Share

Kebahagiaan Kecilku
Kebahagiaan Kecilku
Penulis: Ichan Kaori

Pria Yang Terbaring dan Gadis Yang Malang

Selang infusan itu menempel di punggung tangannya dengan sebuah jarum yang terselubung tersembunyi di balik diantara kulit dan dagingnya yang berada di dalam vena arterinya. Bukan hanya selang infusan yang menempel ditubuhnya, namun juga juga selang oksigem yang menjadikan perbantuan sebagai alat pernapasan untuk membantunya tetap hidup dalam komanya dibeberapa bulan terakhir ini. Lebih tepatnya empat bulan lamanya.

Pria yang sedang terbaring tak berdaya itu bernama Kendrick Gibran. Dia adalah satu-satunya penerus yang dicalonkan untuk memimpin perusahaan Gibran Grup oleh kakeknya sendiri, Gibran atau orang sering menyebutnya Tuan Gibran.

“Aku ingin dia tak mati! Dia adalah satu-satunya penerus Gibran Grup!” bentak seorang pria paruh baya yang berdiri dengan bertumpu pada sebuah tongkat berwarna hitam berpolet keemasan mengkilap dengan desain berbentuk kepala burung elang di bagian ujung pegangannya.

Pria paruh baya itu menunjuk telak pada seorang pria berjas putih yang hanya bisa menundukkan kepalanya dan diam mendengar cecarannya yang keluar dari mulutnya.

“Jika rumah sakit ini masih belum bisa membuat cucuku itu tersadar dan sembuh aku akan langsung memindahkannya ke Kuala Lumpur, dan jangan harap aku akan meneruskan investasiku di sini. Bila perlu akan ku tutup rumah sakit yang tak berguna ini!” cecarnya sekali lagi yang membuat sang dokter berjas putih bersama asisten yang berada disampingnya terdiam menunduk juga membuat tubuhnya bergetaran hebat bah diserang demam yang cukup hebat dikala itu.

Pria yang berpakaian serba hitam berjas itu memegangi keningnya ketika mendengar cecaran dan ancaman dari pria paruh baya itu membentak dokter pribadi Kendrick. Dia buka hanya malu melihat ayahnya berbicara kasar pada seorang dokter yang harus dihormati, namun dia juga merasa cemas jika apa yang dikatakan ayahnya benar terjadi. Dirinya akan rugi besar. Sebab, dia memiliki beberapa persen saham di sana walaupun tak banyak. Rumah sakit itu akan bangkrut yang berujung pada kerugian yang lumayan besar.

“Pah, sudahlah, jangan seperti itu! Dia kan hanya seorang dokter yang kerjanya memeriksa dan mengobati Kendrick saja. Dia bukan tuhan!” ucapnya denhan nada rendah agar si dokter tak mendengar bujukan pada ayahnya. Si pemilik perusahaan Gibran Grup.

Secara perlahan napasnya mulai teratur seiring dengan tarikan napasnya yang panjang. Bahunya yang menegang pun terlihat mulai turun merendah. Cengkeraman tangannya pada tongkat yang menopang tubuhnya tuk berjalan kini mulai terlihat loggar.

“Aku tak mau tahu, aku ingin mendengar kabar baik tentang kondisinya dalam waktu dua minggu kedepan ini. Jika tidak, aku akan benar-benar menutup rumah sakit ini!”

Akhirnya pria paruh baya yang sudah beruban itu pergi bersama dengan suara langkah sepatunya yang beriringan dengan irama ketukan dari suara tongkatnya.

Tengku Gibran berhasil menenangkan ayahnya dengan mengusap-usap punggung ayahnya sambil bergumam, “tenanglah Pah, aku juga tak akan tinggal diam. Aku akan berusaha demi kesembuhan Kendrick. Kesembuhannya adalah hal utama bagiku!”

Di satu sisi lainnya.

Nayara sedang terduduk merenung dihadapan meja belajarnya yang berderer beberapa buku tebal terpajang di sana. Cahaya lampu yang temaram menambah suasana hatinya yang semakin mendalam.

“Huuufffttt....” helaan napas panjangnya tak jua menyudahi permasalahan yang kini sedang membelit hadir di dalam lingkar keluarganya.

Beberapa kardus yang terbuka kosong sudah terjagrag di sisi ranjang tidurnya untuk segera bersiap diisi dengan segala barang-barang pribadi miliknya yang berada di dalam kamarnya tersebut.

Malam ini dia harus segera mengosongkan seluruh kamarnya dan juga seisi rumahnya. Sebab besok hari dia harus segera pergi dari rumah yang sudah dia tinggali selama empat belas tahun terakhir ini. Dia akan kembali pada rumahnya yang kecil. Berada dipinggiran kota yang sudah kosong dua tahun terakhir karena ditinggalkan oleh orang yang pernah menyewa rumahnya di sana.

Hatinya mungkin terasa sakit, namun kepalanya dilarang untuk merasakan hal yang sama. Dia terus berfikir bagaimana cara agar dirinya dan keluarganya tetap dapat bertahan hidup dengan kondisi ekonomi yang benar-benar turun tak seperti dahulu di mana segala kesulitan seperti ini dia tak pernah memikirkannya.

Seminggu kemarin dirinya masih bisa pulang pergi kemanapun dengan kendaraan roda empat yang selalu terjajar di garasi rumahnya dan juga masih dilayani oleh beberapa pelayan jika dirinya hendak makan ataupun tuk sekedar mengambilkan sesuatu barang yang dia inginkan ketika rasa lelah yang menderanya.

Walaupun nyatanya Nayara bukanlah seorang gadis yang manja seperti kebanyakan anak-anak orang kaya kebanyakan. Walau sejak dirinya beranjak usia lima tahun sudah terbiasa dengan bergelimangan harta ayahnya, tak menjadikan dirinya sebagai anak manja yang selalu ingin dilayani dan selalu ingin memerintah pada seorang pelayan.

Mengetahui keluarganya mengalami gulung tikar yang cukup parah, dia tak menyalahkan kedua orang tuanya. Dia malah ingin membantu kedua orang tuanya untuk kembali merintis perekonomian keluarganya apapun itu dia akan selalu senang membantunya.

“Nay, barang kamu udah semua?” tanya ayahnya ketika selesai memasukkan semua barang bawaannya untuk dipindahkan ke rumah lama mereka dengan menggunakan mobil box besar dari jasa pengiriman barang.

“Udah yah!” jawa Nayara yang tengah menyelendangkan tasnya ke bahu.

Detik-detik keberangkatan, Pak Wisnu ayahnya Nayara menatap dalam-dalam rumah yang kini bukan menjadi miliknya dari tampak depan. Dia tampak berat melepaskan semua kenangan yang ada di dalam rumah itu, tersirat beratnya tarikan napas yang dia lakukan ketika menatap rumahnya untuk yang terakhir kalinya.

“Ayo yah! Nayara udah nunggu!” ajak istrinya, Rahmi. Dia meletakkan kedua telapak tangannya di atas bahu suaminya yang menegang.

“Ayo!” setujunya.

***

Nayara dan keluarganya sampai di rumah lama mereka. Rumah di mana Nayara pernah menghabiskan masa kecilnya hingga umur lima tahun.

Tampak sekali rumah yang sudah tua namun tak usang karena sehari sebelumnya, ayah Nayara meminta tolong pada kerabatnya untuk mrmbantu membenahi rumah lamanya dengan upah yang sepadan.

“Nay, kamu beresin kamar kamu sendiri aja!” suruh Ibunya yang melihat anak semata wayangnya tengah membereskan bagian ruang tamu dengan menata beberapa foto yang terbingkai kayu ke atas meja dan juga lemari, serta menempelkannya di tembok.

“Biar Ayah kamu aja nanti yang beresin!” tambahnya seraya meletakkan beberapa tas dan kopernya ke kamar Nayara.

“Gak apa-apa kok Bu,” Nayara bersikukuh ingin membantu kedua orang tuanya.

“Udah-udah, anak cantik Ayah istirahat aja. Besok kan masih bisa,” Ayahnya ikut serta menyuruh Nayara untuk tak membantu. Dia sendiri merasa bersalah telah membawa anaknya ke dalam kehancuran perekonomian keluarga. Dia menyesal telah membawa anaknya pada sebuah kesusahan.

“Okey deh, tapi nanti malem aku ya yang masak makan malem!” pintanya dengan membuat kesepakatan kepada kedua orang tuanya seperti biasa. Dia selalu dilarang untuk ikut kesusahan.

Namun hal yang tak bisa dilarang oleh kedua orang tuanya dalam membantu adalah perihal memasak.

“Iya-iya!” setuju Ayahnya seraya menganggukkan kepalanya dan Ibunya yang tersenyum melihat anak semata wayangnya yang sudah menjadi seorang gadis yang dewasa.

***

Hari-hari terus berlalu, Nayara yang kini bukan lagi seorang kaya raya. Dia hanya seorang anak dari kedua orang tuanya yang baru saja membuka kedai makanan di pinggiran kota. Tepatnya tak jauh dari rumah mereka sendiri. Berjarak sekita tiga ratus meter saja.

Dipagi hari yang masih gelap, dimana penghuni rumah lainnya masih tertidur pulas dalam lelapnya. Nayra dan keluarganya baru saja pulang dari pasar membeli beberapa bahan untuk nanti mereka berjualan makanan dalam beberapa menu yang terbagi dalam tiga sesi yaitu, sarapan, makan siang dan makan malam.

Tampak sangat hangat kerja sama yang dilakukan Nayara dan kedua orang tuanya. Mulai dari menyusun bahan baku ke dalam lemari penyimpanan dan lemari es  hingga mengelap meja dan menyapu serta mengepel lantai.

Tepat dijam tujuh pagi, barulah kedai Family Taste milik mereka dibuka.

Nayara bertugas menyebarkan selembaran brosur promosi kedainya. Ayahnya memasak di dapur dan ibunya akan setia melayani setiap tamu yang datang.

Memang keadaan dihari pertama ini tak terlalu ramai, walaupun sebuah banner besar sudah terpampang jelas di depan kedai mereka akan promosi yang Menawarkan beli satu gratis satu. Namun situasi itu tak sama sekali memadamkan semangat keluarga terawbutydan tetap bersemangat dalam berjualan mereka.

"Silakan Pak, Bu, Kakak makan di tempat kami.. Beli satu gratis satu.." Nayara terus mengulangi ucapannya pada setiap orang yang berlalu lalang di depan kedainya. Dia mencoba untuk menarik perhatian orang yang berlalu lalang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status