Perlahan aku coba membuka mata. Aroma obat-obatan khas rumah sakit masih tercium jelas olehku. Kali ini aku melihat selang infus sudah terpasang pada tangan kiriku. Saat ini aku berada di ruang berdinding warna putih bersih dengan hiasan walpaper motif bunga di bagian tengahnya "Salma ...." Aku menoleh pada suara yang tak asing bagiku. Pria itu masih di sini menemaniku. Dia benar-benar menepati janjinya untuk selalu menjagaku. Raut wajahnya nampak lelah. Elkan terlihat pucat. Saat ini penampilannya tidak lagi memukau seperti biasa. Pria ini terlihat berantakan dengan rambutnya yang kusut. "El ..., kamu kenapa masih di sini?" tanyaku dengan suara lemah. "Mana mungkin aku meninggalkanmu ketika sedang pingsan?" sahutnya seraya lebih mendekat pada ranjangku. "Apakah ... Ayah dan Kak Rio benar-benar tidak peduli lagi padaku?" suaraku bergetar, menahan rasa sesak yang kembali memenuhi dadaku. "Sudahlah. Jangan kamu pikirkan itu. Ada hal lebih penting yang harus kamu pikirkan!" Aku
"El, ponselku mana?" "Tas dan ponselmu ada di laci ini," sahutnya sambil mengambilkan untukku. "Terima kasih." "Sebaiknya kamu pulang saja, El. Aku akan minta Kak Lina mencarikan orang yang bisa menemaniku. " "Apaa? Lina salah satu kakak iparmu itu?" Aku mengangguk. "Apa kamu masih percaya pada mereka? Setelah apa yang mereka lakukan padamu selama ini?" "Aku lelah, El. Aku yakin mereka sudah berubah. Mereka sudah mendapatkan ganjarannya." Wajah Elkan tiba-tiba menggelap. Pasti dia ingat dengan uang satu milyarnya. Namun aku salut, Elkan tidak menuntut keluarga iparku itu ke jalur hukum. Padalah dia adalah seorang pengacara. "Terserah padamu, Salma. Aku akan pulang jika sudah ada yang menggantikanku di sini," ucapnya seraya menghempaskan tubuhnya pada sofa yang terdapat di sudut ruangan ini. Selanjutnya tidak ada percakapan diantara kami. Elkan nampak mulai memejamkan mata. Sementara aku masih mencoba menghubungi Kak Lina dan Mak Isah. -------- "Bu Salma, badannya kita
Kak Rio dan Mira melarangku menemui Mas Yuda. Sejak kemarin aku hanya mendapat informasi dari para perawat di sini. Syukurlah para perawat di sini baik dan mengerti dengan kesulitanku. Namun demikian, Aku harus tetap mencari cara agar bisa mememui Mas Yuda. Bagaimanapun juga, suamiku itu butuh dukunganku. Mungkin jika aku berada di dekatnya, alam bawah sadarnya akan merasakan kehadiranku. Apalagi saat ini ada buah cinta kami di dalam perutku. Semoga dengan demikian, Mas Yuda bisa cepat sadar. Setelah berpikir panjang, aku mempunyai satu cara. Aku akan minta tolong pada dokter Mariska. Kelihatannya dokter itu baik. Semoga saja dia bisa membantuku. Tiba-tiba pintu ruang rawatku diketuk. Tidak mungkin Kak Lina balik lagi. Karena kakak iparku itu baru saja pulang untuk mengambil beberapa pakaiannya. Karena aku memintanya untuk menginap di sini selama aku dirawat. "Selamat siang, Salma." "Selamat Siang. Astaga, Rein. Syukurlah kamu bisa datang." Bagaikan kedatangan dewa penolong, aku
"Suster, Apa dokter Mariska datang hari ini?" "Jadwal dokter Mariska nanti malam, Bu Salma." "Boleh saya titip pesan untuk dokter Mariska?" "Pesan apa, Bu? Nanti saya sampaikan." "Saya minta dokter Mariska menemui saya. Ada hal penting yang ingin saya tanyakan padanya." "Baik, bu. Saya pikir tadi pagi dokter Mariska ke sini. Karena sejak semalam teman ibu yang pengacara itu selalu menemaninya jaga malam di ruang dokter." "Pengacara? Elkan?" Perawat itu mengangguk. Elkan semalam ada di rumah sakit ini dan dia sama sekali tidak menemuiku? Apa dia marah padaku? Apa benar yang Mira katakan kemarin? Bahwa Elkan tidak akan menemuiku lagi? Padahal aku sangat butuh bantuannya saat ini. Aku ingin dia membantu membawaku ke ruang ICU bersama dokter Mariska. ---- Kak Lina kembali datang sejak sore tadi. Sekarang sudah jam sepuluh malam. Semoga saja dokter Mariska sudah datang. Menurut perawat tadi, jadwal jaga dokter cantik itu adalah sejak pukul sepuluh malam hingga pukul tujuh pagi
"Ka ... kamu siapa ...?" Aku menatap Mas Yuda tak percaya. Jantungku seakan berhenti berdetak. Dadaku tiba-tiba terasa sangat sesak. Benarkah apa yang baru saja aku dengar? Apa benar Mas Yuda tidak mengenaliku? Aku menatap lekat manik matanya. Mata yang selalu aku rindukan. Mata yang selalu menatapku penuh cinta. Mata yang pernah meluluhkan hatiku hingga diri ini jatuh dalam pelukannya. Namun tatapan itu kini sungguh berbeda. Tidak ada lagi cinta yang tersirat di sana. Mas Yuda tak lagi membalas tatapanku. Dia justru membuang pandangannya. Perih. Kenapa sesakit ini rasanya. Seorang yang begitu kucintai. Siang malam aku menunggu kapankah dia akan terjaga. Aku berharap dapat memeluk dan menciumnya kini. Namun apa yang terjadi? Suamiku tak mengenaliku. Mataku berkabut. Aku kembali menyusut air mataku yang semakin deras. Aku semakin terisak. Rasa sesak kembali memenuhi dadaku. Cobaan apa lagi ini. "Mas ... Aku Salma ... istrimu." Parau suaraku menjelaskan padanya. Namun lelaki di
"Selamat pagi, Bu Salma. Kita periksa dulu, ya!" Pagi ini dokter Mariska kembali memeriksaku. "Hari ini Bu Salma sudah boleh pulang. Kondisinya sudah lebih baik. Namun tetap harus banyak istirahat." "Syukurlah. Terimakasih Dok," sahutku lega. "Dok, Apa saya bisa menemui suami saya lagi?" harapku pada dokter mariska setelah dua hari ini aku menahan diri untuk tidak menemui Mas Yuda. Dokter cantik itu terdiam sejenak. "Baiklah. Namun jangan terlalu memaksakan pasien untuk mengingat semuanya." "Siap, Dok," jawabku antusias. "Satu hal lagi yang perlu Ibu Salma ketahui. Bapak Yuda mengalami kelumpuhan sementara pada kakinya." "Aa-paa? Mas Yuda lumpuh?" jeritku tertahan. Dokter Mariska mengangguk. Tapi Ibu Salma tidak perlu khawatir. Menurut dokter Neurologi, lumpuhnya hanya sementara dan bisa disembuhkan." "Iya, Dok. Saya akan merawat suami saya sebaik-baiknya." Setelah dokter Mariska keluar dari kamarku, Kak Lina membantuku berkemas. Aku telah menghubungi supir untuk menjem
Setelah semua sudah beres, kami bersiap-siap untuk berangkat. Aku hanya mengajak Bu Ratri untuk pindah ke kampung Bawal. Sedangkan Asisten rumah tangga lainnya masih bekerja di rumah Mas Yuda. Beruntung Mak Isah dan Kak Lina mau kembali bekerja membantuku. "Salma, bawalah satu mobil Yuda dan Pak Supir bersamamu." Sungguh aku tak percaya, ternyata Ayah masih memperhatikan aku. "Terima kasih, Ayah!" Tampak mata Ayah berkaca-kaca. Aku dapat merasakan, jauh di relung hati Ayah, beliau tidak percaya kalau aku selingkuh. Bulir bening mulai menetes dari sudut matanya saat kami berpamitan. Ayah mengusap-usap kepalaku. Lelaki yang sudah aku anggap seperti orang tuaku sendiri itu juga menciumi wajah Raihan. Aku pun tak kuasa menahan air mata yang berderai. Entah kenapa perpisahan ini terasa sangat berat. "Kamu baik-baik, Ya Salma!" Suara ayah bergetar. "Ayah juga yang sehat. Jangan lupa minum obat rutinnya!" sahutku di antara isak tangis. Ayah hanya mengangguk. Tak lagi keluar satu k
Kak Lina datang bersama Bang Safwan dan Kak Norma, serta anak-anak mereka. Sementara Elkan dan dokter Mariska belum datang. Mereka memang sudah bilang akan datang lebih malam, sepulang dokter Mariska praktek. "Bang, kalau Bang Safwan bersedia, aku minta Abang dan kak Norma bisa kerja sama aku mengurus rumah kost. Untuk pemasaran kita kerjakan bersama. Kebetulan yang booking sudah lebih dari separuh. "Salma, apa kamu masih percaya sama kami?" tanya Bang Safwan saat kami sedang berkumpul. Aku menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. "Entahlah. Saat ini, hanya kalian yang Aku punya. Jika kalian memang masih jahat padaku, entahlah." Aku menaikkan kedua bahuku. Kak Norma dan Bang Safwan terdiam. "Kami ... minta maaf atas perbutan kami selama ini padamu, Salma. Kami telah menelantarkan kalian yang seharusnya menjadi tanggung jawab kami. Tidak sepantasnya kamu masih baik sama kami saat ini ...," ungkap Bang Safwan tertunduk. "Betul! Kalian memang tidak pantas menerima kebaika