Pov YudaDengan sabar Salma membantuku turun dari ranjang kemudian duduk di kursi roda. Setelah mengenakan hijabnya kembali, Salma membawaku keluar dari kamar menuju ruang tamu. Dua orang pria tampan yang sepertinya usianya tak jauh dariku berdiri menyambut kedatanganku di ruang tamu. Mereka menatapku hangat, seakan kami sudah begitu dekat. "Hai, Yuda! Apa kabar?" sapa pria yang lebih kekar dan agak gondrong. "Hallo, Bro! Jangan kelamaan sakit, dong! Kasian itu istri cantik dianggurin!"celoteh pria tampan di sebelahnya. Pria ini penampilannya sangat modis seperti artis papan atas. "Elkan, jaga bicaramu! Ingatan Mas Yuda masih belum pulih!" bentak Salma pada pria tampan yang dipanggil Elkan itu. "Tenang Salma, kalau Yuda sampai melupakanmu, ya sudah kamu sama aku aja! Kali ini dia pasti tidak akan keberatan." Elkan terkekeh. Dia masih mencoba menggoda Salma. Kenapa aku tak terima jika ada seseorang yang menggodanya? Apa aku cemburu? "Bagaimana kesehatanmu, Yud? Jika kamu ada wa
Pov Yuda "Bro, kalau kamu masih belum bisa mengingat Salma seutuhnya, tidak apa-apa. Tapi tolong jangan membuatnya terluka. Dia begitu mencintaimu." Elkan nampak serius dengan kata-katanya. "Asal kamu tau, jika Salma tak bertemu kamu lebih dulu? Pasti saat ini dia sudah menjadi istriku." "Apa maksud anda, Tuan Elkan?" sahutku dengan suara meninggi. Entah kenapa aku merasa tak suka melihat kedekatan Elkan dan Salma "Hei, santai, Bro! Aku memang ingin memiliki Salma sejak Almarhum suami pertamanya menitipkan dia padaku. Namun apapun usahaku pasti akan sia-sia. Karena dihatinya hanya ada kamu, Yuda." Penjelasan Elkan membuatku semakin bingung. "Almarhum suaminya?" "Ya, Raihan adalah anak Irsan, suami pertama Salma. Tapi kamu sangat menyayanginya. Irsan dulu kecelakaan dan meninggal saat Salma sedang hamil tua. Irsan menitipkannya padaku. Namun keluarganya menyembunyikanya dariku setelah mereka menerima uang dengan jumlah yang sangat banyak dariku. Dulu mereka memperlakukan Salm
Pov YudaPantas saja waktu itu banyak yang dia tanyakan. Sementara aku tak bisa mengingat apapun. Hingga aku emosi dibuatnya waktu itu. "Aku pikir wanita itu ada maksud jahat pada Mas Yuda. Sepertinya dia mengikuti kami," sahut Salma. Tiba-tiba saja aku merasa sangat pusing. "Mas Yuda kenapa? Mas Yuda pusing, ya?" Salma sangat cemas melihatku memijit kening dan kepalaku. "Iy-iyaaa, kepalaku rasanya nyeri dan berat."jawabku sambil memejamkan mata, berharap rasa sakit ini berkurang. Namun ternyata sakitnya makin hebat. "Kita ke dokter! Elkan, bantu aku bawa Mas Yuda ke mobil. Rein, tolong siapkan mobil!" Salma terlihat sangat panik. Aura kecemasan nampak jelas dari raut wajahnya. Aku terus memegang kepalaku. Di sekitarku terasa seakan berputar. Perlahan Elkan mendorong kursi rodaku. "Tahan ya, Mas. Aku yakin kamu kuat. Sebentar aku ambil tas ke kamar." Astaga! Salma berlari menuju kamar. Bukankah dia sedang hamil? "Salma ... Salma! Jangan lari! kamu sedang hamil!" Aku berteria
Pov Mira "Segera bayar hutang-hutangmu! Atau kami akan menjebloskanmu ke penjara." Sial! Para penagih hutang itu datang lagi. Bagaimana ini? Sudah lebih dari tiga bulan aku tak ada pemasukan. Tidak ada kontrak Iklan dan pemotretan. Para Produser lebih memilih para model-model muda ketimbang diriku saat ini. Sementara kebutuhan hidupku terus berjalan. "Aku minta waktu," pintaku gemetar pada tiga orang pria berperawakan seram itu. "Sudah tidak ada waktu lagi. Cepat ayo bayar!" Aku terlonjak mendengar suara menggelegar dari salah satu penagih itu. "Aku mohon beri Aku waktu seminggu lagi." Aku terus memohon. Padahal dalam waktu seminggu pun belum tentu aku bisa mendapatkan uang yang jumlahnya tidak sedikit itu "Kelamaan! Pokoknya tiga hari lagi kami datang. Kalau kamu tidak melunasinya, kami akan langsung seret kamu ke kantor polisi," ancam para penagih itu. Aku tertunduk ketakutan dengan tubuh bergetar. Tak lama kemudian ketiga penagih hutang itu pergi. "Ada apa? Para penagih itu
Pov MiraAku melajukan mobil membelah jalan raya yang masih padat. Sengaja aku tak memberitahu Rio kemana tujuanku. Dia pun sepertinya tak peduli. Aku harus menyelesaikan masalahku sendiri. Punya suami sama sekaki tak bisa diandalkan. Setelah perjalanan hampir satu jam, akhirnya aku tiba di depan Cafe Blackwhite. Setelah memarkir mobil di halaman depannya yang cukup luas, aku melangkah masuk ke dalam Cafe yang cukup ramai namun tenang. Astaga kenapa aku lupa menanyakan nama orang yang akan aku temui ini? Seperti orang bodoh aku celingukan ke sana ke mari. Mencoba menghubungi nomor tak dikenal tadi, namun masih tidak aktif. Dengan rasa hampir putus asa aku memutuskan untuk duduk di salah satu meja di sudut ruangan. Kemudian mencoba memesan segelas minuman. Sempat terpikir olehku ini hanyalah lelucon. Mungkin saja seseorang ingin mengerjaiku Tiba-tiba seorang wanita bertubuh tinggi dan langsing bagaikan seorang model datang mendekat. Wanita itu memakai kacamata sedikit gelap.
Kembali Pov Salma [ Tinggalkan Yuda atau tidak akan ada satupun yang pernah bisa memilikinya!] Mataku membola saat membaca sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal. Jantungku berdetak cepat. Napasku memburu tak beraturan. Kecemasan dan ketakutan mulai merajai hati ini. Siapa pengirim pesan misterius ini? Apakah ini Angel? Walau saat ini berada di penjara, wanita itu tetap menjadi ancaman bagi keluargaku. Dari kata-katanya jelas sekali dia hendak mengancamku dan Mas Yuda. Jangan sampai terjadi apa-apa lagi terhadap Mas Yuda. Aku harus bisa menjaganya. Aku harus segera menghubungi Rein. "Ada apa, Salma? Kenapa wajahmu tampak panik?" Mas Yuda yang tadi terlelap disampingku ternyata sudah bangun. "Pesan dari siapa malam-malam begini, hmm?" Perlahan Mas Yuda mencoba untuk bangkit. Sejak rutin melakukan terapi di rumah sakit, Mas Yuda sudah mulai ada kemajuan. Walau masih belum bisa berjalan, tapi suamiku ini sudah bisa melakukan berbagai aktifitas. Syaraf-syaraf yang sebelumnya t
"Beruntung kamu Salma. Andai dulu aku tak mengkhianati Yuda, mungkin akulah yang kini menjadi istrinya." Aku menatap tajam pada wanita yang senang berpakaian ketat itu. "Eh, maaf! Aku nggak bermaksud apa-apa."pungkasnya setelah melihat tatapanku. "Bisa langsung saja? Apa yang mau kamu bicarakan?" tanyaku tak sabar. Sejujurnya aku khawatir Mira berbuat yang tidak-tidak di rumahku. Diam-diam aku mengirim pesan pada Rein lewat ponsel yang berada dalam genggamanku. "Baik, baiklah." Mira menghela napas panjang. Wajahnya mulai tampak serius. Ada raut kecemasan tersirat dari wajahnya. Sebelum bicara, Mira menoleh ke kanan dan ke kiri. Sepertimya dia takut jika ada yang mendengar atau melihat dirinya. "Salma, Aku punya imformasi penting. Informasi ini menyangkut hidup matinya Yuda. Tapi informasi ini akan aku berikan padamu jika kamu mau membantuku melunasi semua hutang-hutangku." Wajah Mira sedikti memelas. Aku jadi ragu kenapa begitu cepat seseorang bisa berubah. "Bagaimana, Salm
"Allahu Akbar!" jeritku seraya menutup wajah dengan kedua tangan, ketika mendengar suara tembakan. "Salmaaa!" Teriakan Mas Yuda pun terdengar jelas olehku. Sesaat aku merasakan sebuah pelukan di tubuhku. "Tenanglah, Sayang. Kita baik-baik saja." Suara Mas Yuda terdengar hangat di telingaku. Ya Tuhan, saat ini Mas Yuda memelukku dengan berdiri tegak di atas kedua kakinya. Tak kusangka kami berdua baik-baik saja. Lalu siapa yang tertembak? Perlahan aku mengurai pelukan. Memandang haru kedua kaki Mas Yuda yang tiba-tiba sudah bisa berdiri tegak. "Maas, kamu bisa berdiri ..," lirihku bergetar. "Apaa? Ya Allah. Kenapa aku baru sadar," balas Mas Yuda sambil menatap ke bawah pada dua kakinya "Maaaas, lihat! Mira, Mas!" Aku kembali terpekik saat melihat tubuh Mira ambruk di ambang pintu. Kakinya berlumuran darah. Suara rintihan pilu terdengar dari mulut iparku itu. "Salmaa ..., to-tolong Aku ...!" "Kenapa Mira bisa tertembak? Siapa yang menembaknya, Mas?" tanyaku panik hendak mengham