Aku terjaga tepat saat azan subuh berkumandang. Sepertinya kami belum lama tertidur. Perlahan berusaha melepaskan diri dari pelukan Mas Yuda. Suamiku ini nampak sangat lelah. Betapa perkasanya dia semalam. Entah berapa kali kami melakukannya. "Maas, subuh dulu, yuk!" bisikku. Perlahan matanya terbuka. "Mau ke mana?" "Mandi. Sudah subuh, Mas." "Tapi aku masih mau sama kamuu ....," Astaga! Suamiku merengek persis anak balita. Aku terkikik geli. "Iyaaa. Tapi kita mandi dulu, trus salat, ya!" "Janji, ya!" Aku mengangguk. Malu. Beruntung aku sudah menyiapkan stok ASI yang lumayan banyak untuk Raihan. Sepertinya hari ini anak itu harus mengalah dulu dari Ayahnya. Ada-ada saja suamiku ini. Gegas aku masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Aku tersentak, ternyata Mas Yuda menyusulku. Kamipun segera membersihkan diri agar tidak kehabisan subuh. "Mas, Aku turun sebentar mau cari makanan. Laper. Sekalian mau cek Raihan," ujarku seraya melipat mukena setelah salat tadi. "Jangan
"Selvi mau ke sini, Mas?" "Iya. Ada berkas yang harus aku tanda tangani." "Sekretarismu itu kenapa selalu berpakaian terbuka, sih?" "Yaaa, itu hak dia," sahutnya santai dengan mata masih menonton televisi. "Tapi nggak bagus, loh, Mas. Terlalu terbuka. Sebaiknya Mas tegur saja!" kataku dengan hati-hati. "Di kantor memang rata-rata pakaian mereka seperti itu. Nggak fair dong, kalau cuma menegur satu orang." "Kenapa tidak Mas kasih pengumuman saja agar mereka berpakaian lebih sopan dan tertutup. Misalnya pakai celana panjang atau rok yang lebih panjang. Kancing ataspun di larang terbuka." Entah kenapa aku lancar sekali membicarakan ini padanya. Mungkin karena telah lama mengganjal dihati. Spontan Mas Yuda menoleh padaku dan menatapku dengan penuh tanda tanya. "M-maaf ya, Mas Aku hanya sekedar usul. Bagaimanapun juga pakaian seorang wanita itu adalah kesan pertama bagi orang lain yang menilainya." Suamiku itu hanya mengangguk. Sepertinya dia tak terlalu menghiraukanku. Biarlah.
"Selvi!' bentak Mas Yuda. Wanita itu sontak berbalik badan dan terlonjak melihat kami sudah berada dibelakangnya. Selvi nampak memucat. Tubuhnya gemetar. "P-Pak Yuda?" "Mana berkasnya?" "I-ini ...,Pak." Dengan tangan gemetar, Selvi menyerahkan beberapa dokumen pada suamiku. Mas Yuda memberi kode dengan matanya agar aku yang meraih dokumen itu. Setelah dokumen berada ditanganku, Kami beranjak kembali masuk ke dalam. Selvi mengikuti kami dari belakang. "Mau ngapain kamu?" tiba-tiba Mas Yuda berhenti dan menoleh ke belakang. "M-mau ikut ke dalam, Pak." "Kamu kembali ke kantor!" tegas suamiku. "Dokumennya, Pak?" "Nanti saya sendiri yang bawa ke kantor." "Tapi, Pak ...." "Sudah, kamu balik aja ke kantor!" ujarku.pada wanita seksi yang kini nampak sangat bingung. Sementara Mas Yuda terus melangkah tanpa menghiraukan sekretarisnya itu. Setelah Selvi pergi, aku menyusul Mas Yuda ke ruang kerjanya. "Ini dokumennya, Mas." "Taruh saja di meja!" sahutnya tanpa menoleh. Mata
"Wah ...wah, makin cantik aja adik iparku ini." Kak Rio tersenyum seraya berdecak kagum melihatku. "Nah begini, dong. Nyonya Yuda ..." Ayah Surya menimpali seraya tertawa. "Kak Rio sama Ayah, bisa aja," pungkasku malu. "Ehm! Sudah siap? Ayo berangkat!" Tiba-tiba Mas Yuda muncul dari ruang kerjannya dan menghampiriku. "Sudah, Mas!" Sempat kulihat Mas Yuda memandang tak suka pada Kak Rio. Entah kenapa dia terlihat sangat benci pada kakaknya itu. Kami melangkah menuju teras. Ternyata pak supir telah menunggu sejak tadi. Sepanjang jalan kami hanya berbincang ringan. Mas Yuda sangat antusias ketika aku katakan bahwa Raihan sudah mulai bisa berjalan. Tentu aku tidak katakan bahwa Kak Rio yang sering mengajarkan anakku itu. "Sejak kemarin aku tidak bertemu Raihan. Nanti malam aku akan menemaninya tidur." Aku tersenyum mendengar ucapannya itu. Akhirnya kami tiba di depan lobby kantor Yudatara. Pak Supir membukakan pintu mobil. Mas Yuda menggandengku melangkah masuk. Setiap orang me
"Jika ada di antara kalian yang tidak menyukai istri saya, berarti tidak menyukai saya juga. Untuk itu silakan mengundurkan diri dari perusahaan saya." Aku tersentak mendengar ucapan Mas Yuda. Begitu juga para karyawan lainnya. Sementara Selvi dan beberapa temannya yang duduk berdekatan, saling berpandangan dengan wajah ketakutan. "Mas ...kok gitu ngomongnya?" bisikku. Namun suamiku itu hanya tersenyum sambil menepuk-nepuk lembut lenganku. "Baiklah. Hanya itu yang saya sampaikan. Pengumuman berikutnya akan di sampaikan nanti oleh kepala HRD. Akan ada rolling jabatan di beberapa divisi. Jika tidak berkenan, sekali lagi silakan mengundurkan diri." Aku kembali terrsentak mendengar pengumuman dari Mas Yuda. "Pak Hadi, setelah ini tolong ke ruangan saya!" lanjutnya lagi, sebelum mengajakku meninggalkan ruang meeting. "Maaas, apa kamu nggak terlalu keras sama karyawanmu tadi? Khawatir nanti mereka tidak nyaman dalam bekerja," tanyaku ketika kami sudah kembali ke ruangan CEO. "Ya biar
Aku minta diturunkan di rumah kost yang sedang dibangun. Sementara Mas Yuda dan Pak Supir lanjut menuju proyek. "Hai Salma .... makin cantik aja kamu." "Wah, pangling! nggak nyangka ini kamu, Salma!" "Denger-denger kamu udah nikah sama Bos proyek itu, ya? Kok nggak ngundang-ngundang?" Para tetangga cukup heboh ketika melihatku turun dari mobil Mas Yuda. Mereka menyapaku dengan berbagai komentar. "Saat resepsi nanti pasti diundang, kok," sahutku seraya tersenyum sopan pada mereka. "Mantan mertua dan iparmu juga diundang, Salma?" tanya bu salamah, salah satu tetanggaku. "Bukan mantan, Bu. Mereka memang masih mertua dan ipar-iparku. InsyaAllah diundang." "Halaaah! Ngapain juga mereka diundang. Udah jelas-jelas kamu sering dijahatin. Apalagi sekarang mereka makin sombong setelah si Marwan itu bisa beli rumah diujung gang ini." Apaaa? Bang Marwan bebas dan bisa beli rumah? Bagaimana dia bisa bebas? Lalu Apakah itu rumah dari Angel? "Serius, Bu?" tanyaku heran. "Iyaaa, tuh ruma
"Mas, ternyata Marwan sudah punya rumah, dan lokasinya dekat dengan rumah kost kita." Aku memulai pembicaraan ketika kami sudah berada di dalam mobil. "Apaa? beli rumah? Marwan bebas?" "Sepertinya begitu, Mas." "Sudah kubilang. Dekingan mereka kuat. Pasti Marwan berhasil tutup mulut dan imbalannya sebuah rumah. Angel, bisnismu akan aku hancurkan. Kamu tidak akan bisa menghindar dariku. Kamu akan jatuh miskin," ujar Mas Yuda dengan wajah merah padam "Maass ...." kuberikan sebuah belaian lembut dipunggungnya. "Jika dia licik, Aku juga bisa lebih licik darinya." "Maasss, aku takut kamu kenapa-kenapa." "Tenanglah! Rein pasti membantu kita.Sahabatku itu pernah dikabarkan mati tertembak polisi. Padahal dia koma beberapa tahun di rumah sakit. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Aku. Bertahun-tahun aku mengurusnya. Pria itu tak pernah takut mati. Seakan memiliki banyak nyawa. Aku yakin, Rein akan selalu mendampingiku." "Tapi, Mas. Aku nggak mau ada korban lagi." "Aku kenal Angel, d
Seperti biasa Suamiku menggandeng tanganku menuruni tangga. "Selamat malam ...!" sapaku pada mereka yang sudah menunggu di meja makan. "Selamat malam, Salma," sahut Ayah dengan senyum khasnya "Mana Raihan?" Lagi-lagi Kak Rio membicarakan Raihan. "Ada di kamar dengan Bu Ratri, Kak." "Jangan sering-sering ditinggal anakmu, Salma. Mentang-mentang punya suami, anak di telantarkan." Eh ..., apa maksudnya kakak iparku ini? Kenapa dimana-mana yang namanya ipar nggak pernah enak ngomongnya? "Ehm ...!" Mas Yuda sengaja berdehem kencang. "Sudah, sudah. Ayo kita makan. Setelah makan ada yang akan ayah bicarakan." Kami makan dalam diam. Suasana hening menguasai meja makan saat ini. Sementara Aku menyadari beberapa kali Mira menatapku tak suka. Hmm .... nasibku begini amat. Lagi-lagi dapat ipar nggak enak. Setelah kami selesai makan, Ayah mulai memecah keheningan. "Ayah sudah tua. Ayah ingin kalian akur. Tolong lupakan masa lalu yang pernah terjadi diantara kalian. Karena mulai malam in