Tidak ada satupun yang percaya kalau dirinya bukanlah gadis itu sekalipun Paul dan Hanna.
'Mungkin ini memang jalan yang diberikan tuhan untukku, agar bisa memulai hidup baru dengan wajah yang baru,' batin Ara pasrah.
Ara membayangkan wajah kedua orang tua dan kakak laki-lakinya. Dia benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan keluarganya saat mendapat kabar kecelakaan pesawat yang melibatkan dirinya saat itu.
Tanpa terasa air matanya mulai mengalir deras.
"Mengapa kamu menangis, Sayang? Harusnya kamu merasa bahagia karena bisa selamat dari kecelakaan itu," kata Paul merasa khawatir melihat air mata Ara yang mengalir begitu derasnya.
"Aku sedih memikirkan wajahku, Papa," kata Ara dengan perasaan canggung sambil menghapus air matanya.
"Jangan sedih sayang, kami janji akan berusaha mengembalikan penampilan terbaikmu seperti sedia kala," kata Hanna sambil memeluk Ara penuh kasih sayang.
***
Gundukan tanah basah itu selalu bertabur warna warni bunga yang menebarkan bau harum. Walau sudah berbulan-bulan, Wei dan keluarga Ara masih saja rajin mengunjungi makam itu secara bergantian dan menaburkan bunga di atas makam itu sambil berdoa.
Keluarga Ara tidak pernah bertemu dengan Wei karena dia selalu menghindari mereka dan menunggu mereka pergi dari pemakaman sebelum dia masuk ke dalam dan berlutut di samping makam istrinya.
Seperti sebelumnya, Wei berlutut di samping gundukan tanah itu dan menangis tanpa suara. Dia masih mengingat rasa sakit di hatinya saat menyaksikan jasad istrinya yang tidak lagi berbentuk dimasukan ke liang lahat.
Hanya tuhan yang tahu bagaimana menyesalnya Wei saat itu ....
"Wei ...."
Rina berjalan menghampiri Wei dengan hati-hati. Sejak istrinya dikabarkan meninggal, Wei benar-benar berubah menjadi semakin pendiam dan acuh tak acuh kepada siapapun termasuk Rina.
"Sedang apa kamu di sini?" tanya Wei tanpa melihat ke arah sekretaris pribadinya itu.
"Aku mencari kamu," kata Rina lembut.
Dia terus berjalan mendekati Wei dan berjongkok di sampingnya.
"Sampai kapan kamu akan terus bersedih seperti ini, Wei?" kata Rina lagi bertanya dengan nada prihatin.
Dia benar-benar tidak pernah menyangka kalau Wei akan terpuruk seperti ini setelah kematian istrinya.
Satu hal yang membuat Rina tidak bisa mengerti, mengapa setelah menikahi Ara, Wei bersikap dingin dan mendorong istrinya itu jauh-jauh kalau pada kenyataanya dia juga mencintainya?
"Pergilah, Rin ... biarkan aku sendiri!"
"Tidak, Wei, aku mencintaimu ... aku tidak akan membiarkanmu melewati semua kesedihan ini sendirian!"
"Aku tidak butuh kamu! Pergi!" sentak Wei kasar.
Rina terhenyak melihat wajah galak Wei yang baru kali ini dia lihat.
Biasanya Wei hanya akan menampakkan wajah datar dan dingin jika dia tidak suka akan sesuatu.
Ini adalah pertama kalinya Rina melihat Wei benar-benar marah dan menunjukkan wajah galaknya.
"Wei ...."
Rina menatap Wei dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
Bukannya kasihan, Wei malah jadi semakin kesal melihatnya.
Mata yang tergenang air mata itu mengingatkan Wei pada mata Ara yang selalu memperlihatkan hal yang sama ketika menerima pengabaiannya.
"Pergi! Jangan campuri urusan pribadiku jika kamu tidak ingin aku pecat!" ancam Wei dingin tanpa perasaan.
Rina tercekat mendengar ancaman Wei. Entah mengapa ada perasaan kalau Wei sangat membenci dirinya.
Tiba-tiba sebuah pertanyaan melintas di dalam benaknya.
"Kamu ... apakah kamu menyalahkan aku atas meninggalnya istrimu?" tanya Rina merasa tidak percaya dengan pikiran yang baru saja melintas di dalam benaknya.
"Bukankah kamu orang yang paling bahagia melihat kepergiannya?" tanya Wei sinis.
"Wei!"
Rina benar-benar terkejut Wei memiliki pemikiran seperti itu kepada dirinya. Dia memang ingin mengambil Wei dari Ara tapi dia sama sekali tidak pernah mengharapkan wanita yang menjadi saingannya itu untuk mati mengenaskan seperti yang terjadi saat ini.
"Kembalilah ke kantor dan ambil uang pesangonmu!" kata Wei dengan nada tidak peduli.
"Kamu ... kamu memecat aku?!" tanya Rina membelalakkan matanya tidak percaya.
"Ya!" sahut Wei tegas.
"Aku tidak terima! Apa kesalahanku selama bekerja hingga kamu bisa memecat aku seperti ini? Ini tidak benar Wei! Kamu telah mencampuradukan urusan pekerjaan dengan perasaan. Kamu benar-benar tidak profesional!"
"Aku atau kamu bosnya?" tanya Wei dingin.
"Kamu ... kamu benar-benar keterlaluan Wei! Sampai kapanpun aku tidak terima kamu pecat dengan cara seperti ini," kata Rina sambil terisak meninggalkan wei.
Wei tersenyum sinis.
'Kamu lihat Ara? Dia bukanlah wanita yang aku cintai dan ingin aku nikahi sebagaimana yang kamu sangka ... harusnya kamu tidak perlu mengalah padanya,' batin Wei sambil kembali menaburkan bunga segar di atas makam yang ada di hadapannya penuh kasih sayang.
Dia tidak ingin melihat Rina lagi, wanita inilah yang sempat disangka Ara sebagai selingkuhannya dan membuat istrinya itu memilih untuk mengalah lalu meninggalkannya.
Arga memperhatikan punggung Wei dengan perasaan rumit. Ini sudah yang kesekian kalinya dia melihat Wei saat ziarah ke makam adiknya diam-diam. Dia awalnya tidak percaya kalau mantan adik iparnya ini benar-benar tulus merasa kehilangan atas kepergian Ara. Namun, melihatnya berulang kali seperti ini membuat Arga jadi menyangsikan persepsinya sendiri tentang perasaan Wei kepada Ara.
"Apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah lebih baik kamu pergi bersama wanita itu sebagaimana yang sering kamu lakukan saat Ara masih hidup?" tanya Arga sinis.
Dia memang meragukan kalau Wei sebenarnya tidak mencintai Ara, tapi bukan berarti Arga lupa bagaimana suami adiknya ini memperlakukan adik perempuannya itu selama mereka menikah dan menjadi suami istri.
"Aku sudah memecatnya," kata Wei acuh tak acuh menanggapi cibiran Arga.
"Benarkah? Jangan bilang ini hanya akal-akalan kamu saja untuk meredam kemarahan kami kepada wanita itu," kata Arga dengan nada mencemooh.
" ... memangnya apa yang ingin kalian lakukan kepada Rina?" tanya Wei sambil mengerutkan kening.
"Kamu merasa khawatir sekarang?" tanya Arga sambil tersenyum sinis.
"Dia sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah antara aku dan Ara."
"Tidak ada hubungannya? Jangan kamu kira aku bodoh hingga tidak tahu kalau dia menyewa netizen untuk mengomentari foto-foto kalian di setiap media dan membuat adikku sedih!" kata Arga dengan suara yang mulai meninggi.
Wei tercengang. Dia benar-benar tidak bisa mempercayai informasi yang baru saja dia dapatkan dari mulut Arga tentang Rina.
"Tapi ... mengapa dia melakukan semua itu?" tanya Wei tidak percaya.
Bukankah Rina telah lama menolak pernyataan cintanya? Jadi untuk apa dia menyewa netizen?
"Semua ada di sini!" kata Arga sambil melemparkan amplop berisi hasil penyelidikan orang suruhannya kepangkuan Wei.
Sebelumnya Arga dan kedua orangtuanya juga sempat merasa heran ketika mengetahui foto-foto Wei dan sekretarisnya di media mendapatkan sorotan yang begitu banyak dari netizen, padahal keduanya bukan artis dan tidak pernah menonjolkan diri.
"Apakah mungkin masyarakat umum peduli pada kehidupan orang yang tidak terkenal seperti kalian? Aku telah lama curiga ada dalang di balik semua peristiwa ini hingga aku memutuskan untuk menyewa orang dan menyelidikinya ... hasilnya ada di dalam amplop itu," kata Arga lagi sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong dan menatap Wei serius.
Reza dan Eva diam tidak berkutik. Memang benar awalnya mereka mengira Wei tidak bisa masak dan khawatir Ara akan keracunan makanan. Mana mereka tahu kalau Wei ternyata pandai memasak makanan selezat itu.Beberapa waktu telah terlewati, berat badan Ara mulai meningkat setelah mendapatkan perawatan dari Wei. Eva dan Reza kini benar-benar bisa menarik napas lega.Wajah Ara pun lebih bersinar penuh kebahagiaan ketika usia kandungannya semakin bertambah. Dia dan Wei sudah bisa merasakan pukulan dan tendangan sang bayi di dalam kandungannya melalui permukaan perut ketika sedang diusap atau di pegang.Hubungannya dengan Paul dan Hanna pun tetap berjalan seperti biasa walaupun Hanna akhirnya mengetahui kalau dirinya bukanlah Lanara yang asli."Bagaimana kabarmu dan anak di dalam kandunganmu?" tanya Hanna penuh perhatian ketika dia menelepon Ara."Aku baik Ma, anak di dalam kandunganku juga baik," jawab Ara sambil tersenyum bahagia mendapat perhatian dari semua orang yang di kasihnya."Mama
Wei benar-benar tidak menyangka kalau Ara akan berkata seperti itu. Tadinya dia berpikir hanya dirinya saja yang akan merasa kehilangan dan bersedih atas perpisahan ini, ternyata istrinya juga mengalami hal yang sama."Percaya tidak? kali ini Papamu tidak akan mengusir aku," kata Wei sambil tersenyum menatap ara penuh kasih."Benarkah?" tanya Ara tidak percaya."Yakin!""Apakah Papa membatalkan syarat itu?""Sepertinya begitu, semua ini karena calon anak kita," kata Wei sambil mengusap punggung bawah Ara pelan."Apakah kamu benar-benar akan dibiarkan tinggal disini bersamaku?" tanya Ara was-was.Dia benar-benar tidak yakin kalau papanya akan berubah pikiran. Setahu Ara papanya adalah orang yang konsisten dan tidak akan pernah berubah pikiran jika sudah memutuskan tentang suatu hal. Bisakah kali ini papanya membuat pengecualian karena calon cucunya yang belum lahir?"Aku akan menemanimu tinggal di sini dan memasak. Bukankah kamu ingin masakan yang aku masak?" tanya Wei sambil mencubit
Kekhawatiran Eva pun menjadi kenyataan. Ara benar-benar tidak bernafsu untuk makan apapun, dia hanya memakan manisan buah tanpa dibarengi dengan nasi dan lauk-pauk. Ini mengakibatkan tubuh ara yang sudah ramping menjadi semakin kurus."Pa, apakah tidak sebaiknya kita biarkan saja Wei datang ke sini dan memasak untuk adikku?" tanya Arga sambil mengerutkan kening ketika melihat Ara dari kejauhan.Tubuh adiknya itu dari hari kehari menjadi semakin kurus. Ini benar-benar membuat Arga menjadi prihatin dan khawatir."Iya Pa, Sudahlah demi kebaikan anak dan cucu kita, sebaiknya kita mengalah saja. Batalkan syarat satu tahun tidak bertemu itu. Mama khawatir terjadi apa-apa sama Ara," kata Eva dengan mata berkaca-kaca menatap wajah suaminya.Reza menatap istri dan anak laki-lakinya dengan tatapan tidak berdaya. Dia juga sebenarnya sudah ada pikiran ke arah sana. Reza bisa melihat perkembangan kondisi Ara yang dari hari ke hari semakin lemah karena tidak mau makan. "Baiklah. Arga, kamu jemput
"Aku ikut!" kata Arga tiba-tiba."Tidak!" sahut Eva dan Reza bersamaan."Mengapa tidak?" tanya Arga bingung."Kamu tidak lihat? Ara muntah-muntah hebat setelah melihatmu, apakah kamu ingin adikmu itu muntah terus gara-gara melihatmu?" tanya Eva sambil melotot ke arah Arga."Kamu harus menghindar dari adikmu selama tiga bulan kehamilan awal agar dia tidak terlalu tersiksa karena terus mengeluarkan makanan yang ada di perutnya."" ... " Arga tidak dapat berkata-kata mendengar apa yang orang tuanya katakan.Dia mentap kedua orang tuanya dengan tatapan menyalahkan. Bukankah semua ini karena ulah kedua orang tuanya yang ingin memisahkan adiknya dari Wei? Mengapa sekarang dia yang harus menanggung akibatnya?Dibenci tidak hanya oleh Ara tapi juga oleh calon keponakannya yang belum lahir.Di kantor, Wei tampak menatap ke luar jendela sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celananya.Ini baru sebulan, tapi rasanya seperti se abad. Wei tidak henti berdoa agar istrinya benar-benar hamil. Ha
Wuzini terdiam, setahun memang bukan waktu yang lama untuk sebuah restu, tapi masalahnya apakah keduanya tidak akan terpikat pada orang lain selama waktu yang ditentukan itu?"Mereka meminta aku dan Ara berpisah selama setahun. JIka selama setahun itu perasaan kami tidak berubah, barulah mereka akan kembali merestui hubungan kami.""Apakah kamu yakin kalau kamu dan istrimu akan bisa menjaga kesetiaan masing-masing selama satu tahun itu?" tanya Wuzini tidak yakin."Yakin."Wuzini hanya menghela napas panjang melihat tekad anak laki-lakinya untuk mendapatkan restu dari keluarga istrinya kembali. Dia hanya menepuk bahu Wei sebelum mengajak anaknya itu masuk ke dalam kantor untuk membahas masalah pekerjaan.Ara dan Arga masuk ke dalam rumah tanpa banyak bicara. Ara masih marah karena kakaknya mengajukan syarat yang begitu sulit untuknya dan Wei. Satu tahun bukanlah waktu yang sebentar, bagaimana kalau suaminya itu malah jatuh cinta pada wanita lain dan benar-benar menceraikannya?Arga me
Arga menyerbu masuk ke dalam kantor Wei tanpa basa basi. Dia langsung menuju Wei dan ingin menghajarnya namun, di halangi oleh Ara."Minggir!" kata Arga sambil mendelik marah ke arah adiknya."Tidak, kakak tidak boleh memukulnya!" Kata Ara keras kepala menatap kakaknya yang sedang marah."Kamu tidak tahu malu berlindung pada perempuan!" kata Arga sambil menunjuk Wei yang ada di belakang Ara." ... " Wei tidak tahu harus berkata apa untuk menjawab kata-kata Arga. Bukannya dia tidak mau berhadapan dengan kakak iparnya, tapi Ara sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk maju. Wei takut jika dia memaksa maju maka Ara akan marah kepadanya.Baginya lebih baik membiarkan Arga marah dari pada Ara yang marah kepadanya."Dia suamiku, tidak ada salahnya aku melindunginya!" kata Ara seperti induk ayam yang menjaga anak-anaknya."Tapi aku kakakmu!""Tapi kamu mau menyakiti suamiku!""Itu karena kamu!""Tidak, itu bukan karena aku, tapi karena keegoisanmu sendiri ... kamu tahu betul bagaimana