Sejak Mak Isah membantuku, waktuku untuk Raihan makin banyak. Setelah aku memasak dan menyiapkan pesanan, warung nasiku sekarang cukup dijaga oleh Mak Isah. Sementara aku bisa beristirahat dan bermain dengan Raihan di rumah. Sesekali aku membantu Mak Isah di warung jika pembeli ramai. "Mak, aku ke supermarket dulu beli diapers Raihan. Mak mau titip apa?" tanyaku ketika pembeli sudah mulai sepi. "Nggak usah, Salma. Makanan dari kamu kemarin masih banyak. Sudah Raihan nggak usah diajak. Kasihan sedang tidur. Rebahkan saja di kursi ini," sahut Mak Isah seraya menunjuk bangku panjang yang baru saja aku beli kemarin. "Nanti Mak repot, nggak? Kalau ada pembeli bagaimana?" "Sudah sepi, Salma. Makanannya juga sudah tinggal sedikit. Ini Mak sambil beres-beres." Aku memandang Raihan yang tertidur di pangkuanku. Bobotnya memang sekarang sudah naik. Memang agak berat jika aku menggendongnya selagi dia tertidur. "Baiklah, Mak. Aku titip Raihan, ya!" ucapku seraya merebahkan anakku pada bang
"Aku sudah membeli rumah ini. Dan akan aku berikan padamu. Sertifikat rumah ini akan di buat atas namamu." "Apaaa?" Sontak para kakak iparku berteriak serentak mendengar ucapan Tuan Yuda. Akupun terlonjak mendengar ucapan pria itu. Sementara hampir semua mata tertuju padaku. Bang Adam yang sepertinya juga mendengar tiba-tiba muncul dari dalam. Pria itu menatapku dengan rasa kecewa yang mendalam. Sungguh aku merasa tak enak hati dengan kakak ipar yang baik hati itu. "Salma, Kamu dan Tuan Yuda ini sudah ...?" Ibu mertua menatapku dan Tuan Yuda secara bergantian, dengan penuh tanda tanya. "Betul, Bu. Kami akan segera menikah!" sahut pria tampan di sebelahku ini dengan keyakinan tingkat tinggi. Matanya menatapku dengan tatapan ... mesra? Aku menarik napas panjang. Setelah menahannya beberapa saat ketika terkejut tadi. Sebaiknya aku tidak menjawab apa-apa dulu. Biarkan para iparku ini menganggap hal ini memang benar. Agar mereka tidak selalu merendahkan dan memfitnahku seenaknya.
Aku kembali berjalan bersisian menuju mobil. Tak lupa sebelumnya kembali mencium tangan ibu mertua. Wanita setengah tua itu menatapku sedih. Namun tak ada satu katapun yang terucap darinya. Aku masih memandang para ipar dan ibu mertua yang mengikutiku keluar. Mereka terus menatapku hingga aku masuk ke dalam mobil mewah ini. Wajah mereka bagaikan seorang anak yang kalah telak setelah bermain game. Mobil melaju kembali ke arah supermarket mini yang tak begitu jauh jika memakai mobil. Di dalam mobil aku sama sekali tidak membahas apapun. "Jadi ke supermarket?" tanya Tuan Yuda setelah kami sudah kembali di dalam mobil. "Ya." "Ambillah ini. Beli semua keperluanmu dan Raihan." Tuan Yuda memberikan sebuah kartu debit beserta nomor pinnya padaku "Tidak perlu, Tuan. Aku hanya membeli diapers untuk Raihan," sahutku seraya mengembalikan kartu itu padanya. Pria itu langsung terdiam. Apa dia marah? Mungkinkah dia tersinggung karena aku tidak menerima kartu debitnya? Aku meliriknya se
POV YUDA Gila! Janda beranak satu itu sudah membuat aku gila. Setiap saat wajahnya terus ada di otakku. Sikap acuhnya membuatku semakin penasaran untuk mendekatinya. Awalnya aku hanya ingin menuruti keinginan Ayah. Karena aku sangat ingin membahagiakan orang yang paling aku sayangi. Sejak dulu Ayah tidak pernah minta apapun dariku. Sekalinya ada yang diminta, beliau memintaku menikahi janda beranak satu, yang kini justru selalu memenuhi isi kepalaku. Menikahi Janda? Aku menghela napas kasar. Susah payah aku menjaga keperjakaanku. Walau berganti-ganti pasangan, aku tetap menjaga kehormatan wanita yang aku kencani, dan kehormatan diriku juga tentunya. Angel, wanita yang sering mendekatiku, hingga tak jarang membuatku tak bisa menahan hasrat kelaki-lakianku. Namun aku bersyukur hubungan kami belum sejauh itu. Karena aku adalah laki-laki yang selalu memegang prinsip. Sejak dulu aku mati-matian menjaga keperjakaanku. Bahkan sampai teman-temanku mengira aku penyuka sejenis. Aku tidak
Ayah pasti menanyakan tentang Salma. Sementara aku masih belum berhasil mengajaknya tinggal di sini. Aku mendekati Ayah yang sedang menikmati makan malam. "Yuda, kamu tidak makan?" "Nanti saja, Yah!" Aku meraih satu kursi dan duduk tepat di depan Ayah. "Memang, kalau orang sedang jatuh cinta itu tidak enak makan, tidak enak tidur, semua serba salah," ujar Ayah santai sambil terus menikmati makanannya. "Ayah ngomong apa, sih?" sahutku pura-pura tidak paham. "Memangnya Ayah tidak tau, belakangan ini kamu uring-uringan nggak jelas. Sikap kamu itu aneh." "Benarkah?" Ayah geleng-geleng melihatku. "Apa kamu berhasil mengajak Salma pindah ke sini?" Kali ini Aku yang menggeleng. "Entah apalagi yang harus aku lakukan, Yah. Kartu debitku ditolak. Bahkan rumah seharga sepuluh milyar yang aku siapkan untuknya juga ditolak," sahutku sedih. "Dasar bodoh! Kamu pikir Salma itu sama dengan wanita-wanita yang kamu pacari selama ini? Yuda, Salma itu berbeda. Dia istimewa. Hatinya tulus,
"Salma ... please ...!' "T-tidak ...! Aku tidak bisa menerima rumah itu! Terima kasih untuk tumpangannya." Dengan penuh rasa kecewa, gegas aku keluar dari mobilnya. Melangkah cepat masuk ke halaman puskesmas. Mataku melihat sekeliling. Mencari keberadaan Raihan.Warung sudah dibereskan oleh Mak Isah. Kasihan, wanita itu pasti kerepotan. Semua ini gara-gara Tuan Yuda. Napasku masih memburu menahan kesal dan kecewa. Aku tak menyangka laki-laki itu hanya kasihan padaku karena tinggal di tempat yang dia anggap tidak layak. Ternyata hanya kasihan. Aku pikir ... Astaga! Apa yang sedang aku pikirkan. "Pak, Mak Isah dan anakku ke mana ya?"tanyaku pada salah satu security yang bertugas hari ini. "Sudah pulang, Mbak Salma." "Makasih, Pak." Sontak aku berbalik badan dan berjalan cepat sampai ke rumah. Raihan sedang asik bermain dengan mainannya. Sementara Mak Isah menemaninya sambil berbaring di sebelahnya. Aku mèmandang sekeliling rumah kontrakan ini. Ruang yang hanya berukuran lima k
Ibu yang sepertinya tak sadarkan diri dilarikan ke ruang khusus di dalam UGD.Aku menyusul mereka ikut ke dalam. "Mak, titip warung sama Raihan dulu ya. Aku di dalam liat Ibu. Kalau Raihan bangun, antar ke aku aja!" ujarku. Kebetulan pembeli sudah tak seramai tadi. Mak Isah mengangguk sambil mempersiapkan pesanan makan siang untuk para langganan. Aku beranjak masuk ke UGD setelah memastikan posisi tidur Raihan aman. "Ibu kenapa, Kak?" Kak Norma hanya diam dengan wajah bingung saat aku tanya. Sementara Bang Adam sibuk menghubungi anak ibu yang lainnya. "Kak, Ibu kenapa?" aku kembali bertanya, karena semakin khawatir melihat ibu yang tak kunjung sadar. "Sudah diam! Ini semua gara-gara kamu!" Kak Norma membentakku. Namun jelas terlihat kepanikan di wajahnya. "Loh kok, gara-gara Aku?"tanyaku bingung. "Jangan sembarangan menuduh, Norma! Jelas-jelas tadi ibu pingsan ketika sedang bersamamu dan Lina. Cepat katakan! Kenapa ibu sampai pingsan?" Aku tersentak melihat Bang Adam marah
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara seseorang yang tidak asing ditelingaku. "Hei, Bung! Singkirkan tanganmu!" Astaga! Tuan Yuda? "Apa maksud Tuan? Jangan mentang-mentang anda orang kaya dan seorang bos, seenaknya saja membentak-bentak saya. Salma ini adik ipar saya. Wajar kalau saya dekat dengannya." Sepertinya Bang Adam juga sudah terpancing emosi. "Halah! Jangan modus kamu!. Memangnya saya nggak lihat kamu mau coba peluk-peluk calon istri saya dari belakang?" Tuan Yuda melotot pada Bang Adam. Padahal Kakak iparku ini sama sekali tidak menyentuhku. Aku khawatir jika ada keributan ditempat ini. Mungkin sebaiknya aku pergi dari sini. "Maaf, Bang. Aku keluar dulu. Tolong kabari aku jika ada perkembangan kondisi Ibu," ujarku seraya menghapus air mata. Bang Adam hanya diam menatapku. Seakan tidak rela jika aku meninggalkannya. Dengan langkah panjang aku berjalan keluar tanpa menoleh pada pria kaya itu. "Salma ...! Salma ...! Tunggu !" Aku terus berjalan ke arah luar. Walau seb