"Dari mana, Bu?" tanya Agam selepas pulang sekolah. Agam memang selalu pergi ke sekolah bersama neneknya, ibu dari Bayu.
"Habis dari warung, nenek mana, Gam?" tanya Arin saat melihat Agam sendirian."Tadi katanya mau cara Ibu, tapi belum balik. Emang, nggak ketemu di jalan?" "Tidak, apa nenek sudah pulang?" tanya Arin mengingat rumah mertuanya yang hanya berjarak tiga rumah dari tempatnya tinggal."Nggak tahu, Bu. Bu, Agam tadi dikasih ini sama temen Agam." Agam menyodorkan kertas lipat sudah terpakai, penuh di tasnya."Banyak sekali? Buat apa?" tanya Arin kaget dengan semua sampah kertas ini."Agam tadi ambilin sisa yang nggak terpakai. Eh, sama temen-temen malah dikasih ini semua. Katanya buat Agam saja," ucap Agam dengan polosnya. Sebenarnya hatinya sedikit sedih, kemarin ia sudah membelikannya kertas lipat tapi ia tak habis pikir jika anaknya ini membutuhkan banyak kertas lipat."Memang punya Agam kurang yang kemarin Ibu belikan?""Enggak, tapi kan sayang kalau sisa hasil prakarya dibuang begitu saja. Ibu kan bilang, kalau sesuatu yang masih bisa dipakai jangan dibuang. Mubazir, iya 'kan?" ucap Agam membuat Arin takjub dengan kemampuan dan daya tangkap anaknya ini."Iya, tapi emang mau Agam bikin apa semua ini?" "Mau buat hiasan dinding kayak di sekolah tadi. Tasi Agam bikin burung, bunga, baju, pokoknya bagus deh, Bu. Ditempel dan digantung di kamar, nanti Agam mau coba bikin sendiri. Ibu bantuin ya?" Arin tersenyum dan mengangguk lalu mengambil alih tas yang digendong Agam untuk ia letakkan di tempat semula. Agam mengganti bajunya dan langsung duduk di depan televisi sambil rebahan memegang kertas lipat yang tadi ia bawa."Arin." Suara Bu Sari terdengar memanggil dengan keras. "Iya, sebentar." Arin yang sedang memasak segera menyudahi aktivitasnya setelah mendengar panggilan tetangganya."Eh, Bu Sari. Silahkan masuk, ada apa ya?""Ini, tadi mertua kamu pesen es sultan sama karedok. Katanya buat Agam," ucap Sari."Oh, iya. Terimakasih, sudah dibayar belum?""Belum, tadi pesen empat bungkus. Ini dua bungkus, yang dua katanya dibawa ke sini sekalian meminta bayarannya pada Mbak Arin." Arin kaget mendengar penuturan Sari, ternyata mertuanya sengaja langsung pergi dan memesan semua ini atas namanya."Eh, maaf, Bu Sari. Saya nggak tahu kalau mertua saya pesan ini, tapi uang untuk membayarnya nanti sore ya. Nunggu Mas Bayu pulang, boleh nggak?""Oh, iya. Nggak apa, kok bisa mertuamu pesan makanan kamu nggak tahu, Mbak?""Biasa itu, Bu. Beliau suka bikin surprise saya, tapi kebetulan hari ini gas dan keperluan lagi habis. Jadi uang saya nggak ada sisa. Kalau boleh tahu, semuanya berapa ya?""Semuanya tiga puluh ribu, besok saja saya ke sini lagi. Siapa tahu, Mbak Arin mau pesan lagi," ucap Sari sedikit bergurau."Ini saja masih ngutang, pokoknya secepatnya akan saya bayar. Jika nanti siang sudah ada, akan saya antar.""Mbak Arin ini, takut banget kalau ditawari hutang," ucap Sari."Iya, soalnya takut besok sudah mati. Kalau mati meninggalkan hutang, takutnya ditagih di akhirat nanti," jawab Arin."Bagus itu, jadi nggak kayak tetangga lain yang punya prinsip 'nggak ngutang ya nggak punya' ya nggak?""Hehehe, kalau itu saya kurang tahu. Mbak Sari mau mampir ikut makan?" tanya Arin sengaja ingin menyudahi pembicaraan unfaedah ini."Enggak, aku mau ngider lagi. Ya sudah, Sari pemisi. Mari," pamit Sari meninggalkan rumah Arin dan bergegas menaiki sepeda motornya.Arin menghembuskan nafasnya pelan, mertuanya memang selalu seperti itu. Membeli sesuatu atas namanya, dan membiarkan ia yang harus memberinya.Arin membawa makanan dan minuman itu ke dalam, lalu menaruhnya di dalam piring besar."Gam, makan karedok mau? Ada es juga, tapi Agam harus makan sama nasi. Okey?" ajak Arin pada anak tirinya yang sedang sibuk memainkan kertas lipat."Iya, Bu. Apa tadi nenek yang beli?" "Iya," jawab Arin menutupi semuanya.Arin memperhatikan anaknya yang sedang lahap memakan karedok, terlihat ia sedikit kepedesan."Bu, ini bukan buat Agam kayaknya. Pedes banget," ucap Agam mengipasi kepalanya dengan telapak tangannya."Masa sih?" Arin mencicipi karedok itu dan ternyata benar. Makanan ini sungguh sangat pedas."Sudah nggak usah dimakan, Ibu buatkan telor ceplok saja ya. Tadi Ibu habis beli di warung" ucap Arin."Iya, kayaknya ini buat Ayah. Soalnya Ibu juga tak suka pedas, bukan?""Mungkin nenek lupa," jawab Arin sambil menggoreng telur untuk Agam.Makanan tersedia, Arin yang sedang sibuk membereskan rumah dikagetkan dengan suara knalpot motor yang sangat keras.Lelaki berbadan jangkung masuk ke rumah Arin tanpa salam dan permisi."Mbak, Mas Bayu mana?" tanya Wisnu, adik dari Bayu."Jam segini cari Masmu, ya ndak di rumah, Nu." Arin melirik sebal lelaki yang berstatus adik iparnya ini. Belum juga menyuruhnya masuk, Wisnu sudah nyelonong ke dapur dan membuka tudung saji."Waw, ada karedok. Wisnu makan ya? Kebetulan Wisnu lapar, boleh ya Mbak?""Memang Ibu nggak masak?""Enggak, tadi saja ibu makan karedok juga. Tapi Wisnu tak dikasih," ucap Wisnu dengan tampang memelas. Mungkin itu rezeki Wisnu yang datang disaat ada karedok di sana, atau mungkin ibu sengaja melakukannya agar Arin kesal dan akhirnya membeli lagi.Arin tak masalah tentang hal itu, tapi menjadi masalah jika nanti Bayu tak mau membayar ini semua. Jika begitu kasusnya, alamat ia harus mencari pekerjaan tambahan lagi."Mas, tadi ibu pesan karedok sama es sultan sama Mbak Sari. Tapi belum dibayar," ucap Arin saat Bayu sudah mandi dan berganti pakaian. Ia memang sengaja menunggu suaminya sedang santai dan badannya sudah bersih selepas bekerja."Lalu?""Arin sudah nggak ada uang buat bayar. Lagian, semua totalnya tigapuluh lima ribu," ucap Arin."Banyak amat, memang ibu pesan berapa porsi?""Dua karedok dan dua es sultan, yang satunya diantar ke sini yang satunya ke rumah ibu. Arin sudah janji besok mau bayar sama Mbak Sari, ada uangnya kan?""Kenapa karedok yang diantar ke rumah kamu terima? Seharusnya kamu tolak jadi nggak kebanyakan yang harus dibayar," sentak Bayu. "Mana bisa? Itu karedok, bukan beli perabotan dapur yang bisa dibalikin kalau nggak suka atau nggak bisa bayar. Lagian, Arin mana tahu ibu pesanin karedok itu. Arin aja nggak suka, soalnya pedes banget dan akhirnya dimakan Wisnu."Bayu melirik ke arah Arin, mencari kebenaran atas ucapan istrinya itu. Bayu beranjak mengambil kunci motor
Arin keluar dari tempat Bu Puji. Hari ini ia ada janji mengantar upah hasil kerjanya membersihkan rumah untuk membayar karedok yang mertuanya beli."Mau bagaimana nasib kita ya, Gam," ucap Arin lirih pada anak angkatnya ini. Arin memang kerap mengajak Agam ikut bekerja jika ia sudah pulang sekolah. Karena ia tak mau mertuanya tahu, jika ia pergi keluar rumah untuk bekerja. Agam sendiri sepertinya tak tahu, jika Arin pergi dari rumah ke rumah untuk mencari tambahan uang."Kenapa, Bu?" tanya Agam dengan polosnya."Ibu sedih lihat kamu nggak bisa jajan enak kayak teman-teman yang lain.""Nggak apa, Bu. Lagian, Agam suka kok begini. Asal sama Ibu terus, Agam rela gak jajan. Tapi, Ibu jangan pergi lagi ya?" Sepertinya kepergian Arin waktu itu membekas di hati anak kecil berumur enam tahun ini. Inilah alasan Arin masih mempertahankan rumah tangganya dengan Bayu, lelaki berwatak keras dan juga pelit."Asal Agam janji, nurut sama Ibu dan nggak boleh bikin ayah repot. Agam kan tahu, Ayah itu
"Bu, Ayah ajak Agam keliling alun-alun pake mobil baru Ayah. Mama ikut ya?" ajak Agam. Bayu menyusul masuk Agam ke kamar untuk berganti pakaian."Mas beli mobil baru?" tanya Arin."Iya.""Kok nggak tanya Arin?""Tanya? Buat apa tanya, kan Mas beli pake uang Mas sendiri. Kenapa harus izin kamu? Aneh," umpatnya."Agam keluar dulu, ya? Main sama nenek. Ibu mau bicara sama Ayah sebentar.""Iya, Bu."Arin menatap Bayu tajam meminta penjelasan pada suaminya ini."Mas, Arin ini istri sah Mas. Seharusnya, hal seperti ini kita bicarakan. Mas katanya nggak punya uang lebih, setiap hari Arin diminta hemat pengeluaran. Ternyata hematnya Arin, hanya untuk membuat Mas memperkaya diri sendiri. Sampai keuangan Mas, Arin tak boleh ikut campur," ucap Arin dengan mata yang sudah berkaca-kaca."Kamu ini aneh. Suami dapat rezeki lebih, kamu malah sedih dan tak bersyukur. Pantas hidupmu selalu mengeluh, kamu ini istri yang tak bisa menerima setiap pemberian suami. Mas ini hemat karena kita perlu banyak tab
"Biar saya bantu, Mbak." Susi mengambil alih pisau yang Arin sedang gunakan memotong wortel."Nggak usah," ucap Arin menarik kembali pisau yang diminta Susi hingga tak sengaja menggores sedikit jari Susi."Aw!" rintih Susi.Bayu yang baru selesai dari kamar mandi mendengar rintihan Susi seketika terkejut. "Kenapa, Si?" tanya Bayu."Nggak apa, Mas. Hanya sedikit terkena pisau saat hendak memasak," ucap Susi membersihkan darah dengan menghisapnya."Sini biar Mas lihat," ucap Bayu membuat Arin geram."Perhatian sekali kamu, Mas? Biasanya aku berdarah sampai satu gayung saja kamu biasa saja. Kenapa sekarang jadi lebay gitu? Jangan-jangan benar dugaan Arin. Susi itu bukan saudara Mas, tapi selingkuhan Mas.""Arin!" bentak Bayu membuat Arin bertambah murka."Apa? Benar ucapan saya, Mas? Ck! Pantas Mas pelit dan sangat perhitungan, ternyata uang itu Mas gunakan untuk merayu wanita," ucap Arin kalap. Bayu yang murka seketika melayangkan pukulan di wajah Arin.Plak!Pipi Arin yang hampir berke
"Assalamualaikum, Bu." Arin masuk ke dalam rumah dengan menyeret koper miliknya. Bu Narsih yang melihat anaknya pulang dengan membawa koper kaget dengan kepulangannya kali ini."Waalaikumsalam, Arin. Kamu kenapa pulang membawa koper?" tanya Bu Narsih, ibu dari Arin."Mas Bayu usir Arin." Bu Narsih tampak terkejut. Arin yang merasa lelah badan dan pikiran memilih masuk ke kamarnya yang dulu ia tempati saat masih gadis.Bu Narsih pergi menyusul Bapak Karyo yang sedang berada di sawah untuk memintanya segera pulang. Bu Narsih panik melihat anaknya pulang dengan kondisi yang berantakan. Bu Narsih takut hal buruk telah terjadi pada anak sulungnya ini."Pak! Pak!" Pak Karyo yang sedang mencangkul lahan di sawah berhenti dan menengok ke arah Bu Narsih."Pak! Ayo, pulang!" teriak Bu Narsih kembali. Pak Karyo yang melihat istrinya kalut, memilih segera menyudahi aktivitasnya."Ada apa, Bu? Sampe teriak-teriak begitu?" tanya Pak Karyo."Itu loh, Pak. Anak kita," ucap Bu Narsih dengan nafas yang
Pagi ini, Karyo berencana mengunjungi rumah Bayu seorang diri. Ia tak ingin Arin sedih jika nanti ia ajak ke sana. Biarlah hari ini ia hendak mencari tahu penyebab kemarahan Arin terhadap Bayu. Dengan menaiki ojek, ia bertandang ke kota tempat Bayu tinggal. Kota berlambang bunga Wijaya Kusuma ini tempat Bayu menetap, masih dalam satu kabupaten dengan tempat tinggal Karyo hanya ia di desa dan Bayu di kota.Ojel sampai di depan rumah Bayu, rumah tampak sepi dan hanya ada mobil berwarna putih yang ada di depan rumah. Karyo berjalan ke arah pintu, mengetuk pintu perlahan."Assalamualaikum," panggil Karyo. Tak ada jawaban dari dalam sana, membuat Karyo kembali mengetuk pintu. Terdengar suara dari arah jendela dan itu seperti sebuah desahan wanita dan laki-laki. Tak ingin berpikiran buruk, Karyo hendak mengintip dari jendela. Ia tak bisa melihatnya karena jendela tertutup rapat oleh gorden. Tapi ia mendengar dengan jelas suara itu saat sudah mendekati jendela kamar."Mas, kayak ada yang ket
"Rin, ini uang pembayaran kambing Bapak. Kamu besok kembali ke pengadilan agama untuk melanjutkan berkasmu agar segera diproses. Bapak mau semuanya cepat selesai," ucap Karyo. Arin menerima uang senilai dua juta yang baru Karyo dapatkan dari penjual kambing."Makasih, Pak. Mengurus perceraian itu butuh waktu yang lama ya, Pak. Harus wara wiri ke pengadilan. Arin jadi kasihan sama Bapak kalau harus ikut terus, besok Arin berangkat sendiri saja.""Yakin?" "InsyaAllah," jawab Arin tegas."Yo wis kalau begitu, Bapak besok mau ke Lomanis. Bude meminta Bapak buat bersihin kebun belakang rumahnya," ucap Karyo."Iya, Pak." Arin memasuki kamarnya, meletakkan uangnya di dalam laci lemarinya dan bersiap tidur.🌷"Pak, Arin nggak papa dibiarkan berangkat sendiri?""Nggak papa, Bu. Arin kan sudah pernah ke sana sama Bapak kemarin. Insya Allah nggak apa. Bapak mau sekalian berkunjung ke rumah abang Bapak yang pada di Lomanis itu." Karyo adalah anak dari 5 bersaudara. Ayah dari Arin ini, adalah a
"Hallo, iya. Oke … Kakak jemput!" ucap Kaisar di dalam panggilan ponselnya."Hm … Rin, kita mampir ke Green cafe bentar ya. Jemput adik saya dulu, nggak apa 'kan?""Baik, Mas." Kaisar membelokkan stir menuju Green cafe, Kenzi yang sudah menunggu di depan cafe merasa kesal karena terlalu lama menunggu mobil jemputannya."Lama amat, Ka?" gerutu Kenzi.Kenzi membuka pintu dan masuk tanpa melihat ada Arin dibelakang. Arin merasa tak asing dengan suara lelaki itu, lelaki yang pernah menjadi lawan lomba sains antar sekolah.Kenzi menengok ke belakang dan melihat ada Arin seketika kaget."Lo?!" ucap Kenzi kaget. Arin hanya tersenyum tanpa menanggapi lagi kekagetan Kenzi padanya, karena ia sudah tahu jika Kenzi memang lelaki yang pernah ia kalahkan dalam olimpiade antar sekolah."Kakak bawa wanita dalam mobil Kakak tanpa bilang ke Ken, wah … bahaya ini. Kakak nggak beres, harus dilaporkan kanjeng Mami. Heh, sejak kapan kamu numpang di mobil Kakakku?" ucap Kenzi dingin.Kaisar menjewer telin