Azizah mengetukkan jemari telunjuknya di meja kaca, tatapannya lurus menatap Carlinta yang sedang menatapnya. Sahabatnya itu memperlihatkan sebuah foto kepadanya, di dalam foto tersebut terlihat Darino sedang merangkul Carisa.
“Kamu tidak berani menghubungi suamimu sendiri, hm?” tanya Carlinta, melirik ponsel yang ada dihadapan Azizah. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa, “Kamu takut kalau Darino akan memarahimu karena sedang mengajar?”
Azizah bergeming. Sudah lebih dari sepuluh menit dirinya terdiam, sehingga membuat Carlinta gemas sendiri melihatnya. Bagaimana tidak? Azizah seolah tidak percaya dengan foto yang dikirim oleh suami Carlinta.
Azizah memikirkan banyak aspek, salah satunya jika dirinya bertanya kepada Darino yang saat ini sedang ada jadwal mengajar, akan membuat suaminya itu hilang fokus dan berakibat menyampaikan materinya berantakan.
Jujur saja, Azizah sangat ingin bertanya kepada suaminya mengenai foto yang diperlihatkan oleh Gibran -Suami Carlinta, sekaligus sahabatnya-. Azizah menghela nafas beratnya, ia mengusap wajahnya dengan gusar, lalu menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa.
“Apa keputusanku untuk kembali ke rumah itu salah?” ucap Azizah, menatap langit-langit kamarnya. Ia menarik nafas, lalu menghela nafasnya secara perlahan.
Carlinta bergumam pelan, “Tidak. Ini hanya permasalahn waktu saja,” tuturnya dengan santai, lalu menegakkan tubuhnya dan atensi menatap Azizah yang memejamkan kedua mata.
Sejujurnya, Carlinta ingin membicarakan hal serius, tetapi melihat raut wajah Azizah yang lelah, membuatnya mengurungkan niatnya. Ia melakukan hal yang sama seperti Azizah, menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa.
“Sebenarnya kalau memang Darino tidak mudah jatuh cinta ke wanita lain, kamu bisa tenang dan tidak perlu terbawa fikiran,” ujar Carlinta, dirinya melirik ke sisi kanannya dan tidak mendapatkan respon apapun dari Azizah.
Hening selama sepuluh menit. Carlinta sengaja tidak lagi bersuara, memberikan ruang untuk Azizah tenang dan menjernihkan fikiran setelah dirinya memperlihatkan sebuah foto mesra. Sedikit menyesali tindakannya, tetapi yasudah. Nasi sudah menjadi bubur, ingin ditarik atau dihentikan pun tidak bisa.
“Sebelum kamu datang dan memberitahuku tentang foto yang dikirim oleh Gibran, aku sudah overthinking.”
Suara Azizah memecahkan keheningan. Carlinta menegakkan kepalanya, memperhatikan Azizah yang kini sedang menatapnya. Mereka saling menatap satu sama lain beberapa detik, dan diputus oleh Azizah yang menegakkan tubuh.
“Tadi aku tidak sengaja membaca pesan masuk di hapenya Mas Darino dari CH, sedangkan nomor suamiku itu baru karena handphone yang sebelumnya pecah dan kartunya aku patahkan,” jelas Azizah, menatap serius Carlinta yang terdiam dan mendengarkan cerita Azizah.
“Aku fikir CH itu Carista Hargantara, tapi ternyata itu nomornya Cardanio Herlando,” imbuhnya.
Carlinta menaikkan sebelah alisnya, “Danio? Dia kan sedang ada di luar negri karena nikah sama bule,” ucapnya dengan bingung. “Yaa sorry nih kalau aku bikin kamu semakin overthinking, tapi kalau difikir ulang, tidak masuk akal,” lanjutnya.
Azizah bergeming. Memang tidak ada yang salah dengan apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu. Memang tidak masuk akal. Untuk apa Darino dan Cardanio kirim pesan? Sedangkan bidang pekerjaan keduanya berbeda jauh.
Cardanio seorang pengusaha yang bergerak di bidang property, sedangkan Darino merupakan dosen di beberapa kampus ternama yang ada di Jakarta.
Azizah menghela nafas beratnya, ia menyugar surai panjangnya lalu melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas lewat lima belas menit. Daripada menambah beban fikirannya, lebih baik bersiap untuk menjemput putrinya.
Atensi wanita itu kini menatap Carlinta yang sedang menatapnya. “Setelah menjemput Nadi, langsung pulang ke rumah?” tanyanya, ditanggapi dengan bergumam cukup panjang.
Carlinta menggelengkan kepala, “Aku hari ini tidak ada pesanan. Jadi setelah menjemput Nadi, aku memang sengaja untuk nemenin kamu.”
“Nemenin aku?” tanya Azizah, menunjuk dirinya sendiri. Sahabatnya itu menganggukkan kepala. “Aku tidak apa-apa, Lintaaa. Ada Arlin yang sudah menemaniku,” tuturnya, menatap Carlinta yang menaikkan sebelah alis.
“Aku tahu, kamu itu butuh teman curhat. Jangan denial,” ucap Carlinta, ia bangkit lalu menarik tangan Azizah untuk bangkit. “Setelah jemput anak-anak, kita buat cake. Okey? Harus okey,” ocehnya, mengusap kedua lengan sahabatnya dan tersenyum lebar kepada Azizah yang tertawa pelan.
TING
Azizah melirik ponselnya yang ada di atas meja, ponsel miliknya itu menyala, menandakan terdapat satu pesan masuk. Tanpa pikir panjang, dirinya mengambil dan membaca pesan tersebut tanpa membukanya.
Kening yang mengkerut dan mata yang menyipit membuat Carlinta yang memperhatikannya merebut ponsel milik Azizah dari sang empu.
“Mas, aku sudah di caffe tempat kita janjian,” gumam Carlinta sambil membaca pesan tersebut. Ia dengan lancang membuka pesan tersebut, dan langsung hilang karena dihapus oleh pengirim.
Azizah memperhatikannya, hingga akhirnya nomor tidak dikenal itu kembali mengirimkan pesan kepada Azizah.
“Sorry salah kirim. Aku mau kirim ke pacarku,” ucap Carlinta, lalu kedua matanya melebar saat Azizah merebutnya dan ….
PRANG!
Azizah menatap Carlinta dengan tatapan sulit dimengerti, membuat Carlinta mengerjapkan kedua mata dan mundur satu langkah karena aura Azizah itu sedang aur-auran.
“Kamu ingin membantuku? Dia datang kan ke sekolah hari ini?” tanya Azizah, diangguki oleh Carlinta yang sedikit mengerti tentang apa yang diinginkan oleh Azizah.
“Of course, Baby. Mau buat pertunjukkan untuk Carisa? Aku akan ada dibelakangmu.”
Fernandra tersenyum manis menatap sosok wanita yang sudah ia tunggu satu jam yang lalu. Azizah, wanita itu datang seorang diri ke sebuah restaurant yang lokasinya dibagikan oleh Fernandra.Setibanya di restaurant, Azizah seperti seseorang yang terkena hipnotis. Hanya diam tanpa bersuara, bahkan ia lupa akan tujuannya bertemu dengan Fernandra saat ini.Fernandra menaikkan sebelah alisnya, “Azizah … kamu baik-baik saja, kan? Tidak ada halangan selama perjalanan?” tanyanya penuh khawatir.“Ya ….” Azizah tersadar, lantas berdeham lalu menegakkan tubuhnya. Fokusnya terkunci hanya kepada Fernandra yang duduk berhadapan dengannya dengan gaya santai, dan bisa dilihat dari pakaian pria itu, sangat formal. Sudah jelas, Fernandra belum kembali ke rumah.“Kamu tahu di kampus tempat suamiku mengajar itu ada masalah?” tanyanya to the point, mengingat tidak ada waktu untuk basa-basi. “Aku rasa, kamu tahu tentang itu,” imbuhnya karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari pria yang sedang bersamanya s
Azizah mengirim pesan kepada Fernandra, mengatakan bahwa dirinya ingin bertemu sebelum suaminya bertemu dengan Fernandra nanti malam. Ia tidak tenang dihantui oleh rasa penasarannya tentang kecurangan di salah satu universitas tempat suaminya mengajar.Tidak butuh waktu lama, Azizah mendapatkan balasan dari Fernandra, masalalunya itu mengirimkan lokasi sebuah restaurant yang letaknya cukup jauh dari rumahnya saat ini. Lebih tepatnya, restauran terdekat dari rumah Fernandra.Wanita itu melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 11:00, menggigit bibir bawahnya dan berfikir ulang. Haruskah ia pergi sekarang disaat Darino sedang menjemput Arlin? Sedangkan waktunya sangat mepet.“Tidak, bukan sekarang. Nanti aku hubungi,” monolognya dengan jari lentik yang menari pada layar ponsel yang menampilkan room chat antara dirinya dan Fernandra yang sedang online.Azizah benar-benar menunggu balasan Fernandra, karena ia memanfaatkan waktu yang ada. Fernandra bukan pria yang banyak waktu luang, jadi
Beberapa hari kemudian ….Darino menghela nafas setibanya di rumah. Ia menyandarkan kepala pada sandaran sofa dengan kedua mata yang terpejam. Hanya beberapa detik, karena merasakan sofa yang ada di sisinya bergerak.Ketika pria itu membuka kedua mata, terlihat sosok perempuan yang tersenyum manis kepadanya. Darino menegakkan tubuhnya, membalas senyuman sang istri.“Tidak bilang kalau pulang cepat?” tanya Azizah dengan wajah bingung, tetapi masih tetap mempertahankan senyumannya, karena ia tahu mood suaminya sedang tidak baik-baik saja. Terlihat dari ekspresi wajah sang suami yang murung, dan tidak cerah seperti biasanya.“Ada masalah sedikit tadi di kampus, jadinya semua dosen dan mahasiswanya dipulangkan,” jelas Darino, menatap Azizah dengan tangannya yang mengusap punggung tang sang istri.Azizah bergeming, mencoba untuk mencerna apa yang dikatakan oleh suaminya. Berusaha untuk menerka-nerka, masalah apa yang sedang terjadi di sebuah universitas sehingga mengharuskan dosen dan maha
Azizah terdiam, menatap barang-barang yang berada di bagasi mobilnya. Ia benar-benar membawa barang-barang tersebut ke rumah orangtuanya, karena Fernandra memaksa dan mengancamnya. Tidak ada pilihan lain selain meng-iya-kan apa yang dikatakan oleh Fernandra, daripada merusak suasana atau memperburuk keadaan.“Maaf ….” gumamnya penuh penyesalan, menunduk dan mencengkram kuat kardus tersebut. Tanpa disadari olehnya, air matanya turun membasahi pipi. Seketika saat itu juga ia tersadar, lalu mengangkat kardus itu masuk ke dalam rumah lewat pintu samping.“Sayang … kok ke sini?”Azizah mengulas senyumnya saat berpapasan dengan mommynya di ruang tengah, “Ada barang yang harus aku taruh di gudang, Mom.” Atensinya melirik kardus yang berada dalam dekapannya, sehingga membuat mommynya mengikuti lirikannya.Mommy menaikkan sebelah alisnya, kembali menatap Azizah yang tersenyum lalu meninggalkannya begitu saja tanpa sepatah katapun. Rasa penasarannya tinggi, membuatnya mengikuti langkah putrinya
Fernandra tersenyum lebar menyambut kedatangan Azizah, walaupun ia sangat tahu wanitanya itu datang dengan perasaan yang marah, karena melihat wajah Azizah yang memerah. Tetapi itu bukan masalah untuknya.“Mau kamu apa sih?!”Fernandra bergumam pelan, sedikit membungkukkan punggungnya, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Azizah yang menatap tajam kepadanya. “Kalau aku bilang, memangnya kamu akan memberikannya?” tanyanya dengan nada lembut, tersenyum penuh arti kepada Azizah.Azizah berdecak kesal, melipat kedua tangannya di depan dada. “Kamu ingin bermain-main denganku?” tanyanya penuh penekanan. Tidak ada raut wajah takut disaat tidak ada orang lain disekitarnya.“No. Aku sedang berusaha,” balas Fernandra, menaikkan dagu Azizah dengan jari telunjuknya. Ia menelisik wajah Azizah, lalu tersenyum dan kembali berkata, “Mengambil kembali yang seharusnya milikku.”Azizah menepisnya, membuat Fernandra terkekeh dan menegakkan kembali punggung pria itu. Ia bedecih, “Kamu belum sembuh, Nandra.
Azizah membuka pintu rawat yang tidak ada penjaganya. Lorong kosong, membuat keningnya mengkerut dan kedua alisnya bertaut. Sudah dicurigai olehnya bahwa telah terjadi sesuatu, dan kecurigaannya bertambah saat masuk ke dalam ruang rawat VIP, tidak menemukan Carisa di brankar.“Di kamar mandi, mungkin,” ucap Darino, berusaha untuk memberikan positif viber terhadap istrinya yang sudah berfikiran negatif.“Fernandra … kamu yakin dia ada di rumahnya?” tanya Azizah, menatap suaminya yang menganggukkan kepala, lantas memberikan ponsel miliknya. Tanpa pikir panjang, ia mengotak-ngatik ponselnya dan terhenti pada roomchat Fernandra.Tanpa pikir panjang, wanita itu menekan icon ‘panggilan suara’, seketika membuat Darino melebarkan kedua mata. Pria itu telat melarang Azizah untuk tidak menghubungi Fernandra. Dan yang bisa dilakukan oleh Darino hanya terdiam, diam-diam menghela nafasnya perlahan dengan kedua kaki yang menyisir setiap sudut ruang rawat ini.“Carisa hilang,” ucap Azizah setelah pa