Yuda Mataku mengerjap saat terjaga. Rasa pusing yang mendera tak kunjung hilang. Seketika mataku tertuju pada sepasang tangan dengan jemari yang lentik sedang menggenggam lengan kananku. "Siapa wanita ini?" gumamku dengan kesadaran yang belum penuh. Wanita berambut panjang yang tidur menelungkupkan kepalanya di sampingku. "Sabrina ...!" gumamku lagi. Dia tidak pulang. Apakah dia tidur di sini semalaman dengan posisi seperti itu? Kenapa Wanita ini memperlakukan aku dengan sangat berlebihan? Aku tak mau Salma melihat ini. Dia pasti akan marah dan kecewa. Tapi ... bukankah ini justru akan mempermudah rencanaku? Sabrina menggeliat. Sepertinya dia sudah bangun. "Yuda ..., kamu sudah bangun?" Aku mengangguk. "Kenapa kamu nggak pulang? Anakmu pasti nunggu kamu di rumah." "Nggak usah khawatir. Sejak kecil Tristan sudah biasa aku tinggal-tinggal kayak gini. Bahkan aku pernah meninggalkannya beberapa tahun untuk melanjutkan kuliahku di luar negeri." Aku tak lagi bicara apa-apa. Se
"Tebar pesona aja terooosss!" "Aku nggak ada tebar pesona. Ibu-ibu itu tiba-tiba saja menghampiriku dan minta foto. Masa aku tolak. Kasian dong mereka udah usaha." Dengan gaya sombongnya Elkan membela diri sambil senyum-senyum. Bikin aku mual. Saat ini kami sudah berada di perjalanan menuju rumah sakit. Kalau saja tadi aku tidak pura-pura batuk, Elkan tidak akan menyadari kehadiranku dan mereka akan terus foto-foto sampai siang. "Dih, fansnya ibu-ibu aja segitu bangganya." "Tadi itu ibu-ibu muda, loh. Memang mereka tipe aku," sahut Elkan dengan percaya diri. "Haaa?" "Terlihat lebih mateng dan pengalaman aja ..." Kali ini dia bicara sambil terkekeh melihat wajahku. "Udah buruan ke rumah sakit!" Entah kenapa aku semakin kesal dengan tingkah Elkan yang selalu percaya diri di depan para wanita. Sementara pikiranku terus tertuju pada ucapan Tristan tadi. Apa benar Sabrina menemani Mas Yuda semalaman? Kemarin bahkan mereka yang memintaku pulang. Apa mereka sengaja agar bisa berdua
"Salma ... sini dekat Mas!" Suamiku itu kembali memanggilku dengan suaranya yang lemah. Sepertinya Mas Yuda sedang menahan rasa sakit ketika berusaha menoleh padaku. Sabrina melihat kehadiranku sontak berdiri dan melangkah mundur, sedikit menjauh dari Mas Yuda. "Kamu terlihat lebih baik, Mas." Aku menghampiri Mas Yuda, melewati Sabrina yang masih memegang mangkuk bubur. "Sabrina, terimakasih, ya. Kamu udah merawat Yuda." Sabrina membalas senyumku tanpa menjawab. Kemudian dia meletakkan mangkuk bubur yang isinya sudah tinggal sisa-sisa yang menempel pada permukaan mangkuk, di atas nampan. "Aku ke ruanganku dulu. Permisi." "Silahkan." Sabrina mengangguk samar pada Elkan, kemudian melangkah keluar. Aku tak menyadari, ternyata sejak tadi tatapan Mas Yuda tak lepas darilku. "Salma ..." "Maass ...." Kami saling menyapa bersamaan. Kemudian senyum penuh rindu terbit di wajahku. Mas Yuda pun tersenyum seraya membelai lenganku.. "Ehm, aku keluar dulu, cari sarapan." Elkan membalikk
Sebelum melanjutkan langkahku menuju ruangan Sabrina, aku menyempatkan diri menghubungi dan meminta Mak Isah untuk menjemput Raihan dengan pak supir. Jangan sampai Raihan menunggu terlalu lama di sekolah. Sesuai petunjuk dari perawat tadi, akhirnya aku tiba di depan ruang yang bertuliskan dr.Sabrina (Dokter Onkologi). Perlahan kuketuk pintu. "Masuk!" Sabrina berdiri menyambutku saat aku membuka pintu. Wanita cantik itu tersenyum dan mengangguk ramah. "Duduklah, Salma!" Sabrina kembali duduk setelah aku menjatuhkan badanku pada kursi yang berada di hadapannya.. "Ada yang ingin kamu bicarakan padaku? Tentang Yuda?' "Ya betul." "Bicaralah!" Sebenarnya aku tak mau berlama-lama berhadapan dengan Sabrina. Entahlah, aku kurang menyukai wanita ini sejak melihat kedekatannya dengan Mas Yuda. Sabrina sepertinya sedang mempersiapkan diri untuk bicara denganku. Tampak berkali-kali wanita itu menghela napas dan gelisah. "Begini, Salma. Beberapa dokter menganjurkan agar Yuda berobat ke
Pov Elkan Malam ini Yuda memintaku datang ke rumah sakit. Sejak kemarin sahabatku itu sudah dipindahkan ke kamar rawat VIP. Walau menurut dokter Sabrina tumor yang dideritanya semakin parah, namun kondisi tubuh Yuda sedikit lebih baik. Mungkin dia lebih tenang karena tidak lagi menyembunyikan penyakitnya ini dari Salma. Aku berhenti di depan kamar 109. Nomor kamar yang diberitahu Yuda lewat pesan ponselnya tadi. Perlahan aku membuka pintu. Mataku melebar melihat siapa yang berada di dalam. Kenapa perempuan itu selalu berada disamping Yuda? Pantas saja Salma cemburu. "Selamat malam, Dok. Sedang memeriksa Yuda?" tanyaku basa basi. Padahal jelas-jelas Sabrina sedang tidak memakai jas putihnya. Malahan saat ini pakaiannya cukup santai. Dokter cantik itu hanya mengenakan kaos lengan pendek , celana jeans dan outher tak berlengan. "Tidak. Kebetulam Aku lagi off. Oh ya, silakan saja kalau ada yang mau dibicarakan." Aku mengangguk seraya tersenyum. "Yud, Aku tinggal dulu. Nanti aku ba
"Maafin Mak, Neng. Tristan tadi maksa minta ikut pulang bareng Raihan. Katanya mau main ke sini." Dengan merasa bersalah Mak Isah yang baru saja pulang menjemput Raihan dari sekolah, langsung tergopoh-gopoh menghampiriku yang sedang menemani Yumaina tidur siang di kamar. "Loh, memangnya Tristan nggak dicariiin supirnya, Mak?" "Supirnya sudah tau, Neng. Tapi Tristan maksa dan hampir ngamuk. Ini nomor ponsel supirnya dan alamat rumah Tristan." Mak Isah menyodorkan sobekan kertas yang bertuliskan sebuah alamat. "Ya sudah nggak apa-apa, Mak. Biar Tristan main di sini. Nanti biar saya yang antar pulang." "Baik, Neng. Mak izin ke belakang dulu." Aku mengangguk. Kasihan Tristan. Pasti anak itu sangat kesepian. Sabrina jarang pulang. Aku berdecak kesal mengingat Sabrina lebih tega meninggalkan anaknya di rumah demi menemani Mas Yuda semalaman di rumah sakit. Ibu macam apa dia. Setelah yakin Yumaina tertidur pulas, aku melangkah menuju belakang rumah dimana Raihan dan Tristan bermain.
"Seharusnya kamu nggak usah repot-repot jemput aku, El. Aku bisa diantar supir." Elkan duduk di ruang tamu menungguku bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit. "Kamu tau sendiri suamimu, perintahnya mana bisa dibantah." Elkan terkekeh. "Mas Yuda memang kadang suka berlebihan. Bagaimana aku bisa mandiri kalau ke mana-mana ditemani." "Kamu seharusnya bangga, banyak wanita di luar sana yang minta ditemani pengacara tampan ini." Elkan kembali terkekeh melihatku mencibir padanya. Aku meraih tas cangklong yang berada di meja. "Mak Isah, aku pergi dulu. Jangan lupa, kalau Yumaina bangun minta Bu Ratri hubungi aku. Aku belum sempat ngomong sama Yumaina mau ke rumah sakit. Dia belum bangun." "Iya, Neng."sahut Mak Isah yang masih setia bekerja denganku. Bang Safwan dan Kak Lina sudah sejak lama berhenti. Sejak Bang Adam dan Bang Marwan keluar dari penjara, Mereka memilih pindah rumah ke daerah pinggiran dan membuka usaha kecil-kecilan di sana. Aku teringat ketika mereka pamit, Mas Yuda
Pov Elkan Andai saja aku belum menandatangani surat perjanjian itu, Aku tak akan membiarkan Yuda melakukan ini terhadap Salma. Aku yakin sekali Salma saat ini sangat terluka. Entah kenapa Yuda meminta Sabrina yang menemaninya ke Singapore? Padahal banyak dokter pria yang dia kenal di rumah sakit ini. Apa dia sengaja agar Salma cemburu? Dalam surat perjanjian itu, Yuda memintaku untuk menjaga dan menikahi Salma jika dia sudah tiada nanti. Yuda pun memintaku untuk menahan Salma agar tak ikut ke Singapore. Entah apa rencana sahabatku itu. Seharusnya dia optimis bisa sembuh dan berkumpul kembali dengan keluarganya. Sejak kecelakaan dan hilang ingatan, Yuda lebih dingin dan keras kepala. Sikapnya yang tertutup membuatku sulit berbicara banyak dengannya. Salma sedang menemui dokter Sabrina. Sebaiknya aku bicarakan hal ini kembali padanya. Masih ada waktu sebelum keberangkatannya ke Singapore. Kupercepat langkahku menuju ruang VIP. Sepanjang melewati lorong, aku mempersiapkan hati un