Share

Bab 6. Diaku Sebagai Lanara

Wei hanya diam. Dia bangkit dari tanah dan mengelap darah di sudut bibirnya lalu kembali berjongkok di sisi makam istrinya dengan kepala tertunduk. 

Tidak ada keinginan dari Wei untuk membalas pukulan Arga ataupun menolak tuduhannya

Dia tahu ini semua memang salahnya. 

Tanpa sengaja dia telah membunuh istrinya sendiri karena sikap dingin dan tidak pedulinya.

Dia memang pantas untuk dipukul!

Tidak ada air mata mengalir dari matanya ....

Bukan berarti Wei tidak bersedih. Semua air matanya sudah terkuras habis sejak kemarin. 

Sekarang yang Wei rasakan hanyalah kosong dan hampa.

Namun, semua itu malah membuat keluarga Ara menjadi semakin marah dan menganggap Wei sangat tidak berperasaan. 

Mereka mengira Wei merasa senang dan bebas atas kepergian Ara.

Tidak ada lagi istri yang tidak diharapkan dan Wei bisa menikah dengan wanita manapun yang dia mau.

"Wei ... tolong kembalikan anak Mama," kata Eva-mama Ara- dengan air mata yang bercucuran. "Ara anak perempuan Mama satu-satunya ... tolong ... tolong kembalikan dia, Wei ... Mama mohon," kata Eva terisak pilu.

"Seandainya saja Ara tidak menikah denganmu, mungkin dia tidak akan menjadi korban dalam kecelakaan itu karena dia tidak akan pernah terbang ke sana," gumam papa Ara penuh penyesalan.

"Semua ini salahku, Pa ... seandainya saja aku tidak menjodohkan Ara dengan Wei, mungkin putri kita saat ini masih berada di sisi kita," kata Eva menyesali diri.

Wei merasa dadanya kian sesak setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Eva. 

Niatnya semula hanya ingin menyadarkan mamanya agar tidak lagi mengatur-atur hidupnya.

Wei benar-benar tidak pernah berniat untuk menceraikan Ara karena dia juga mencintai istrinya itu lebih dari apapun. 

Siapa sangka Ara benar-benar patah arang dan pergi meninggalkannya.

"Kenapa? Kenapa kamu tidak mau bersabar, Ara ...," gumam Wei pelan dengan mata yang berkaca-kaca.

Tidak ada satupun orang yang peduli pada kesedihannya. Semua menganggap Wei hanya berpura-pura untuk menutupi rasa bersalahnya.

Orang tua Wei tidak bisa mengikuti prosesi pemakaman karena mereka sedang berada di rumah sakit. Ketika mendengar menantu kesayangannya tewas dalam kecelakaan pesawat, Mama Wei langsung masuk rumah sakit akibat terkena serangan jantung.

Dia merasa sangat bersalah kepada Ara dan menyesali putranya yang tidak bisa membahagiakan gadis malang itu.

Sementara itu di sebuah rumah sakit Prancis, tim medis sedang menunggui seorang wanita yang merupakan pasien kecelakaan pesawat di ruang ICU.

"Di ... mana ini?"

Ara membuka matanya dan merasa bingung melihat ruangan yang serba putih mengelilinginya. 

Dia sempat berpikir kalau dirinya saat ini sudah berada di dunia bawah.

Setelah melihat beberapa wanita dan pria berpakaian medis, barulah Ara sadar kalau saat ini dia sedang berada di rumah sakit.

Perawat dan dokter berambut pirang mulai mendekatinya ketika mengetahui Ara telah sadar.

"Halo, bagaimana kabar Nona? Apa yang Nona rasakan saat ini?" tanya salah satu dari mereka ramah.

"Ha-us ...."

Mendengar kata-kata Ara, seorang perawat segera mengambil segelas air dan menyendok kan air tersebut kepadanya secara lembut dan perlahan.

"Terimakasih," kata Ara pelan.

"Kembali," sahut perawat itu ramah. 

Sepasang suami istri, suaminya berambut coklat sementara istrinya berambut hitam tampak memasuki ruang ICU tempat Ara di rawat.

Mereka adalah Paul dan Hanna.

"Bagaimana keadaannya, dok?" tanya Paul setelah berdiri di samping tempat tidur Ara.

"Anda harus bersyukur karena masa kritisnya telah lewat."

"Kapan dia mulai bisa menjalani operasi wajah?" tanya Paul lagi.

Dia merasa kasihan setiap kali melihat wajah tak berbentuk milik putrinya saat ini yang dibebat kain kasa berwarna putih seperti mumi.

"Siapa kalian?" tanya Ara bingung. 

Dia merasa sama sekali tidak mengenal sepasang suami istri yang menanyakan kabarnya kepada dokter yang berjaga di dekat tempat tidurnya.

Ara bertanya-tanya di dalam hati, apakah mereka orang yang menyelamatkannya dari kecelakaan pesawat itu?

"Nona tidak mengenal mereka?" tanya salah satu dokter merasa heran.

"Tidak."

"Ara ... ini Mama, Sayang."  

Hanna tidak dapat menyembunyikan perasaan terlukanya saat mendengar anak semata wayangnya mengaku tidak mengenalinya.

"Sepertinya Nona Ara mengalami amnesia akibat benturan ketika kecelakaan pesawat itu terjadi," kata dokter setelah melihat reaksi Ara kepada Paul dan Hanna.

"Aku tidak hilang ingatan, aku ingat namaku Ara," bantah Ara merasa cemberut.

"Iya sayang, nama panggilanmu memang Ara, itu diambil dari namamu yang sebenarnya yaitu Lanara," kata Paul menjelaskan dengan hati-hati.

Dia khawatir putri semata wayangnya kembali terguncang ketika mengetahui kalau dirinya telah kehilangan ingatan.

Hanna mengangguk sambil menatap Ara penuh semangat.

Dia merasa senang Ara masih mengingat nama kecil yang diberikan olehnya.

Ara terdiam. Dia tidak tahu harus berkata apa untuk menghadapi Paul dan Hanna yang ngotot mengakuinya sebagai anak mereka.

"Dari mana kalian mengetahui kalau aku adalah Lanara?" tanya Ara bingung.

Wajahnya sudah tidak berbentuk dan tidak ada tanda yang menunjukkan identitas pada dirinya. Bagaimana Paul dan Hanna bisa merasa yakin kalau dirinya adalah Lanara?

"Kamu memegang kalung pemberian Mama yang ada tulisan Lanara diatasnya dan Ara di bagian bawahnya. Apakah kamu ingat? Itu adalah benda favorit yang tidak akan pernah kamu lepas sekalipun kamu sedang mandi," jelas Hanna bersemangat. 

"Jadi begitu ...."

Ara mulai mengerti mengapa Paul dan Hanna mengira dirinya sebagai Lanara, rupanya kesalahpahaman ini terjadi karena dia ditemukan sedang memegang kalung yang merupakan identitas gadis disebelahnya. 

Mungkin karena wajahnya terbakar maka kedua orang tua gadis itu jadi tidak bisa membedakan antara dirinya dan Lanara.

"Apakah kalian mengetahui bagaimana kabar wanita yang duduk di sebelahku saat di pesawat? Apakah dia selamat?" tanya Ara lagi sambil menatap Hanna dan Paul penuh harapan.

Setidaknya kalau Lanara masih hidup suatu saat mereka berdua akan bisa menjelaskan kepada Paul dan Hanna kejadian yang sebenarnya.

Kalau hanya dirinya sendiri yang menjelaskan, Ara takut Hanna akan menangis lagi seperti sebelumnya ketika Ara tidak mengakui wanita itu dan suaminya sebagai orang tuanya. 

"Tidak ada korban selamat selain kamu dan seorang pria muda yang saat ini juga sedang di rawat di ruang ICU. Kamu benar-benar beruntung, Sayang," kata Hanna menjelaskan penuh rasa syukur.

Hanna jelas merasa bersyukur karena putrinya luput dari kematian yang tragis seperti itu.

Ara terdiam. Harapannya untuk bekerja sama dengan Lanara menjelaskan kondisi mereka yang sebenarnya langsung sirna.

Ternyata Lanara benar-benar tewas dalam kecelakaan itu. 

Apa yang akan terjadi jika Paul dan Hanna mengetahui kalau putri kesayangan mereka menjadi salah satu korban dalam kecelakaan itu? 

'Mereka pasti tidak akan bahagia jika mengetahui hal yang sebenarnya. Jadi ... apakah aku harus meneruskan semua kesalahpahaman ini?' batin Ara bingung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Zudia
Thor, maaf sebelumnya. bukankah kalau kecelakaan pesawat itu korban harus tes DNA dgn keluarganya ya? lalu di sini kenapa bisa langsung tahu itu Ara dan dimakamkan begitu saja?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status