pikir, kenapa keluarganya memaksanya menikahi Arin. Baginya, sosok Arin bukanlah wanita sempurna yang enak dipandang mata pria sepertinya.Badan kurus, rambut ikal dan juga kulit sawo matang atau lebih ke arah gelap ini membuat Bayu sangat enggan menyentuh wanita itu. Hanya saat ia sedang benar-benar merindukan mendiang istrinya, ia akan menyentuh Arin. Itupun, ia meminta Arin untuk memakai KB dan bisa dihitung jari berapa kali ia melakukannya selama enam tahun pernikahannya. Bayu tak ingin Arin hamil disaat dirinya belum mencintai wanita yang berstatus istrinya itu.Bayu merogoh saku celananya, mengambil uang lembaran warna hijau dan kuning."Nih, buat beli minyak atau gas terserah kamu. Kalau tak cukup, pake kayu bakar. Kamu kan nggak ngapa-ngapain di rumah. Jika sisa, kamu tabung."Bayu pergi begitu saja setelah meletakkan uang itu di atas meja. Arin melirik ke arah uang berjumlah dua puluh lima ribu itu dengan nelangsa."Jahat kamu, Mas. Jika saja bukan karena kasihan sama Agam, Arin tak akan betah tinggal dengan lelaki keji sepertimu," batin Arin geram. Pernah waktu itu Arin marah dan berniat pisah, tapi mertuanya mengatakan jika Agam sakit saat ditinggal ia pergi. Akhirnya, Arin kembali lagi dan berniat membesarkan Agam seperti anaknya sendiri.Arin memasukan uang yang Bayu berikan dan langsung pergi ke warung. Ia membawa teng gas kosong dan akan membeli semuanya, walaupun harus malu karena mengecer."Bu Mar, beli gasnya ada?" tanya Arin."Coba tengok di depan situ, ada nggak?" sahut Bu Marni pemilik warung komplek."Alhamdulilah masih, saya beli satu ya, Bu." Arin mengambilnya lalu membayarnya."Bu, minyak seperempat berapa?" tanya Arin."Yang kemasan empat ribu, isi 200 ml. Kalau yang curah, sama juga tapi isinya lebih banyak. Mau yang mana?""Yang curah saja, ini sisanya boleh beli telor satu? Yang kecil nggak papa deh, buat makan Agam nanti.""Kurang nggak papa Bu Arin, kayak sama siapa saja," ucap Bu Mar."Nggak lah, Bu. Takut kalau kebiasaan nanti, itu aja kalau boleh telurnya. Kalau enggak, juga nggak apa," ucap Arin santun. Arin memang dikenal sebagai wanita yang ramah dan santun. Ia bahkan tak suka menghutang walau dirinya kerap kekurangan. Ia lebih suka memakan seadanya atau mencari tambahan uang dengan bekerja sambilan. Kadang ia menjadi buruh cuci tanpa sepengetahuan Bayu, ia juga melakukan apapun pekerjaan rumah jika ada yang meminta bantuannya. Tentu warga sekitar juga tahu, dan tak ada yang berani buka mulut maupun komentar pedas pada Bayu. Karena mereka tahu, hal itu akan berdampak buruk pada Arin dan Agam. Arin juga selalu mengatakan pada yang meminta bantuannya, agar tak mengatakan pekerjaannya pada suaminya.Karena iba, akhirnya pemilik warung memberiakan telur berukuran kecil pada Arin. Beruntung harga telur sedang turun, jadi tak begitu membuat pemilik warung merugi."Terimakasih, Bu Mar. Arin pamit, wassalamualaikum." "Waaalikumsalam," jawab Bu Mar sambil melihat Arin yang sudah pergi menjauh."Dari mana, Bu?" tanya Agam selepas pulang sekolah. Agam memang selalu pergi ke sekolah bersama neneknya, ibu dari Bayu."Habis dari warung, nenek mana, Gam?" tanya Arin saat melihat Agam sendirian."Tadi katanya mau cara Ibu, tapi belum balik. Emang, nggak ketemu di jalan?" "Tidak, apa nenek sudah pulang?" tanya Arin mengingat rumah mertuanya yang hanya berjarak tiga rumah dari tempatnya tinggal."Nggak tahu, Bu. Bu, Agam tadi dikasih ini sama temen Agam." Agam menyodorkan kertas lipat sudah terpakai, penuh di tasnya."Banyak sekali? Buat apa?" tanya Arin kaget dengan semua sampah kertas ini."Agam tadi ambilin sisa yang nggak terpakai. Eh, sama temen-temen malah dikasih ini semua. Katanya buat Agam saja," ucap Agam dengan polosnya. Sebenarnya hatinya sedikit sedih, kemarin ia sudah membelikannya kertas lipat tapi ia tak habis pikir jika anaknya ini membutuhkan banyak kertas lipat."Memang punya Agam kurang yang kemarin Ibu belikan?""Enggak, tapi kan sayang kalau sisa hasil prakary
"Mas, tadi ibu pesan karedok sama es sultan sama Mbak Sari. Tapi belum dibayar," ucap Arin saat Bayu sudah mandi dan berganti pakaian. Ia memang sengaja menunggu suaminya sedang santai dan badannya sudah bersih selepas bekerja."Lalu?""Arin sudah nggak ada uang buat bayar. Lagian, semua totalnya tigapuluh lima ribu," ucap Arin."Banyak amat, memang ibu pesan berapa porsi?""Dua karedok dan dua es sultan, yang satunya diantar ke sini yang satunya ke rumah ibu. Arin sudah janji besok mau bayar sama Mbak Sari, ada uangnya kan?""Kenapa karedok yang diantar ke rumah kamu terima? Seharusnya kamu tolak jadi nggak kebanyakan yang harus dibayar," sentak Bayu. "Mana bisa? Itu karedok, bukan beli perabotan dapur yang bisa dibalikin kalau nggak suka atau nggak bisa bayar. Lagian, Arin mana tahu ibu pesanin karedok itu. Arin aja nggak suka, soalnya pedes banget dan akhirnya dimakan Wisnu."Bayu melirik ke arah Arin, mencari kebenaran atas ucapan istrinya itu. Bayu beranjak mengambil kunci motor
Arin keluar dari tempat Bu Puji. Hari ini ia ada janji mengantar upah hasil kerjanya membersihkan rumah untuk membayar karedok yang mertuanya beli."Mau bagaimana nasib kita ya, Gam," ucap Arin lirih pada anak angkatnya ini. Arin memang kerap mengajak Agam ikut bekerja jika ia sudah pulang sekolah. Karena ia tak mau mertuanya tahu, jika ia pergi keluar rumah untuk bekerja. Agam sendiri sepertinya tak tahu, jika Arin pergi dari rumah ke rumah untuk mencari tambahan uang."Kenapa, Bu?" tanya Agam dengan polosnya."Ibu sedih lihat kamu nggak bisa jajan enak kayak teman-teman yang lain.""Nggak apa, Bu. Lagian, Agam suka kok begini. Asal sama Ibu terus, Agam rela gak jajan. Tapi, Ibu jangan pergi lagi ya?" Sepertinya kepergian Arin waktu itu membekas di hati anak kecil berumur enam tahun ini. Inilah alasan Arin masih mempertahankan rumah tangganya dengan Bayu, lelaki berwatak keras dan juga pelit."Asal Agam janji, nurut sama Ibu dan nggak boleh bikin ayah repot. Agam kan tahu, Ayah itu
"Bu, Ayah ajak Agam keliling alun-alun pake mobil baru Ayah. Mama ikut ya?" ajak Agam. Bayu menyusul masuk Agam ke kamar untuk berganti pakaian."Mas beli mobil baru?" tanya Arin."Iya.""Kok nggak tanya Arin?""Tanya? Buat apa tanya, kan Mas beli pake uang Mas sendiri. Kenapa harus izin kamu? Aneh," umpatnya."Agam keluar dulu, ya? Main sama nenek. Ibu mau bicara sama Ayah sebentar.""Iya, Bu."Arin menatap Bayu tajam meminta penjelasan pada suaminya ini."Mas, Arin ini istri sah Mas. Seharusnya, hal seperti ini kita bicarakan. Mas katanya nggak punya uang lebih, setiap hari Arin diminta hemat pengeluaran. Ternyata hematnya Arin, hanya untuk membuat Mas memperkaya diri sendiri. Sampai keuangan Mas, Arin tak boleh ikut campur," ucap Arin dengan mata yang sudah berkaca-kaca."Kamu ini aneh. Suami dapat rezeki lebih, kamu malah sedih dan tak bersyukur. Pantas hidupmu selalu mengeluh, kamu ini istri yang tak bisa menerima setiap pemberian suami. Mas ini hemat karena kita perlu banyak tab
"Biar saya bantu, Mbak." Susi mengambil alih pisau yang Arin sedang gunakan memotong wortel."Nggak usah," ucap Arin menarik kembali pisau yang diminta Susi hingga tak sengaja menggores sedikit jari Susi."Aw!" rintih Susi.Bayu yang baru selesai dari kamar mandi mendengar rintihan Susi seketika terkejut. "Kenapa, Si?" tanya Bayu."Nggak apa, Mas. Hanya sedikit terkena pisau saat hendak memasak," ucap Susi membersihkan darah dengan menghisapnya."Sini biar Mas lihat," ucap Bayu membuat Arin geram."Perhatian sekali kamu, Mas? Biasanya aku berdarah sampai satu gayung saja kamu biasa saja. Kenapa sekarang jadi lebay gitu? Jangan-jangan benar dugaan Arin. Susi itu bukan saudara Mas, tapi selingkuhan Mas.""Arin!" bentak Bayu membuat Arin bertambah murka."Apa? Benar ucapan saya, Mas? Ck! Pantas Mas pelit dan sangat perhitungan, ternyata uang itu Mas gunakan untuk merayu wanita," ucap Arin kalap. Bayu yang murka seketika melayangkan pukulan di wajah Arin.Plak!Pipi Arin yang hampir berke
"Assalamualaikum, Bu." Arin masuk ke dalam rumah dengan menyeret koper miliknya. Bu Narsih yang melihat anaknya pulang dengan membawa koper kaget dengan kepulangannya kali ini."Waalaikumsalam, Arin. Kamu kenapa pulang membawa koper?" tanya Bu Narsih, ibu dari Arin."Mas Bayu usir Arin." Bu Narsih tampak terkejut. Arin yang merasa lelah badan dan pikiran memilih masuk ke kamarnya yang dulu ia tempati saat masih gadis.Bu Narsih pergi menyusul Bapak Karyo yang sedang berada di sawah untuk memintanya segera pulang. Bu Narsih panik melihat anaknya pulang dengan kondisi yang berantakan. Bu Narsih takut hal buruk telah terjadi pada anak sulungnya ini."Pak! Pak!" Pak Karyo yang sedang mencangkul lahan di sawah berhenti dan menengok ke arah Bu Narsih."Pak! Ayo, pulang!" teriak Bu Narsih kembali. Pak Karyo yang melihat istrinya kalut, memilih segera menyudahi aktivitasnya."Ada apa, Bu? Sampe teriak-teriak begitu?" tanya Pak Karyo."Itu loh, Pak. Anak kita," ucap Bu Narsih dengan nafas yang
Pagi ini, Karyo berencana mengunjungi rumah Bayu seorang diri. Ia tak ingin Arin sedih jika nanti ia ajak ke sana. Biarlah hari ini ia hendak mencari tahu penyebab kemarahan Arin terhadap Bayu. Dengan menaiki ojek, ia bertandang ke kota tempat Bayu tinggal. Kota berlambang bunga Wijaya Kusuma ini tempat Bayu menetap, masih dalam satu kabupaten dengan tempat tinggal Karyo hanya ia di desa dan Bayu di kota.Ojel sampai di depan rumah Bayu, rumah tampak sepi dan hanya ada mobil berwarna putih yang ada di depan rumah. Karyo berjalan ke arah pintu, mengetuk pintu perlahan."Assalamualaikum," panggil Karyo. Tak ada jawaban dari dalam sana, membuat Karyo kembali mengetuk pintu. Terdengar suara dari arah jendela dan itu seperti sebuah desahan wanita dan laki-laki. Tak ingin berpikiran buruk, Karyo hendak mengintip dari jendela. Ia tak bisa melihatnya karena jendela tertutup rapat oleh gorden. Tapi ia mendengar dengan jelas suara itu saat sudah mendekati jendela kamar."Mas, kayak ada yang ket
"Rin, ini uang pembayaran kambing Bapak. Kamu besok kembali ke pengadilan agama untuk melanjutkan berkasmu agar segera diproses. Bapak mau semuanya cepat selesai," ucap Karyo. Arin menerima uang senilai dua juta yang baru Karyo dapatkan dari penjual kambing."Makasih, Pak. Mengurus perceraian itu butuh waktu yang lama ya, Pak. Harus wara wiri ke pengadilan. Arin jadi kasihan sama Bapak kalau harus ikut terus, besok Arin berangkat sendiri saja.""Yakin?" "InsyaAllah," jawab Arin tegas."Yo wis kalau begitu, Bapak besok mau ke Lomanis. Bude meminta Bapak buat bersihin kebun belakang rumahnya," ucap Karyo."Iya, Pak." Arin memasuki kamarnya, meletakkan uangnya di dalam laci lemarinya dan bersiap tidur.🌷"Pak, Arin nggak papa dibiarkan berangkat sendiri?""Nggak papa, Bu. Arin kan sudah pernah ke sana sama Bapak kemarin. Insya Allah nggak apa. Bapak mau sekalian berkunjung ke rumah abang Bapak yang pada di Lomanis itu." Karyo adalah anak dari 5 bersaudara. Ayah dari Arin ini, adalah a